Sepanjang dua minggu berlalu, ada banyak sekali kejadian tidak terduga yang harus Zeline hadapi ketika menjalani kehidupan sebagai Kinara. Mulai dari pekerjaan berat di toko baju, makanan sederhana di pagi, siang, dan malam, juga kamar tidur yang sering kali dimasuki oleh serangga ataupun binatang melata seperti cicak dan tokek. Oh, jangan lupakan kamar mandi mengerikan yang dimiliki oleh keluarga Kinara. Berkali-kali Zeline harus menahan untuk tidak membuang air kecil di malam hari karena ia takut jika harus pergi ke toilet sendirian.
Namun, hal-hal mengejutkan tersebut masih terbilang ringan jika dibandingkan dengan kejadian saat beberapa preman datang ke rumah mereka.
Zeline tidak akan pernah melupakan saat menegangkan tersebut. Bahkan hingga seumur hidupnya, Zeline akan mengingat segalanya dengan sangat jelas.
Dan kini Zeline harus kembali berhadapan dengan hal mengejutkan lainnya.
Dareen, pria itu sedang berdiri di depan halaman rumah Kinara dengan pakaian dan penampilan yang rapi. Jika dilihat dari waktu kedatangannya, seharusnya saat ini Dareen sedang dalam perjalanan ke kantornya.
“Hai, bagaimana keadaanmu?”
Zeline masih mematung di tempatnya ketika sapaan ramah tersebut ditujukan kepadanya.
“Dareen?”
Dibandingkan menjawab sapaan Dareen, Zeline justru menyebut nama pria itu sambil menampilkan ekspresi terkejut.
Rasanya Zeline ingin menenggelamkan dirinya sendiri. Ia merasa sangat malu ketika sadar jika dia terlalu berlebihan karena terkejut dengan kedatangan Dareen. Berulang kali Zeline menegaskan ke dalam hatinya sendiri jika saat ini ia adalah Kinara, bukan Zeline kekasih Dareen.
“Ya? Apakah ada yang salah?” Tampaknya Dareen menyadari tatapan aneh yang Zeline berikan kepadanya.
Untuk memperbaiki suasana yang canggung, Zeline berdeham pelan dan menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. Lalu ia mulai menatap Dareen dengan riang.
“Hai, aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?” Tanya Zeline.
Lagi-lagi Dareen tampak terkejut, namun hanya dalam hitungan detik Dareen mampu mengendalikan ekspresinya.
“Aku sangat baik-baik saja.” Jawab Dareen. “Apakah kamu akan pergi ke suatu tempat pagi ini?”
Zeline menganggukkan kepalanya. Ia harus segera sampai di toko untuk mempersiapkan pakaian yang akan ia jual. Kemarin malam ibunya melembur untuk menjahir beberapa pakaian. Memang masih belum jadi seluruhnya, tapi pagi ini Zeline berhasil membawa dua pakaian baru yang telah selesai dijahit dan dipasang ornamen hiasan yang menarik.
“Aku akan pergi ke toko. Apakah ada sesuatu yang ingin kamu lakukan hingga menemuiku sepagi ini?”
Zeline hampir hafal dengan kegiatan Dareen sehari-hari karena mereka sempat tinggal bersama selama satu pekan. Dareen adalah tipe pria yang rajin bangun pagi, dia akan langsung mandi dan bersiap untuk pergi bekerja setelah selesai sarapan. Tidak banyak menu sarapan yang Dareen sukai, pria itu biasanya hanya makan roti atau sereal. Lalu di sore hari, biasanya Dareen akan datang mengunjungi ibunya yang masih mendapatkan perawatan di rumah sakit setelah bertengkar dengan kakaknya. Orang tua biasanya lebih emosional ketika berdebat, oleh sebab itu ibunya Dareen langsung jatuh sakit ketika ia mendengar rencana kakaknya Dareen setelah wanita itu pulang ke Indonesia. Sayangnya setelah perdebatan itu, kakaknya Dareen juga mengalami masalah kesehatan. Jahitan pasca operasi wanita itu mengalami infeksi sehingga ia harus dirawat di rumah sakit lebih lama lagi.
Ah, Zeline jadi merasa penasaran dengan kabar keluarga Dareen. Apakah semua masalah sudah selesai? Lalu bagaimana dengan kesehatan ibu dan kakak perempuan pria itu?
Saat ini Zeline benar-benar ingin menanyakan banyak hal kepada Dareen, tapi ia harus puas dengan percakapan kaku seperti yang seharusnya dilakukan oleh Dareen dan Kinara. Ya, Kinara..
“Tidak, aku hanya ingin menanyakan kabarmu saja. Terakhir kali kita bertemu, keadaannya sangat kacau.”
Zeline menundukkan kepalanya, ia masih ingat dengan jelas jika saat itu para preman datang dan menyeretnya dengan kuat. Lalu tiba-tiba saja Dareen muncul dan menyelamatkannya.
Zeline tidak tahu kesepakatan apa yang Dareen lakukan dengan para preman, tapi mereka langsung pergi setelah mendengar nama lengkap Dareen. Dan setelah itu, tanpa saja Zeline menangis sambil memeluk Dareen.
“Aku belum berterima kasih atas bangtuanmu saat itu.”
“Berbicara tentang masalah itu, apakah kamu keberatan jika aku ikut campur untuk membentumu?” Tanya Dareen.
Kernyitan di dahi Zeline semakin dalam. Ia menatap ke sekitarnya sejenak, lalu kembali fokus kepada Dareen.
“Saat ini tidak ada siapapun di rumahku. Ibu dan ayah berangkat bekerja pagi-pagi dan kebetulan, aku tidak tahu jika kamu akan datang ke sini.” Zeline menjeda kalimatnya sejenak.
Dareen tampak menunggu dengan tenang.
“Oleh sebab itu, apakah tidak masalah jika kita berbicara di halaman rumahku saja?” Tanya Zeline.
Prinsip yang Zeline pegang masih tetap sama. Apalagi saat ini ia sedang menjalani kehidupan sebagai Kinara.
Apa yang akan orang pikirkan tentang Kinara jika ada yang melihat ia membawa seorang pria masuk ke dalam rumah ketika sedang tidak ada siapapun di rumahnya?
Zeline sudah pernah tinggal bersama dengan Dareen selama satu pekan, Zeline juga mengenal Dareen dengan sangat baik sehingga ia tidak pernah menaruh cara curiga kepada pria itu. Namun saat ini Zeline sedang berbicara dalam konteks Kinara. Sebagai seorang gadis yang tinggal di lingkungan masyarakat, nama Kinara akan tercemar jika ia berani membawa seorang pria ketika rumahnya sedang kosong. Sangat berbeda dengan Zeline yang tinggal di lingkungan masyarakat dengan pemikiran terbuka. Tidak ada yang peduli bagaimana Zeline dan Dareen menjalin hubungan asmara mereka.
“Tentu. Aku sama sekali tidak keberatan.” Jawab Dareen.
Zeline tersenyum canggung lalu ia berjalan kembali ke halaman rumahnya dimana terdapat dua kursi kayu dan sebuah meja kecil.
Awalnya Zeline duduk dengan tenang di samping Dareen, namun akhirnya ia sadar jika di rumah Kinara tidak ada pelayan yang akan menjamu tamu tanpa perlu diperintah. Di rumah ini, Zeline harus melakukan semuanya sendiri. Termasuk menyiapkan makanan ringan dan minuman untuk tamunya.
“Maafkan aku, aku akan segera kembali.” Zeline bangkit berdiri dengan cepat sehingga membuat Dareen terkejut.
Zeline meringis ketika menyadari kebodohannya. Ia menatap Dareen sekilas lalu buru-buru kabur ke dalam rumah.
Sesampainya di dapur, Zeline baru menyadari jika seumur hidupnya ia tidak pernah membuat makanan dan minuman apapun. Zeline mungkin unggul dalam bidang kecantikan, tapi ia sangat payah jika berurusan dengan dapur. Dan Zeline baru mengingat jika ia tidak tahu apa yang Dareen inginkan. Apakah teh? Atau kopi? Atau mungkin hanya air mineral saja?
Oleh sebab itu, Zeline melangkahkan kakinya dengan pelan ke arah halaman rumah.
“Apakah ada sesuatu yang ingin kamu minum?” Tanya Zeline dengan tiba-tiba.
“Sebenarnya Kinara, aku tidak sedang haus. Jadi jika kamu tidak keberatan, kembalilah duduk agar kita bisa segera membicarakan masalah yang… yang ingin kubicarakan.”
Dareen tidak pernah berbicara secanggung itu baik kepada Zeline maupun kepada Kinara. Sikap Zeline yang sangat aneh pasti membuat Dareen merasa canggung dan mengubah cara bicaranya menjadi lebih formal.
“Apakah tidak apa-apa jika aku tidak membawakan minuman?” Zeline duduk dengan ragu.
“Tidak akan ada yang menuntutmu untuk segelas minuman.” Dareen tersenyum geli. “Sudahlah, aku tidak sanggup berbicara canggung denganmu.” Ia tertawa pelan sebelum berdeham untuk meredakan rasa canggung.
Zeline terkikik pelan, ia sendiri merasa geli dengan cara bicara mereka.
Seandainya saja Dareen mengetahui jika perempuan yang ada di sampingnya saat ini adalah Zeline. Entah betapa terkejutnya pria itu jika ia mendengar bagaimana cerita Zeline dan Kinara.
“Jadi, aku ingin menawarkan bantuan kepadamu karena kebetulan aku mengenal beberapa dari mereka.” Dareen menolehkan kepalanya. Rasa canggung masih menguasai mereka berdua, tapi Zeline berusaha keras untuk tetap bersikpa tenang dan santai.
“Mereka?”
“Ya.. aku—maksudku..”
Zeline mengernyitkan dahinya.
“Baiklah, maksudku aku mengenal beberapa preman yang sempat datang ke rumahku. Dan secara kebetulan aku juga mengenal siapa bos mereka.”
Zeline menganggukkan kepalanya. Jujur saja Zeline sama sekali tidak terkejut, saat melihat bagaimana Dareen mengatasi para preman tersebut, sudah jelas jika Dareen mengenal mereka.
“Lalu?”
“Apakah kamu keberatan jika aku berbicara kepada mereka untuk membantumu?” Dareen mengerjapkan matanya sesaat lalu kembali berbicara dengan kalimat yang lebih terstruktur. “Aku tidak tahu apa yang menjadi kendalamu, tapi kedatangan mereka dan cara mereka memperlakukan keluargamu benar-benar sangat buruk. Apapun masalahnya, mereka tidak pantas menyeretmu dan menahan ibumu.”
Zeline menganggukkan kepalanya. Ia setuju dengan pendapat Dareen bahwa perlakuan para preman tersebut sangat tidak pantas untuk dilakukan oleh seorang pria kepada wanita.
“Sejujurnya keluargaku juga sudah menyusun rencana untuk mengantisipasi kejadian kemarin terulang lagi. Tapi sampai saat ini ayahku masih belum bisa menemui mereka lagi.”
Zeline tidak ingin membicarakan mengenai kendala ekonomi yang dialami oleh keluarga Kinara, tapi ia merasa tidak keberatan jika harus menjelaskan tentang upaya keluarganya dalam menghadapi para preman serta renternir yang meneror mereka belakangan ini.
“Aku mengenal mereka karena perjanjian kerja sama beberapa tahun yang lalu.”
Zeline menyipitkan matanya, tanpa sadar ia telah menatap Dareen dengan pandangan curiga.
“Hei, jangan menatapku seperti itu! Tentu saja aku bukan renternir.” Dareen tertawa pelan sehingga membuat Zeline menghembuskan napasnya dengan lega. “Kamu sama seperti Zeline yang langsung mencurigaiku ketika aku bercerita bahwa aku mengenal mereka.”
Senyuman Zeline langsung pudar seketika.
Dareen dan Kinara, ah maksudnya Dareen dan Zeline. Apa saja yang sudah mereka lakukan?
Zeline tidak bisa menampik jika ia sering merasa cemburu dengan Dareen dan Kinara, karena jujur saja, satu-satunya hal yang Zeline miliki di dalam hidupnya adalah Dareen.
“Tapi pada dasarnya, aku memang mengenal mereka.” Dareen menganggukkan kepalanya dengan perlahan.
“Baiklah, jadi apa yang harus kami lakukan?”
Zeline bukan tipe orang yang sulit menerima bantuan orang lain. Bagi Zeline, jika ada yang ingin membantunya, artinya orang tersebut peduli kepadanya. Dan dibandingkan menolak bantuan dengan alasan merasa tidak enak karena merepotkan, Zeline lebih memilih menerima bantuan dengan catatan ia harus membalas bantuan tersebut dikemudian hari.
“Jika kamu mengizinkan, biarkan aku yang berbicara dengan mereka untuk mewakili keluargamu. Mungkin kita bisa mendiskusikan perbuatan buruk mereka dan mencegah agar kejadian itu tidak terulang kembali.”
“Sejujurnya, kami tidak mengerti kenapa mereka tiba-tiba datang dengan marah-marah. Kami memang berhutang, tapi jatuh tempo pembayarannya masih sekitar satu pekan lagi. Dan kami juga sudah menyiapkan p********n tersebut sekalipun masih dengan cara mencicil.” Zeline menjelaskan keadaan dengan rinci.
Jika bantuan Dareen dapat membuat keluarga Kinara lebih mudah, maka Zeline tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dareen menawarkan bantuan, tidak salah jika Zeline menerimanya. Dan lagipula, saat ini keluarga Kinara terancam harus menjual toko di pasar untuk bisa menutup semua hutang yang mereka miliki.
“Aku tidak ingin ikut campur masalah metode p********n yang kalian pilih. Tapi aku bisa menjamin jika mereka tidak akan memerlakukan keluargamu dengan buruk.”
Zeline menatap Dareen dengan serius. Ia merasa terharu dengan perhatian yang Dareen berikan.
“Tapi tentu saja aku membutuhkan persetujuan darimu dan juga keluargamu. Aku tidak ingin dianggap lancang karena telah ikut campur terlalu jauh.”
Dari caranya menyampaikan tujuan kedatangannya, Zeline tahu jika Dareen juga merasa ragu.
Saat belum melakukan pertukaran kehidupan, Zeline pernah membahas masalah Kinara dengan Dareen. Yaitu saat Kinara menolak bantuan untuk mengantarkannya ke rumah sakit hingga membuat perempuan itu harus berdebat dengan ibunya. Saat itu Zeline dan Dareen sepakat jika ia tidak akan memaksa Kinara untuk menerima bantuan mereka lagi. Sebagai teman, mereka tetap boleh menawarkan bantuan, tetapi jika Kinara menolak, mereka tidak berhak untuk memaksa.
Mungkin saat ini Dareen sedang mencoba menerapkan hasil kesepakatan mereka saat itu.
Ya, Dareen tidak tahu jika perempuan yang ada di depannya bukanlah Kinara, melainkan Zeline sendiri.
“Aku sangat menghargai bantuanyang kamu tawarkan. Jujur saja aku juga merasa senang karena kamu mau peduli dengan masalah keluargaku. Tapi, aku tentu tidak bisa mengambil keputusan sendiri, aku harus menunggu orang tuaku dan membicarakan masalah bantuan ini kepada mereka.”
“Ya, tentu saja kamu bisa berdiskusi dengan keluargamu.” Dareen menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Dan jika keluargamu setuju, aku juga bisa membayar hutang itu kepada mereka agar kalian tidak perlu lagi merasa khawatir—”
“Maafkan aku, untuk masalah itu kurasa sebaiknya kamu tidak perlu ikut membayar hutang kami. Bantuan yang kamu berikan sudah cukup membuat kami merasa lebih aman.” Zeline tersenyum dengan tenang.
Sebenarnya juga tidak masalah apabila Dareen membayar seluruh hutang keluarga Kinara. Zeline yakin jumlahnya tidak akan membuat Dareen merasa keberatan karena pria itu terbiasa mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar setiap bulan. Namun Zeline ingin menghargai keputusan Kinara yang tidak ingin ada satupun orang yang ikut campur dalam masalah ekonomi keluarganya.
“Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu.” Dareen mencondongkan tubuhnya ke arah Zeline, pria itu tampak ingin memberikan penjelasan tapi akhirnya ia mengurungkan niat.
“Aku mengerti.”
“Tolong jangan salah paham denganku, tapi aku memiliki kerja sama di bidang jual beli tanah dengan beberapa renternir di sekitar ini.” Dareen tampak berusaha keras untuk menyusun kalimat dengan baik agar penjelasannya tidak terdengar konyol.
Zeline menganggukkan kepalanya, memberikan respon yang menyatakan jika ia mendengarkan penjelasan tersebut.
“Saat ingin membebaskan tanah dalam jumlah yang besar, para renternir tersebut pernah menawarkan tanah mereka, dan tentu saja aku membeli dengan harga yang baik sehingga sampai saat ini mereka masih sering menghubungiku untuk menjual tanah mereka.”
“Baiklah, jadi kalian bekerja sama?”
“Kuharap kamu tidak salah paham karena sejujurnya aku juga membeli tanah yang telah mereka sita dari pemiliknya, aku membayar kompensasi kepada para pemilik yang telah kehilangan tanah tersebut. Jadi bisa dikatakan jika aku membeli dari dua belak pihak.”
Zeline tertawa pelan. Dareen terbiasa memberikan penjelasan dengan cara yang konyol ketika ia sedang panik.
“Aku mengerti.” Jawabnya dengan pelan.
“Syukurlah kamu langsung mengerti, aku merasa takut jika kamu salah paham seperti yang Zeline lakukan kemarin.”
Zeline menundukkan kepalanya. Ia selalu merasa tidak nyaman setiap kali Dareen mulai menyebutkan namanya tapi pria itu memikirkan sosok lain yang sebenarnya bukan dirinya.
“Baiklah, kurasa kamu sedang sibuk hari ini. Jadi sebaiknya aku segra pulang agar tidak mengganggumu.” Dareen bangkit berdiri sambil tersenyum.
Zeline ikut bangkit berdiri, ia menatap pria itu dengan berat hati.
Sebenarnya Zeline masih ingin berbicara dengan Dareen.
“Terima kasih karena telah datang ke rumahku dan menawarkan bantuan kepada keluargaku.” Zeline tersenyum, ia menatap Dareen dengan baik untuk menyimpan sosok pria itu di dalam hatinya. Mungkin Zeline tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Dareen lagi di waktu dekat.
“Tidak masalah, itu sama sekali bukan hal yang merepotkan. Tolong kabari aku secepatnya agar kita bisa segera membereskan masalah ini.” Dareen tersenyum dan mulai melangkahkan kakinya keluar dari halaman rumah Kinara.
Zeline masih berdiri dengan tegak di balik pilar rumah yang berbuat dari kayu, ia juga tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan antusias ketika mendengarkan kalimat Dareen.
Rasanya sangat tidak sabar untuk memberitahukan kepada orang tua Kinara bahwa mereka akan segera mendapatkan jaminan keamanan dari Dareen. Mereka tidak perlu lagi merasa ketakutan hingga harus menjual toko pakaian yang ada di pasar. Mulai saat ini, mereka bisa bekerja dengan tenang dan menghasilkan lebih banyak uang untuk membayar cicilan hutang kepada para renternir.