Seperti pagi kemarin, pagi inipun Lilian diminta menghadap ke ruang CEO, sampai-sampai Rosa, sekertaris Axel di kantor menaruh curiga pada cleaning service pucat itu.
“Sebenarnya ada apa kamu sering sekali ke ruangan Pak Axel? Aku lihat-lihat, kamu nggak bawa minuman ataupun alat kebersihan. Dan tiap kali datang ke ruangan Pak Axel, selalu lama di dalam. Ada apa?” Rosa menatap penuh selidik pada Lilian.
Lilian tersenyum tipis. “Nggak ada apa-apa, Bu Rosa. Saya hanya disuruh untuk menyusun ulang buku-buku di rak yang besar itu, di dalam,” jawab Lilian dengan cepat. Untung saja dia sempat mengamati seluruh isi ruangan Axel meskipun bukan dia yang bertugas membersihkan setiap pagi.
“Ohh, begitu.” Dengan raut wajah masih ragu, akhirnya Rosa membukakan pintu untuk Lilian.
Lilian menghela napas lega lalu langsung melangkahkan kaki masuk ke ruangan Axel. “Selamat pagi, Pak.”
Axel mendongak. “Hmm, kamu sudah datang. Duduk dulu di sana.” Axel menunjuk pada sofa besar di tengah ruangan. Lalu dia kembali fokus pada layar laptop.
Kening Lilian mengernyit. Menatap ke arah sofa yang tampak mewah di matanya. Pikirnya, tidak mungkin dia akan duduk di sana. Itu adalah sofa yang biasa ditempati para bos atau tamu CEO. Sedangkan dirinya siapa? Hanya seorang cleaning service di sini.
Axel berdeham pelan. Dia menutup layar laptop lalu berdiri. “Kenapa masih diam di sana? Duduk si sofa, saya mau bicara penting.”
Lilian pun mengikuti langkah Axel menuju sofa. Mereka duduk saling berhadapan. Lilian duduk dengan posisi sangat tidak nyaman. Dia merasa sungkan dan canggung.
“Langsung saja, Lilian. Saya butuh kepastiannya sekarang juga. Saya tidak tahan Naomi terus-terusan menangis. Sampai saya belikan s**u seharga puluhan juta pun dia masih menangis. Yaa memang akhirnya dia minum juga s**u itu, mungkin karena sudah lapar. Tapi lama sekali, pengasuhnya harus menggendong berjam-jam hanya untuk menyuapi segelas susu.”
Lilian menatap lurus pada Axel. Yang tadinya menunduk saja dan hanya berani menatap sesekali. Lilian mulai tertarik pada ucapan Axel. Sedangkan Axel kini tertarik pada wajah Lilian yang samar telihat sembab.
“Kamu habis menangis?” Tiba-tiba Axel keluar dari topik pembahasan mereka. Sontak Lilian berusaha menutupi wajahnya dengan sebelah tangan.
“Ohh nggak kok, Pak. I—ini hanya alergi makanan saja.”
“Ohh … lalu itu bibirmu juga agak bengkak, itu juga alergi?”
Lilian segera mengangguk. “Iya, Pak. Umm Pak, saya mau menerima tawaran Bapak,” ucapnya tiba-tiba. Pertama, dia memang sudah berniat akan menerima penawaran dari Axel, hanya karena satu alasan yaitu butuh uang. Kedua, sekalian saja untuk mengalihkan pembicaraan, sebab rahasia rumah tangganya cukup Hanna dan Wina yang tahu.
Kedua bola mata Axel langsung membulat. “Kamu serius?”
Lilian mengangguk dengan mantap. “Iya, Pak. Saya butuh uang itu dengan cepat,” jawab Lilian tanpa basa-basi.
Axel langsung tersenyum lebar. “Ohh tentu saja itu tidak masalah bagi saya. Sekarang juga kita berangkat ke rumah saya. selanjutnya kamu akan diantar jemput oleh salah satu bodyguard saya.”
“Se—sekarang juga, Pak?”
“Ya! Tunggu apalagi? Saya perlu segera tahu apakah Naomi cocok dengan ASI mu. Kalau dia menjadi tenang dan lahap, maka kamu akan menjadi ibu susunya setiap hari. Tapi kalau ternyata dia menolak, maka kamu akan kembali menjadi cleaning service di kantor.”
“Ohh.” Tiba-tiba Lilian merasa khawatir. Jika nanti putri dari Axel akan menolak ASI nya, itu berarti dia tidak jadi mendapatkan uang untuk biaya operasi ibu panti.
“Ayo! Kamu mau ikut saya atau mau duduk di sofa itu saja sendirian?”
Lilian baru sadar kalau ternyata Axel sudah berdiri di dekat meja kerjanya, mengambil handphone dan lalu berjalan menuju pintu. Segera Lilian berjalan cepat untuk mengejar sang bos.
“Rosa, semua meeting hari ini kamu alihkan ke besok,” tegas Axel begitu keluar dari ruangan. Di belakangnya mengikuti Lilian.
“Loh! Tapi Pak—”
“Tidak ada tapi! Kamu atur saja!” Axel berjalan begitu saja meninggalkan Rosa yang kaget dan sedikit menganga. Pasalnya memang ada beberapa meeting penting hari ini, dengan kolega bisnis kelas atas.
Lilian mengangguk sedikit ketika melewati Rosa. Yang langsung dibalas dengan cibiran oleh Rosa. “Mau kemana sih Pak Axel sampai ngajak si Lilian?! Kalau mau pacaran ya jauh lebih baik sama aku dong! Lilian sudahlah kurus, pucat lagi! Kayak mayat hidup! Cih!” desisnya pelan lalu menghempaskan b****g di atas kursi kerja.
Axel memilih tidak memakai sopir, dia duduk di kursi pengemudi dan langsung menutup pintunya kembali. Beberapa detik menunggu, keningnya mengernyit. Sebab Lilian belum masuk juga. Dia menoleh ke samping, sudah akan membuka kaca jendela bagian penumpang depan. Ketika tiba-tiba pintu belakang terbuka, lalu Lilian masuk dan duduk di belakang. Wajahnya tertunduk malu-malu.
“Lilian?!”
“I—iya, Pak?”
“Ngapain kamu duduk di sana?!” ketus Axel dengan nada tinggi.
“Umm … ini, Pak. Sa—saya … merasa nggak pantas duduk di samping Pak Axel. Apalagi mobil ini mewah begini. Apa kata orang nanti kalau saya ketahuan duduk di depan dengan Pak Axel.”
Axel sontak memutar kedua bola matanya. Dia geleng-geleng kepala. “Lalu apa kata orang nanti kalau saya ketahuan lagi nyupirin kamu? Pindah ke depan cepat!” teriak Axel nyaris hilang kesabaran.
“I—iya baik, Pak.” Dengan cepat Lilian membuka kembali pintu mobil lalu masuk lewat pintu depan. Dia tidak tahu jika dia duduk di belakang, itu sama saja menganggap Axel sebagai sopir. “Maaf, Pak.”
Axel menghela napas dalam. Dia malas menjawab. Axel segera melajukan mobil menembus jalan raya. Menuju ke sebuah perkomplekan mansion. Yang di dalam kawasannya hanya terdapat sepuluh unit mansion super mewah.
Begitu masuk ke kawasan perkomplekan mansion tersebut, Lilian tanpa sadar memajukan duduknya. Dia melihat bolak-balik lewat kaca depan dan kaca samping, dengan tatapan penuh takjub. Tak jarang dia berseru ‘woahhh!’ lalu mulutnya menganga dengan kedua bola mata membulat sempurna.
Axel yang melihat tingkah polos Lilian jadi senyum-senyum sendiri. Lalu sedan Ferrari merah menyala milik Axel memasuki gerbang pagar putih tinggi yang dibukakan oleh dua orang petuga keamanan di pos depan. Lagi-lagi Lilian terpukau melihat itu. Selama ini dikiranya hanya ada di sinetron gerbang pagar rumah bisa sebesar ini.
Mobil terus melaju hingga berhenti di depan sebuah teras depan yang sangat luas, sudah persis seperti lobi hotel.
“Ayo turun!” Axel membuka pintu mobil. Diikuti oleh Lilian. Kemudian Axel memasuki mansion mewahnya dengan disambut seorang pelayan. Dia terus melenggang bak pangeran di dalam istana, sedangkan di belakangnya berjalan Lilian yang beberapa kali nyaris tersandung karena tidak fokus dengan langkahnya.