3 : Perasaan yang Baru Terungkap

1192 Kata
Pagi hari, Nandya terbangun dari tidurnya. Ia sendirian di dalam kamar. Keningnya mengernyit, lalu tatapannya tertuju pada sebuah jam dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. Cepat-cepat, Nandya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi sembari menguncir rambutnya asal-asalan. Setelah itu, Nandya melaksanakan ibadah sebagai seorang muslimah. Nandya membuka gorden yang ada di dalam kamar. Ia merapikan kasur yang cukup berantakan. Lalu, ia pun keluar dan mencari keberadaan seseorang. Apakah pria itu tidak pulang? Matanya melirik ke arah tangga. Ia sungguh penasaran dengan lantai atas rumah ini. Dari semalam, dirinya merasa tak enak, entahlah mungkin itu hanya firasatnya saja. Suara langkah kaki menuruni tangga terdengar. Nandya melihat pria itu yang turun dengan piyama tidurnya berwarna hitam. “Udah bangun?” “Bang Aga … aku kira enggak pulang.” Pria itu tersenyum begitu manis. “Kamu enggak nungguin Abang, ‘kan?” Tak ada jawaban, Nandya hanya diam. “Abang harap, kamu nggak nungguin Abang semalaman. Tidurnya nyenyak, ‘kan?” Sontak saja, Nandya mengangguk pelan. “Abang mau dimasakin apa?” Bagas Sutresno tertawa kecil mendengar ucapan wanita di hadapannya. Tatapan mata pria berusia 30 tahun itu tak lepas dari mata indah milik wanita yang berdiri tepat di hadapannya. Namun, cepat-cepat ia pun menggeleng pelan. Tidak, ia tidak boleh seperti ini. Ini tidak benar. “Bang Aga!” “Memangnya kamu mau masak apa? Ada bahan makanan di kulkas? Kan nggak ada apa-apa, mending bikin mie instan.” “Gak baik makan itu terus, jangan-jangan Abang sering, ya?” tanya Nandya seraya menatap pria itu penuh selidik. “Jujur, Abang jarang makan di rumah, seringnya makan di luar, makanya di rumah paling ada nugget, sosis, ya gitu-gitu aja. Praktis, tinggal digoreng, selesai.” “Kenapa Abang nggak pakai jasa asisten rumah tangga?” “Itu malah tambah pemborosan, Nandya.” Bagas mengacak rambut Nandya dengan gemas. “Lagi pula, hanya Abang sendirian di sini. Abang nggak terlalu butuh asisten rumah tangga.” “Kalau boleh tau, Abang kerja apa?” Hening. Mereka sama-sama terdiam. Nandya masih menunggu jawaban dari pria itu. “Bang?” “Abang kerja di sebuah perusahaan properti. Abang sudah naik jabatan dan gajinya lumayan.” Bagas tersenyum lembut. “Pantes, Bang Aga betah tinggal di Jakarta.” Nandya terkekeh pelan. “Bang Aga sampai gak pernah pulang.” “Saya kangen banget sama orang yang panggil saya dengan sebutan Bang Aga.” Kini, tatapan mata Bagaskara berubah. Ia menatap lekat wanita di hadapannya. “Cuma kamu, cuma kamu yang panggil saya dengan sebutan itu.” Pria itu mendekati Nandya, sampai jarak di antara mereka begitu dekat. Lalu, ia pun memegang tangan Nandya dan mengelusnya dengan pelan. Dari tatapan Nandya, Bagas bisa melihat ada ketakutan di mata cokelat wanita itu. “Ah, maaf.” Dengan cepat, Bagas pun melepaskan tangan Nandya. “Bang Aga kenapa?” “Ini memang salah saya. Seharusnya, dari awal saya bilang sama kamu, saya memang seorang pecundang.” “Maksudnya?” “Seharusnya dari dulu Abang bilang kalau Abang suka sama kamu.” Bagas menundukkan kepalanya. Kedua tangannya mengepal. “Bang?” Nandya menggeleng. Ia mundur beberapa langkah sampai dirinya pun menabrak tembok. “Abang pikir, Abang akan melupakan kamu ketika pergi ke Jakarta. Tetapi apa? Setelah beberapa tahun, keadaan tetap sama, Abang masih menaruh perasaan untuk kamu. Abang cinta sama kamu, Nan.” “Gak mungkin.” Bagas terkekeh lirih. Ia pun berdecak pelan. “Apa yang gak mungkin Nandya? Kamu perempuan dan Abang laki-laki, Abang rasa perasaan yang tumbuh di dalam hati itu datang secara tiba-tiba. Sejak kecil, kita selalu bersama. Abang tahu, kamu pasti akan menjawab seperti itu, karena kamu menganggap Abang adalah kakak kamu. Tetapi, hati kamu sudah milik orang lain, sejak orang itu datang.” Mata Nandya berkaca-kaca. “Jangan bilang, Abang pergi sehari sebelum aku menikah karena hal itu.” Ia pun menunduk, menatap lantai ruangan itu. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pria di hadapannya. “Jawabannya, ya. Iya, Nandya. Karena kamu lebih memilih pria itu dibanding Abang.” Air mata luruh dari pelupuk mata Nandya. Tangannya gemetar hebat. Jantungnya berdetak dengan cepat. Ia tak tau harus melakukan apa sekarang. Di sisi lain, dirinya merasa begitu bersalah kepada pria itu, karena ia tidak bisa membalas perasaannya. Tetapi, di sisi lain, cintanya kepada suaminya juga tak salah. “Dia pria yang tidak baik, Nandya.” “Maksud Bang Aga apa? Kenapa berbicara seperti itu?” Nandya mengernyit menatap Bagas. “Tinggalin suami kamu, kamu gak pantas bersamanya.” Nandya menggeleng tak percaya. “Abang mungkin kecewa sama aku, tapi Bang Aga sama sekali gak berhak untuk menjelek-jelekkan suamiku.” “Dia memang tak pantas buat kamu! Dia jahat, dia tidak setia sama hubungan kalian, Nandya.” “Bang Aga!” Nandya marah. Ia begitu kesal karena suaminya dituduh yang tidak-tidak oleh Bagas. Karena menurutnya, suaminya bukanlah orang yang seperti itu. “Aku gak suka Bang Aga yang seperti ini.” “Justru itu, Nandya! Abang gak mau melihat kamu tersakiti. Abang gak mungkin berbicara seperti ini jika tak melihatnya sendiri.” Nandya memejamkan matanya sejenak. “Abang berarti pernah bertemu dengan suamiku, ‘kan?” Dengan tegas, Bagas pun mengangguk. “Abang tau di mana dia tinggal?” Sekali lagi, Bagas pun mengangguk. “Antar aku. Antar aku menemuinya. Abang sendiri yang bilang, kalau seorang istri harus ikut kemana pun suaminya pergi. Aku ingin bertemu suamiku.” “Nandya …” “Aku gak mau berlama-lama di sini, hubungan kita hanya sebatas teman masa kecil. Sejak saat ini, sejak aku mengetahui perasaan Bang Aga kepadaku, aku tak lagi merasa nyaman. Maafkan aku,” ucap Nandya dengan nada yang getir. Ada sebuah kekecewaan di mata pria itu saat menatapnya. Jujur, Nandya pun merasa tak enak karena sudah berkata seperti itu. Sejak kecil, Bagas adalah orang yang paling ia sayangi. Pria itu selalu ada bersamanya. Selalu melindunginya dari ejekan anak-anak lain. Nandya sudah menganggapnya sebagai kakak. Tetapi, Nandya tak tau kalau selama ini Bagas tidak menganggapnya sebagai seorang adik, ia tak menyangka kalau Bagas memiliki perasaan untuknya. Sejak Bagas mengakui semuanya, rasanya ia sangat canggung sekarang. Tak bisa lagi menganggap Bagas seperti Bagas yang ia kenal. “Nandya, tolong … jangan kembali dengan dia. Abang gak mau kamu sakit hati.” “Abang tak tau apa-apa. Bisa saja, apa yang dikatakan oleh Bang Aga hanyalah omong kosong. Dia masih suamiku. Sebagai seorang istri, aku sangat mempercayainya. Kalau Bang Aga gak mau mengantarkan aku kepadanya, maka aku sendiri yang akan mencari di mana dia tinggal. Terima kasih atas tumpangannya.” “Mau ke mana?” Bagas menahan tangan Nandya. Namun, langsung dihempaskan oleh wanita itu. “Oke, maaf. Abang sudah terlalu jauh ikut campur. Jangan pergi sendirian, Jakarta luas, apalagi kamu sama sekali nggak tau tempatnya. Abang yang akan antarkan.” Nandya menatap pria itu dengan lekat. Tatapan Bagas begitu lembut kepadanya. Walaupun tadi, ia sempat berbicara yang ia pikir akan menyakiti hati pria itu. “Niatnya, Abang akan membantu kamu menemui suamimu. Abang tau, kamu ke Jakarta pasti ingin bertemu dengannya, karena Abang mendengar dari Reza kalau suami kamu pun pergi ke Jakarta untuk bekerja. Tetapi, ketika acara kantor semalam, rasanya Abang tidak rela untuk membawamu kepadanya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN