Perkataan Rera beberapa saat yang lalu masih menganggu pikiran Zeline. Selama ia menjalani hubungan dengan Dareen, tidak pernah sekalipun pria itu memberikan komentar mengenai penampilan fisiknya. Dareen memang selalu memuji Zeline, dia mengatakan jika Zeline tampil cantik di segala situasi, tapi Dareen tidak pernah memberikan kritikan mengenai penampilan seperti apa yang seharusnya Zeline tampilkan. Dareen menatapnya dengan tulus seakan pria itu tidak terlalu peduli dengan penampilan fisiknya, satu-satunya hal yang Dareen pedulikan adalah dirinya.. dirinya yang sebenarnya.
Hubungannya dengan Dareen bukan tipe hubungan yang terlalu mengedepankan sentuhan fisik. Selama ini mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan mengobrol dan menceritakan keseharian masing-masing dari pada membahas hubungan dewasa seperti yang dijalani oleh kebanyakan orang di usia mereka. Beberapa kali Dareen memang sengaja menggodanya, tapi pria itu selalu tahu dimana batas yang tidak boleh ia lewati. Kalaupun Dareen mulai kehilangan kendali, ia tidak pernah tersinggung ketika Zeline memperingatkannya.
Zeline memang dibesarkan di dalam keluarga yang berpikiran terbuka. Orang tuanya selalu membatasi pergaulan Zeline, tapi mereka tidak pernah membatasi hubungannya dengan Dareen. Zeline dibebaskan menjalin hubungan seperti yang ia inginkan karena kedua orang tuanya tidak terlalu suka mencampuri kehidupan asmara Zeline. Asalkan ia menjalin hubungan dengan orang yang tepat, maka orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan. Lagipula, selama ini Zeline hanya menjali hubungan dengan Dareen saja, ia tidak pernah bermain-main dengan pria lain. Begitu juga dengan Dareen yang sangat jarang memiliki hubungan serius dengan seorang wanita. Zeline dan Dareen sudah saling mengenal sejak mereka kecil, tapi hubungan asmara mereka baru berjalan beberapa tahun belakangan.
Meskipun Zeline dan Dareen sama-sama dibesarkan di dalam keluarga dengan pemikiran terbuka yang cenderung membebaskan mereka dalam menjalani hubungan asmara, Zeline memiliki prinsip yang tidak akan ia langar seumur hidupnya. Yaitu menjaga dirinya hingga ia menikah dengan orang yang tepat. Zeline selalu berharap jika orang itu adalah Dareen.
Selama ini Dareen juga selalu mendukung keputusannya. Sebagai seorang pria dewasa, Dareen pasti sering merasa kesulitan karena harus mengikuti prinsip kuno yang Zeline percayai, tapi ia tidak pernah terlihat keberatan dengan keputusan tersebut.
Namun hubungan mereka selalu baik-baik saja. Mereka tidak terlihat terbeban satu sama lain, justru sangat menyenangkan karena berhasil menjalin hubungan sehat yang tidak hanya mengedepankan hubungan fisik layaknya orang dewasa pada umumnya. Mereka lebih fokus untuk saling memperhatikan satu sama lain, saling mendukung dan saling memahami.
Zeline merasa jika dia sangat beruntung karena memiliki Dareen sebagai kekasihnya.
Ya, sebagai kekasihnya.
Namun belakangan ini Zeline sering memikirkan Dareen dengan hati yang sedih.
Zeline sangat merindukan Dareen, dia sangat merindukan kekasihnya.
Sayangnya, tidak ada satupun hal yang bisa Zeline lakukan. Sebagai Kinara, rasanya akan sangat aneh jika Zeline tiba-tiba menghubungi Dareen dan meminta pria itu menemuinya. Lagipula, kalaupun mereka bertemu, Dareen pasti akan memperlakukan dirinya sebagai Kinara, bukan sebagai Zeline.
Meskipun Dareen adalah tipe pria yang sangat ramah kepada semua orang, Zeline akan tetap merasa sedih jika ia bertemu dengan Dareen tanpa bisa memeluk pria itu seperti yang biasa ia lakukan ketika mereka bertemu setelah hari-hari panjang yang penuh dengan kesibukan. Jangankan untuk memeluknya, Zeline tidak akan memiliki kesempatan untuk berlama-lama menatap Dareen karena pria itu pasti akan merasa tidak nyaman jika seorang perempuan yang ia kenal sebagai Kinara menatapnya dengan pandangan serius yang terlihat aneh.
“Kinara? Kenapa kamu hanya melamun? Kamu mendapatkan pembeli!”
Zeline mengerjapkan matanya. Merasa terkejut ketika mendengarkan teguran dari ibunya Kinara yang tiba-tiba datang ke toko.
Dihadapannya, ada dua orang perempuan muda yang sedang menatap ke sekeliling toko seakan mereka sedang menentukan pilihan sebelum membeli salah satu dari pakaian yang ada di toko tersebut.
“Maafkan aku.” Zeline menatap ibunya Kinara sejenak sebelum berjalan mendekati pelanggan yang sedang berdiri di sisi kanan toko.
Jujur saja, Zeline sering menemukan pakaian dengan model menarik tapi memiliki pemilihan warna yang kurang sesuai. Ibunya Kinara memang seorang penjahit yang cukup handal, wanita itu bisa menciptakan pakaian dengan model yang indah padahal selama ini wanita itu tidak pernah bersekolah secara khusus di sekolah desain ataupun fashion. Zeline sering merasa tercengang dengan kemampuan ibunya Kinara. Mungkin akan lebih baik lagi jika mulai sekarang mereka bisa mempelajari pemilihan warna dan kesesuaian model pakaian terhadap selera pasar. Zeline yakin toko ini akan semakin ramai jika mereka berhasi membuat koleksi pakaian yang menarik.
“Pakaian seperti apa yang ingin kalian cari?” Tanya Zeline sambil tersenyum ramah.
Dua perempuan muda tersebut tampak malu-malu ketika akan mengutarakan model pakaian yang mereka cari.
Dengan sabar Zeline membantu menunjukkan beberapa pakaian yang tampak cantik jika digunakan oleh perempuan muda.
Sebagai seorang model, Zeline sering kali memilih pakaian yang sesuai dengan umurnya. Ia akan menghindari pakaian yang membuatnya terlihat lebih tua dari usianya, tapi sebisa mungkin Zeline juga menghindari pakaian yang membuatnya terlihat seperti anak kecil.
Sekalipun memiliki postur tubuh yang tinggi semampai, banyak orang yang mengatakan jika Zeline memiliki wajah mungil seperti seorang anak remaja. Membangun karakter yang sesuai dengan usia dan kepribadian adalah hal yang cukup sulit. Oleh sebab itu selama ini Zeline lebih sering menggunakan pakaian yang bernuansa putih. Menurut Zeline, warna putih sangat netral digunakan oleh siapapun, baik remaja, dewasa, maupun orang tua.
“Apakah kalian ingin mencari gaun? Atau mungkin pakaian kasual?” Tanya Zeline.
“Bisakah menunjukkan beberapa gaun kepada kami?” Salah satu dari mereka mengutarakan kenginginannya.
Zeline menganggukkan kepalanya dan segera mengeluarkan beberapa persediaan baju yang masih dibungkus dengan rapi di bawah etalase. Gaun tersebut masih belum bisa Zeline pasang di manekin karena waranya kurang sesuai dengan tema toko yang sudah ia tentukan.
“Kulitmu sangat cantik, tampak eksotis secara alami. Warna ini akan terlihat menyala di tubuhmu.” Zeline memberikan sebuah gaun lengan panjang berwarna fuchsia.
“Apakah tidak terlihat aneh jika aku menggunakan ini? Kulitku sangat hitam dan—”
“Tentu saja tidak! Kamu sangat cantik. Kulitmu juga sangat cantik.” Zeline menatap perempuan muda itu dengan antusias.
Sudah hampir sepuluh tahun bergabung dengan sebuah agensi model ternama milik seorang model senior, Zeline telah menemui berbagai jenis warna kulit yang dimiliki oleh model.
Bagi sebagian orang, memiliki kulit putih pucah atau kuning langsat akan membuat penampilan semakin menarik. Tapi tidak dengan dunia model yang biasanya akan lebih mengutamakan keunikan penampilan. Memiliki kulit eksotis menjadi nilai lebih untuk beberapa model yang benar-benar fokus pada dunia Fashion.
“Benarkah? Aku merasa tidak percaya diri jika harus menggunakan pakaian ini untuk pesta dansa sekolah.”
Zeline termenung sesaat, ia jadi teringat pada pesta dansa terakhirnya dimana Dareen mengirimkan sebuah gaun cantik untuk ia gunakan dalam pesta tersebut. Tanpa diduga, Zeline terpilih untuk menjadi the prom queen.
“Bagaimana jika kamu mencobanya lebih dahulu? Jika kamu tetap tidak suka, aku bisa menunjukkan warna-warna lain kepadamu.” Zeline menjelaskan dengan sabar.
Masa-masa dimana Zeline sering menangis karena rasa tidak percaya diri telah berlalu sejak beberapa tahun yang lalu. Menjadi model tidak semudah yang ia bayangkan. Ada banyak orang dengan penampilan yang lebih sempurna dari dirinya, tekanan dari agensi sering kali membuat Zeline merasa frustasi. Saat itu, satu-satunya hal yang Zeline inginkan adalah mengubah penampilannya menjadi lebih baik lagi seperti standar kecantikan yang ditentukan oleh orang-orang.
Sampai sekarang Zeline masih sering merasa kurang puas dengan penampilannya, tapi insecurity yang rasakan sudah tidak seburuk beberapa tahun yang lalu.
“Sepertinya kamu memang harus mencobanya.” Teman dari perempuan itu memberikan usulan.
Zeline menganggukkan dirinya dan tersenyum. Ia mulai membuka lapisan plastik yang membungkus baju tersebut, lalu segera menunjukkan ruangan ganti pada perempuan muda itu.
Kurang dari dua menit kemudian, perempuan itu keluar dengan menggunakan gaun yang Zeline berikan.
Jujur saja gaun itu terlihat cantik di kulitnya. Membuat dia terlihat menonjolkan warna kulitnya yang eksotis khas wanita Asia. Tapi kembali lagi, keputusan tetap ada di tangan pembeli. Sekalipun Zeline menyukai penampilannya, bukan berarti dia harus mengikuti pendapat Zeline.
“Kamu terlihat cocok dengan gaun itu. Apakah kamu masih merasa kurang percaya diri?” Tanya Zeline sambil tersenyum ramah.
“Iya, gaun itu terlihat cocok untukmu.” Temannya ikut memberikan komentar sambil menunjukkan kedua jari jempolnya.
“Aku merasa jika gaun ini sangat cantik, tapi bisakah kamu menunjukkan warna yang lain?”
“Tentu saja. Biar kucarikan gaun cantik lainnya untukmu.” Zeline menjawab dengan antusias.
Kurang dari lima menit kemudian, Zeline menemukan sebuah gaun berwarna hujau olive dengan aksen renda di bagian pinggangnya. Ada sebuah pita kecil di ujung lengannya sehingga meninggalkan kesan manis yang cocok untuk seorang anak muda. Gaun tersebut tidak terlalu panjang, tapi juga tidak terlalu pendek. Masih tetap terkesan sopan jika digunakan untuk acara formal maupun non formal.
“Bagaimana dengan yang ini? Hijau olove juga akan terlihat cantik di kulitmu.” Kata Zeline.
“Apakah kita harus mencocokkan warna baju dengan warna kulit kita?”
Pertanyaan itu langsung membuat Zeline terdiam untuk sesaat. Gadis yang sejak tadi menemai temannya mencari gaun untuk pesta dansa mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Zeline merasa ragu untuk menjawab.
Sebagai seorang model, lagi-lagi Zeline harus mengikuti standar kecantikan fashion yang sengaja ditentukan oleh orang-orang yang berpengaruh di bidang tersebut. Sejak kecil, Zeline terbiasa mencocokkan warna pakaian dengan kulit putih cucatnya. Jika Zeline salah menggunakan pakaian, maka kulitnya akan terlihat semakin pucat. Ada beberapa warna yang harus Zeline hindari dan ada beberapa warna yang akan terlihat cantik dengan kulitnya.
Namun kembali lagi, mereka semua terlalu berpatokan pada standar kecantikan tanpa memikirkan kenyamanan dan selera masing-masing orang.
Jika sebagai orang biasa, Zeline bisa menerapkan pandangan dan seleranya terhadap fashion, tapi sebagai seorang model, tentu saja Zeline harus mengikuti standar yang berlaku.
“Untuk mendapatkan penilaian dari orang lain, maka jawabannya adalah iya. Tapi jika untuk kenyamanan diri sendiri, mungkin kamu bisa menggunakan pakaian apapun yang membuatmu merasa nyaman.”
“Tapi bukankah hanya orang lain yang bisa menilai kecantikan kita? Artinya tidak ada pilihan selain menggunakan baju yang cocok dengan warna kulit kita.”
Zeline menaikkan kedua alisnya. “Benar juga. Tapi sampai kapan kita memikirkan kecantikan dan penilaian orang lain? Bukankah akan sangat menyenangkan jika kita bisa menggunakan pakaian yang kita suka?”