4 : Artarian Atmaja

1109 Kata
Sepanjang perjalanan, Bagas melihat Nandya yang duduk di sampingnya sambil menatap ke arah jalan raya. Ada sedikit penyesalan di dalam hati pria itu. Seharusnya, ia tak perlu mengungkapkan perasaannya kepada Nandya. Wanita itu tak perlu mengetahui hal itu. Mungkin, saat ini Nandya masih bersikap hangat kepadanya. Menyimpan perasaan selama bertahun-tahun membuat Bagas frustrasi. Ia belum bisa melupakan Nandya. Walaupun ia berusaha untuk pergi jauh dari kehidupan wanita itu, nyatanya ia masih tetap memikirkannya. Hatinya masih menyimpan nama Nandya. Ia pernah berusaha untuk mendekati wanita lain. Wanita itu adalah temannya di kantor. Tetapi, rasanya begitu kaku dan hambar. Ia seperti memaksakan diri agar bisa melupakan Nandya. Bagas tak tau mengapa dirinya bisa seperti itu? Tak mungkin juga ia bisa mendapatkan Nandya. Wanita itu telah menikah dengan pria lain. Bagas merutuki kebodohannya. Berani-beraninya ia mengungkapkan perasaannya kepada seorang wanita yang merupakan istri orang. Tetapi, Bagas juga tak bisa menampik ada sedikit kelegaan dalam hatinya ketika ia mengungkapkan semua itu. Rasanya seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya. "Bang Aga!" Lamunan Bagas buyar saat mendengar suara lantang Nandya. Secara refleks, Bagas pun menginjak rem mobil hingga tubuh mereka berdua sedikit terhempas dari jok mobil. "Ya ampun, untung enggak kena." "Kebiasaan. Mau nyalip kok sebelah kiri, nggak kelihatan di spion," ucap Bagas seraya menatap motor yang melaju kencang di depan mereka. Jantung pria itu berdetak kencang, kaget dan kesal bercampur menjadi satu. Untungnya, mereka baik-baik saja. Ia juga bersyukur mobil kebanggaannya tak apa-apa. Mobil BMW 318i keluaran tahun 1999 berwarna biru tua adalah hasil tabungannya selama 3 tahun. Ia membeli mobil itu pada temannya yang kebetulan sangat membutuhkan uang. Hitung-hitung juga membantu temannya saat itu. Ia pun kembali mengendarai mobilnya. "Kita masih lama, Bang?" "Ah, sebentar lagi sampai." Rupanya, Nandya tak sabar untuk bertemu dengan suaminya. Bagas mengerjap pelan sambil berusaha tersenyum. "Maaf ya, Bang, karena sudah merepotkan." Bagas menghela napas. "Jangan bilang begitu terus, Nan. Abang ngerasa semua yang sudah Abang lakukan sama kamu itu harus mendapatkan imbalan. Anggap Abang seperti kakakmu sendiri, seorang kakak memang harus menolong adiknya, 'kan?" Nandya membalas ucapan pria itu hanya dengan anggukan pelan. Setelah itu, tak ada lagi percakapan di antara mereka berdua. Hingga akhirnya Bagas menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah tingkat dua yang cukup besar. "Itu rumahnya." Nandya mengernyitkan dahi. Ia menatap bangunan berlantai dua dengan d******i cat berwarna putih di sebelahnya. "Ini enggak salah rumah kan, Bang?" Bagas terkekeh. "Maaf, Nan, Abang mengikutinya kemarin malam saat pulang dari acara kantor. Dan di rumah ini dia berhenti, lalu masuk ke dalam ..." bersama seorang wanita. Bagas tak bisa memberitahu Nandya tentang hal itu. Nandya pasti kembali marah kepadanya. "Bagus, ya." "Hm, hebat ya suami kamu. Lihat itu mobilnya, persis seperti yang Abang lihat kemarin malam. Pas banget, dia sepertinya ada di rumah," jawabnya. Bagas menoleh, melihat ke arah Nandya yang terlihat antusias. "Bertahun-tahun dia merantau dan jarang sekali pulang, aku nggak nyangka Bang Rian bisa punya rumah sebagus ini," ujar Nandya. "Itu artinya, suami kamu bekerja sangat keras untuk mendapatkan semuanya. Dia berhasil, 'kan? Kamu pastinya sangat bangga." Nandya mengangguk. "Iya, aku sangat bangga kepadanya." Senyuman manis terbit di wajahnya. "Ya udah, yuk turun. Abang antar kamu ke dalam atau Abang langsung pulang saja?" "Jangan! Abang harus ikut sama aku." Bagas pun tersenyum. Ia membantu Nandya mengeluarkan tas besarnya yang berisikan pakaian. Lalu, mereka pun berjalan beriringan. Bagas bisa melihat bahwa saat ini Nandya sangat gugup. Wanita itu selalu menghentakkan kakinya ketika ia memencet bel rumah. Hingga akhirnya, pintu pun terbuka menampakkan seorang pria yang memakai baju piyama berwarna hitam. "Nandya!" Pria itu terlihat begitu terkejut saat melihat kehadiran Nandya dan Bagas. "Bang Rian!" Bagas mengalihkan pandangannya ke arah lain saat kedua sejoli itu saling berpelukan dengan mesra. Ia menghela napasnya dengan berat. Lalu, memejamkan matanya sejenak. "Bagas." Bagas pun menoleh saat pria yang merupakan suami Nandya itu memanggil dirinya. "Ah, Rian. Apa kabar? Lama banget ya gak ketemu." Bohong, nyatanya Bagas bertemu dengan Rian malam itu, namun pria itu yang tidak melihat kehadirannya. "Baik, sangat baik," jawab pria itu. "Kau apa kabar? Semuanya lancar di Jakarta?" Artarian Atmaja, pria tampan berusia 30 tahun. Memiliki wajah dengan rahang yang tegas. Tubuhnya yang proporsional. Tatapan matanya yang tajam. Dan kulitnya yang berwarna sawo matang, seakan tak ada celah dalam diri pria itu. Bagas pun tak heran jika Nandya jatuh cinta kepada lelaki itu. "Baik. Ya, semuanya baik-baik saja. Walaupun sedikit sulit saat awal-awal merantau, tetapi kamu bisa melihat keadaan saya sekarang. Hidup saya tercukupi di sini. Tidak sia-sia kedua orang tua saya menyekolahkan saya hingga sarjana." Rian tertawa mendengar jawaban Bagas. "Mari masuk, saya akan menjamu tamu spesial malam ini. Saya sangat berterima kasih karena kamu sudah mengantarkan Nandya ke sini." Bagas menatap tangan Rian yang merangkul pinggang Nandya. Ah, begitu miris nasibnya saat ini. Melihat sepasang suami istri yang terlihat begitu mesra di hadapannya. Ia berharap, perasaannya kepada Nandya segera menghilang. Ia juga ingin memiliki keluarga kecil seperti orang lain. "Ah, nggak perlu. Saya langsung pulang saja. Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan." "Bang Aga, sebentar aja." Nandya berucap dengan lembut. "Seenggaknya, Bang Aga minum dulu. Aku yang akan buatkan, bolehkan Bang Rian?" "Loh, ngapain harus izin? Inikan rumah kamu juga. Ya, terserah kamu mau melakukan apapun, sayang." Bagas tersenyum ramah. "Mungkin, lain kali saja, Nan." "Bang Aga ..." "Nandya jangan dipaksa. Rian sepertinya sedang banyak pekerjaan. Kamu gak boleh seperti itu. Biarkan Bagas pulang, dia bilang juga akan berkunjung lain waktu." "Bang Aga serius, 'kan?" tanya Nandya. Bagas mengangguk seraya tersenyum kecil. Ah, benar tebakannya tadi. Sepertinya, Nandya memang merasa berhutang budi kepadanya. "Iya, Nandya. Saya akan berkunjung nanti, kalau berkenan kalian juga boleh main ke rumah." Bagas merasa canggung. Ia ingin segera pergi dari tempat itu secepatnya. Ia berusaha seramah mungkin kepada mereka. "Makasih ya, Bang Aga. Sekali lagi, makasih banyak karena Bang Aga sudah mengantarkan Nandya ke rumah Bang Rian." "Omong-omong, bagaimana kamu bisa tau saya tinggal di sini?" tanya Rian kepada Bagas. Bagas pun terdiam. Menatap dengan lekat pria di hadapannya. "Katanya Bang Aga melihat kamu di acara kantornya, jadi dia mengikuti kamu sampai ke sini. Karena saat itu aku sudah sampai di Jakarta dan memang aku ingin sekali bertemu sama kamu. Banyak yang ingin aku ceritakan sama kamu, Bang. Kebetulan sekali, Bang Aga melihat kamu malam itu. Jadi, dia bisa tau rumahmu di sini. Maaf ya, Bang, karena Bang Aga sampai mengikuti kamu seperti itu. Habisnya, nomor kamu gak bisa dihubungi, aku gak tau alamat rumah kamu," Nandya menjelaskan semua perkataan Bagas di mobil tadi. Bagas bisa melihat tubuh Rian yang menegang. Tatapan matanya tak bisa berbohong bahwa saat ini Rian terlihat sangat syok. Bagas tau, Rian pasti sangat menyadari bahwa dirinya sudah melihat pria itu bersama wanita lain.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN