“Mama?”
“Heh! Mau kemana itu suamimu malam-malam begini? Bukannya Edwyn belum lama pulang, ya? Kok mukanya cemberut begitu?” cecar Citra dengan nada ketus.
Lilian tidak mungkin menjawab yang sebenarnya. Dia malu bercampur merasa bersalah. Dia hanya menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Ma,” jawabnya pelan.
“Halah! Masa’ sih kamu nggak tahu?! Suami pulang kok bukannya merasa nyaman malah kelihatan emosi banget! Bagaimana sih cara kamu sambut suami yang capek baru pulang kerja? Hah?!” Citra mendelik tajam.
Lilian menghela napas. Dia bingung disudutkan seperti itu. “Umm itu Ma, Mas Edwyn tadi minta jatah, tapi aku belum bisa terlalu … umm maksudku, payudaraku kan masih sakit banget, Ma. Karena masih ada ASInya, jadi nggak bisa dipegang kencang-kencang.” Terpaksa Lilian mengakuinya. Meskipun dia tahu tidak akan mendapat pembelaan dari sang mertua.
“Cih! Pantas saja Edwyn pergi dengan cemberut begitu! Kamu nggak bisa memuaskan dia sih. Hmm Mama juga mau tuh kalau Edwyn punya istri lagi, supaya bisa punya keturunan cucu laki-laki. Lagipula Mama kepengen punya menantu cantik dan berkelas, supaya bisa dipamerin ke teman-teman arisan Mama. Nggak kayak kamu, kampungan! Dipungut dari panti!”
“Mama … kok ngomongnya begitu, sih.”
“Ya memang kamu—” Citra tidak jadi melanjutkan ucapannya. Dia berusaha menahan diri. Sebab pikirnya dia masih membutuhkan Lilian di sini. Sebagai alat untuk mencari uang sekaligus untuk disuruh bersih-bersih di rumah, daripada harus bayar asistent rumah tangga.
Lilian masih menatap sendu pada sang mertua. Dia tidak berharap apa-apa kecuali jangan disudutkan lagi. Hatinya masih hancur-lebur karena kehilangan Yara. Masih juga disalahkan ini dan itu. Hanya Hanna saja yang setia menjadi penghiburnya saat ini.
“Heh! Malah bengong lagi! Oh iya, Mama minta uang dong! Besok mau pergi arisan, buat pegangan saja karena pasti pulang pergi kan naik taksi online. Tadinya Mama kesini mau minta uang pada Edwyn, karena Mama tahu dia baru gajian. Ehh gara-gara kamu sih, Edwynnya jadi pergi begitu! Jadi sekarang kamu harus tanggung jawab. Mana uangnya?” Citra menengadahkan tangan kanan di depan Lilian.
“Ya ampun, Ma. Mana aku punya, tanggal gajianku sendiri masih lama. Dan uang dari Mas Edwyn tadi masih kurang, Ma. Untuk bayar listrik, air PAM, wifi, dan lain-lain.”
“Heh! Pelit banget sih kamu! Kan kamu tinggal pinjam saja ke bos atau teman kerjamu kalau nanti kurang uang. Tinggal kamu bayar deh pas gajian. Sudah sini cepat! Mama mau tidur nih sudah malam!” Citra melotot dengan tampang galak.
Lilian menghela napas dalam, terpaksa dia berjalan gontai menuju kamar. Dari uang delapan ratus ribu yang tadi dikasih oleh Edwyn, Lilian masih harus mengambilnya lagi sebanyak dua ratus ribu.
Dengan berat diberikannya uang itu pada sang mertus. Citra tersenyum tipis.
“Yaa sebenarnya ini masih kurang sih. Tapi ya sudahlah, nanti kurangnya biar Mama minta pada Elsa saja.” Citra melambaikan uang yang di tangannya lalu beranjak pergi meninggalkan rumah Lilian.
Segera Lilian mengunci pintu depan, dia tidak mau lagi diganggu oleh siapapun. Perasaannya sudah sangat kacau hari ini.
Di dalam kamar, setelah mengenakan kembali pakaiannya, Lilian duduk di tepian tempat tidur sambil menunduk lesu. Dia sibuk berpikir, bagaimana cara mengatur uang bulan ini. Jatah bulanannya dari Edwyn hanya bersisa enam ratus ribu, tanggal gajiannya sendiri masih sepuluh hari lagi. Sedangkan tagihan listrik, air, uang keamanan dan kebersihan komplek paling lambat akhir bulan ini. Waktunya hanya tinggal lima hari lagi!
Lamunannya terpecah ketika tiba-tiba terdengar suara dering handphone dari atas meja nakas. Segera diambilnya handphone yang masih menggunakan ringtone bersuara jadul itu. Tertera nama Wina pada layar. Lilian langsung membulatkan kedua bola matanya. Seketika jantungnya berdegup lebih kencang. Lilian berdoa dalam hati semoga ketakutannya tidak terjadi.
“Hallo?”
“Hallo, Li!”
“Iya Kak Win? Ada apa?”
Dari nada suara Wina, terdengar sekali kalau dia sedang panik. Wina belum menjelaskan apapun, Lilian sontak ikut panik. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanyalah Bu Atika. Pemilik berikut pengurus utama Panti Asuhan Buah Hati.
“Bu Atika, Li! Sakit perutnya kambuh lagi, malahan lebih parah, tadi sampai meringkuk terus di kasur, nggak bisa berdiri atau berjalan tegak. Tadi malah sempat muntah dan demam, Li!”
“Ohh, ya ampun! Kak Wina, tolong jaga ibu dulu, ya. Aku akan coba cari pinjaman uang besok. Supaya Bu Tika bica cepat-cepat operasi usus buntu.”
“Apa suami kamu belum pulang, Li? Nggak jadi mau coba minta tambahan uang pada suamimu?”
“Huffttt nggak jadi, Kak. Jangankan minta tambahan uang, yang ada uang bulanan malah dikurangi dua ratus ribu, habis itu diminta lagi sama mama mertuaku dua ratuh ribu. Sedangkan tanggal gajianku masih lama, dan nggak akan cukup juga untuk biaya ibu operasi.”
“Ya sudah, Li. Besok tolong kabari Kakak, ya. Maaf Kakak nggak bisa bantu cari uang, sebab harus menjaga adik-adik di sini.”
Lilian sungguh mengerti itu. Bahkan Lilian sangat bangga pada Wina yang berusia tiga tahun di atasnya. Mereka berdua tumbuh besar bersama di panti asuhan. Saat Lilian dilamar oleh Edwyn, dia langsung menerimanya. Berharap kehidupan yang lebih baik. Sedangkan Wina, sampai sekarang tidak pernah menyesal dengan keputusannya, untuk mengabdikan diri mengurus adik-adik di panti asuhan, membantu Bu Atika beserta pengurus lain yang jumlahnya begitu sedikit dibandingkan dengan jumlah anak-anak panti.
“Kak Wina nggak perlu minta maaf. Justru aku merasa bersalah karena masih belum juga dapatkan uang itu Kak Wina bantu doa, ya. Semoga besok ada jalan keluar.”
“Amin.”
Sambungan telepon ditutup. Lilian kembali termenung seorang diri di dalam kamar. Isi kepalanya dipenuhi dengan bayang seorang ibu yang telah begitu ikhlas mengasuhnya selama tinggal di panti asuhan.
Dirinya dan Wina termasuk yang tertua di panti asuhan, maka dia merasa bertanggung jawab atas kesehatan Atika yang belakangan ini semakin memburuk.
Atika begitu menyayangi seluruh anak asuhnya. Sampai-sampai setiap kali menerima uang donasi, pasti akan selalu dihabiskan untuk kebutuhan anak-anak panti. Sedangkan untuk kesehatan diri sendiri diabaikan. Atika tidak memiliki asuransi pribadi maupun asuransi pemerintah. Sekarang ketika Atika terbaring lemah, mendapat diagnosa usus buntu akut dan harus segera dioperasi, sebab bisa berakibat fatal jika sampai pecah lalu menyebabkan infeksi serius. Ternyata biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, setidaknya harus siap sekitar 15 – 20 juta, itupun belum termasuk biaya kontrol setelahnya.
Lilian membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur. Memeluk guling dan meringkuk dalam selimut. Tiba-tiba terlintas penawaran pak bos di kepalanya.
Penawaran menjadi ibu s**u putri Pak CEO. Tiga puluh juta perbulan!
“Jika aku menerima penawaran Pak Axel, mungkin beliau mau berbaik hati memberikan gaji pertamaku di awal. Dengan begitu aku bisa membayar biaya operasi Bu Atika. Hmm asalkan Mas Edwyn nggak tahu tentang penawaran ini.” Lilian membatin seraya menatap langit-langit kamar.