2 : Canggung

1507 Kata
Nandya menatap seluruh interior di dalam rumah yang baru saja ia masuki. Wanita itu kagum melihat betapa bagus dan luasnya rumah tersebut. Banyak sekali barang-barang yang terjejer rapi di tiap dinding dan ia yakin harganya pasti tak murah. Namun, ada satu objek yang membuat matanya tak bisa berhenti menatap. Seorang pria yang berjalan mendahuluinya, badannya yang tegap, punggungnya yang kokoh, bahunya yang lebar tertutupi kaos berwarna hitam. Ditambah lagi potongan rambut yang membuat Nandya semakin mengagumi pria itu sama seperti dulu. Pria itu terlihat begitu menawan. “Kamu duduk dulu, saya buatkan minum.” Nandya menelan salivanya dengan susah payah. Sejak pertama kali mereka bertemu, dirinya tak bisa menahan untuk tidak memeluk pria itu. Ia pikir, pria itu juga akan membalas pelukannya dengan erat, namun ia salah besar. Mereka berdua sangat canggung setelahnya. Nandya merasa pria itu seperti terlalu kaget akan kehadirannya di sini. Dan ucapan pria itu terdengar begitu kaku. Entahlah, mungkin itu hanya perasaan Nandya saja. Wanita itu pun duduk di kursi ruang tamu yang membentuk huruf L dengan meja kaca di hadapannya. Meja itu kosong, tak ada makanan ringan di atasnya. Sayang sekali, padahal satu set sofa yang sedang Nandya duduki sekarang mungkin saja harganya bisa lebih dari dua ekor kambing di kampung. Beberapa menit kemudian, pria itu pun datang seraya membawa nampan di tangannya. Ada beberapa macam makanan ringan dan juga dua gelas yang sudah terisikan air berwarna merah. Nandya menebak, isi di dalam gelas itu adalah sirup yang sering ia beli ketika bulan ramadan. “Diminum, makanannya hanya seadanya aja, Nan.” Nandya memaksakan senyumannya kala mendengar ucapan yang terlontar dari mulut pria itu lagi. “Iya, gak apa-apa kok, Bang,” ucap Nandya seraya mengambil salah satu gelas dari atas nampan. “Makasih ya, Bang. Ini Nandya minum, ya?” “Oh, iya.” Nandya meminum minumannya, ekor matanya menatap gestur tubuh pria yang duduk di sampingnya. Wanita itu menaruh kembali gelas ke atas meja, ia menghela napasnya sejenak. Tampak sekali pria itu benar-benar tak nyaman akan keberadaannya di rumah ini. “Abang baik-baik aja, ‘kan? Maksud aku, selama tinggal di Jakarta, semua kebutuhan Abang terpenuhi?” tanya Nandya dengan tatapan yang lekat menatap wajah pria itu yang masih belum membalas tatapannya. Nandya melihat mata pria itu mengerjap pelan. Sebelum akhirnya, helaan napas panjang pun terdengar. Akhirnya, mata mereka beradu, saling menatap satu sama lain beberapa detik hingga suara berat pria itu menginterupsi. “Ya, kamu lihat sendiri, ‘kan? Apa terlihat jika saya tidak bahagia di sini?” Nandya menggeleng. “Benar, Abang terlihat sangat baik,” jawabnya getir. “Jika aku boleh berkata jujur, Abang seperti tidak nyaman dengan kehadiran Nandya di sini.” Tubuh pria itu menegang, raut wajahnya mengeras. “Kenapa kamu beranggapan seperti itu?” Nandya terkekeh pelan. “Karena aku melihat gerak-gerik Abang dari tadi. Maaf, aku hanya mengutarakan perasaanku saja.” “Nandya …” tangan besar pria itu menyentuh lengan Nandya sampai membuat Nandya sedikit terkejut. Jantungnya berdetak dengan cepat. Mata Nandya mengerjap kecil, dengan susah payah ia menelan salivanya. “Kenapa, Bang?” “Jangan bicara seperti itu. Abang gak suka mendengarnya. Abang hanya kaget karena kamu tiba-tiba ada di sini. Kamu tau kan, sudah berapa lama kita berpisah? Abang tinggal di Jakarta sendirian, meninggalkan kamu di kampung, jadi rasanya begitu sulit dijelaskan.” Nandya tersenyum kecil. “Bapak meninggal, aku makanya datang ke Jakarta. Apa Abang merasa keberatan?” Pria itu menggeleng dengan cepat. “Innalillahi bapak meninggal? Nggak, Abang nggak ngerasa keberatan sama sekali. Abang … senang kamu di sini.” Senyuman kecil terbit di wajah pria dengan rahang tegas itu. Nandya menatap lekat pria di hadapannya. Setelah lama berpisah, banyak sekali perubahan dari fisim pria di hadapannya. Rambutnya yang dulu gondrong, sekarang sudah dipangkas rapi, jambang pun tumbuh di rahang pria itu. Padahal dulu, pria itu paling anti sekali menumbuhkan jambang di wajahnya, katanya ia akan semakin terlihat tua karena jambang. Namun sekarang, jambang itu seperti bukti bahwa pria di hadapannya kini sudah terlihat lebih dewasa dan gagah. “Iya, Bapak meninggal, Bang.” “Kamu udah makan?” tanyanya. Nandya menggeleng pelan. Ia memilin jari-jarinya dengan perasaan gugup. “Kamu mandi dulu, Abang akan bereskan kamar, lalu kamu bisa ganti pakaian, setelah itu Abang akan pesan makanan.” Nandya pun mengangguk. Ia berjalan mengikuti pria itu masuk ke dalam sebuah ruangan yang terdapat kasur berukuran besar di tengah-tengah. Nuansa kamar yang begitu memanjakan mata karena perpaduan warna cat abu muda dan putih membuat senyum Nandya terukir di wajahnya. “Kamu bisa gunakan kamar ini.” Ia pun mengangguk mendengar ucapan pria itu. “Di sana ada kamar mandi.” Pria itu menunjuk ke sebuah pintu yang ada di dalam kamar. “Di kamar ini … ada kamar mandi?” Pria itu mengangguk seraya tersenyum kecil. “Iya, ini kamar utama, makanya di dalamnya ada kamar mandi.” “Bang—” “Abang ke luar dulu, mau pesan makanan.” Nandya tak jadi mengutarakan ucapannya. Ia pun hanya menuruti ucapan pria itu. Ditatapnya punggung tegap yang berjalan keluar kamar. Sekarang, ia hanya sendiri berada di dalam kamar yang luas ini. Ia berjalan beberapa langkah, lalu ia pun duduk di kasur yang terasa begitu empuk. Diusapnya sprei berwarna cokelat, terasa begitu lembut ketika menyentuh permukaan kulitnya. Benar, pria itu pasti hidup serba kecukupan di sini. Banyak sekali pertanyaan yang ada di dalam benak Nandya. Namun, ia masih menahan semuanya untuk ia keluarkan, karena ia merasa tak ada kesempatan untuk dirinya menanyakan hal itu. Ditambah lagi, keadaan saat ini juga belum memungkinkan. ••• Nandya keluar dari kamar setelah ia sudah membersihkan tubuhnya. Celana bahan berwarna hitam dan kaos biru muda menjadi pilihannya. Ia mencari keberadaan pria itu. Tetapi, ternyata tak ada. “Apa dia lagi beli makan?” tanyanya pada diri sendiri. Nandya pun berinisiatif untuk melihat-lihat rumah itu. Ketika memasuki dapur, ia tertawa kecil melihat semua bumbu masakan yang masih penuh di dalam tempatnya masing-masing. Ketika ia membuka kulkas, hanya ada minuman kaleng dan beberapa makanan beku siap saji. Rupanya, pria itu jarang memasak. Lalu, ia kembali berjalan, sepanjang kakinya melangkah menelusuri rumah itu, ada satu hal yang tak pernah ia lihat. Bingkai foto. Sama sekali tak ada foto yang menempel di tembok rumah pria itu. Hanya ornamen-ornamen kecil sebagai penghias agar tak terlalu sepi. “Nandya, ngapain?” Nandya terperanjat kaget ketika mendengar suara berat yang memanggilnya. “Ah, itu … hanya jalan-jalan untuk melihat rumah.” “Oh … nanti Abang yang akan temenin kamu, sekarang kamu makan dulu, ya? Kamu belum makan, pasti sangat lelah perjalanan dari kampung ke Jakarta.” Nandya tersenyum lebar sampai membuat matanya menyipit. Wanita itu terlihat begitu manis dengan rambut yang digerai hingga menyentuh pinggangnya. “Maaf ya, Bang, kalau aku datang tiba-tiba ke sini, pasti kamu kerepotan.” Nandya berucap seraya menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. “Kamu ngomong apa sih? Kok begitu ngomongnya? Abang gak suka kamu ngomong begitu,” ujar pria itu sambil menatap wanita yang tengah lahap memakan makanannya. Jujur, detakan dalam jantungnya masih sama seperti dulu, kala ia melihat wanita itu bermain di sungai bersama teman-teman sebayanya. “Abang pasti gak mengira aku akan ada di sini, ‘kan?” Pria itu mengangguk. Ia memberikan jawaban yang jujur kepada wanita di hadapannya. “Akhir tahun nanti, niatnya Abang akan pulang ke kampung, ternyata kamu sudah duluan datang ke Jakarta.” Nandya tersenyum kecil disela kunyahannya. “Kamu … terlihat semakin cantik.” Sontak saja, tubuh Nandya membeku ketika mendengarnya. Detak jantungnya berdetak dengan kencang. Matanya mengerjap-ngerjap. “Ah, habiskan makannya. Abang gak suka lihat makanan yang bersisa.” Rupanya, pria itu mengalihkan pembicaraan. Nandya hanya diam seraya tersenyum kecil. “Mungkin Nandya akan tinggal di sini beberapa hari, setelah itu Nandya akan pergi, melihat Abang yang hidup dengan baik di Jakarta membuat Nandya senang.” “Kenapa? Kamu ingin pergi ke mana? Bukannya Bapak sudah nggak ada?” “Aku gak mau merepotkan Abang.” “Kenapa kamu berbicara seperti itu Nandya?” pria itu tampak kesal. “Maaf, Bang.” “Lupakan. Setelah makan, kamu bisa beristirahat. Saya akan pergi.” “Pergi? Pergi ke mana?” “Bekerja. Saya harus mencari uang, Nandya.” Nandya mengernyit. “Di jam segini?” Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. “Sebenarnya bukan bekerja, mana mungkin saya bekerja jam segini,” pria itu terkekeh pelan. Namun, Nandya sama sekali tak merasa lucu akan ucapan pria itu. “Ehm, saya mau menghadiri acara kantor.” “Oh …” Nandya mengangguk paham. “Mungkin, saya akan pulang larut malam, kamu bisa tidur duluan di kamar, jangan menunggu Abang.” “Kunci pintu?” tanya Nandya dengan polosnya. Pria itu tertawa kecil. “Iya, Ajeng Nandya, tapi kuncinya harus kamu copot, nanti Abang gak bisa masuk kalau kuncinya masih nempel di pintu.” Nandya tersenyum kecil. “Iya, Bang.” “Abang tau tujuan kamu ke sini,” ucap pria itu seraya mengelus rambut Nandya dengan lembut. “Memang sudah seharusnya kan seorang istri ikut bersama suaminya, kemana pun suaminya pergi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN