Lilian terus mengikuti Axel hingga menaiki anak tangga menuju lantai dua. Beberapa pelayan yang kebetulan berpapasan dengan mereka berdua hanya berani curi-curi pandang pada Lilian. Mereka bertanya dalam hati, siapakah wanita yang dibawa oleh sang tuan rumah?
Baru saja kakinya menginjakkan lantai dua, terdengar suara tangisan bayi yang sontak membuat langkah Lilian terhenti. Dia jadi teringat pada suara tangisan Yara yang mewarnai hari-harinya hanya selama dua bulan saja. Seketika hatinya menjadi sesak.
Axel tersadar Lilian sudah tidak lagi berjalan di belakangnya. Dia menghentikkan langkah lalu menoleh ke belakang. “Lilian! Cepat sini!”
Lilian tersadar, segera dia berjalan cepat menghampiri Axel. Tidak ada waktu untuk bersedih dan mengingat masa lalu. Yang harus dilakukannya sekarang hanya satu, yaitu bekerja keras untuk mengumpulkan uang.
Di dalam sebuah kamar yang sangat indah. Dengan pernak-pernik bernuansa anak perempuan, aroma minyak telon dan parfum khas bayi juga langsung menguar begitu Lilian memasuki kamar.
Lilian tertegun di ambang pintu melihat seorang bayi mungil nan cantik jelita sedang berpindah gendongan dari pengasuh kepada Axel. Kemudian Axel membawanya ke hadapan Lilian.
“Lihatlah! Kamu seorang ibu, pasti mengerti alasan Naomi selalu menangis seperti ini. Apa dia bosan? Atau masih lapar karena tidak puas minum s**u formula? Atau dia rindu pelukan mamanya?”
Baru kali ini Lilian melihat raut yang sendu pada wajah Axel. Begitu kentara jika pria tampan bertubuh tinggi atletis di hadapannya ini sedang merasakan kesedihan mendalam.
Lilian mengulurkan kedua tangannya. Dengan lembut Axel meletakkan tubuh mungil Naomi pada tangan Lilian.
Lilian tersenyum penuh haru merasakan kembali hangatnya tubuh seorang bayi dalam pelukannya. Dia seperti melihat Yara, bukan Naomi. Dengan penuh kasih sayang Lilian menimang Naomi. Mendendangkan sebuah lagu anak-anak dengan suara pelan, tapi terdengar merdu.
“Hai Naomi.” Suara Lilian yang lembut membuat bayi mungil itu seperti sedang mencari-cari. Kemudian kepalanya mendesak ke arah d**a Lilian. Persis seperti Yara jika sedang kehausan.
“Naomi haus?”
Di sela tangisnya yang mulai mereda, sesekali terdengar suara seperti gumaman. Seakan Naomi sedang berusaha menjawab pertanyaan Lilian.
Axel dibuat takjub melihat interaksi putrinya dengan Lilian. Dia begitu terharu sebab Naomi terlihat begitu membutuhkan kehadiran Lilian.
“Pak, bolehkah kuberi ASI sekarang? Naomi kelihatan haus sekali.”
“Tentu!” Axel mengangguk beberapa kali.
Pengasuh Naomi bergegas menyiapkan tempat yang nyaman untuk Lilian duduk. Yaitu di sebuah sofa yang diberi sandaran bantal busa tipis berbentuk kotak.
“Terima kasih,” ucap Lilian pada si pengasuh.
“Tuan, saya keluar sebentar menyiapkan minuman untuk Nona ini,” pamit si pengasuh. Yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Axel.
Lilian sudah akan membuka kancing kemejanya ketika teringat sesuatu. Dia mendongak, menatap pada Axel yang berdiri menjulang di hadapannya. Masih menatap Naomi dengan raut wajah ke-bapak-an.
Lilian berdeham pelan. “Ehm! Maaf, Pak Axel. Bisakah Bapak membalik badan sebentar? Saya akan mulai menyusui Naomi.” Sesungguhnya Lilian inginnya Axel keluar saja dari kamar, supaya dia lebih leluasa. Namun sungguh tidak mungkin mengusir CEO perusahaan tempatnya bekerja. Lagipula mungkin Axel masih khawatir jika Naomi ditinggalkan berdua saja dengannya.
Axel langsung mengangkat kedua alisnya. “Ohh, iya.” Segera Axel membalik badan. Namun sontak kedua bola mata Axel membelalak ketika melihat dengan jelas bayangan Lilian yang sedang bersiap menyusui Naomi, pada cermin besar yang menempel di lemari pakaian Naomi, yang letaknya berhadapan dengan tempat tidur.
Axel menelan saliva dengan susah payah ketika dilihatnya Lilian membuka kancing kemeja satu persatu. Kemudian mengeluarkan p******a sebelah kiri dari balik bra yang kelihatan kesempitan. Begitu bulat menantang.
Axel menghela napas dalam. Dia tahu seharusnya saat ini segera membuang muka, atau jika perlu langsung keluar saja dari kamar. Namun sisi lelakinya justru menahan kedua kakinya di sana. Axel tetap menatap ke arah p******a montok milik Lilian yang sedang dihisap dengan rakus oleh Naomi. Sekali lagi Axel menelan salivanya dengan berat.
Apalagi saat terdengar suara-suara kecil dari bibir Naomi. Begitu sibuk dan lahap. Dalam hati Axel sangat bahagia sebab Naomi akhirnya bisa merasakan ASI dan terdengar sangat menikmati. Namun kenapa dia juga merasa sangat penasaran sekarang?
Suara handle pintu terdengar dibuka oleh seseorang. Membuyarkan lamunan Axel, segera dia berlalu dari sana bersamaan dengan pengasuh tadi masuk.
“Kamu tolong bantu Lilian, ya. Siapa tahu dia butuh sesuatu.” Axel mengucapkan itu lalu keluar dari kamar.
“Baik, Tuan.” Pengasuh itu menutup pintu kembali. Kemudian berjalan mendekati tempat tidur dengan membawakan segelas tinggi air mineral hangat. Diletakannya gelas itu pada meja nakas di samping tempat tidur. Kemudian dia duduk di tepian tempat tidur. Tersenyum pada Lilian yang masih menyusui sambil mengajak ngobrol Naomi. Sehingga bayi mungil itu juga seperti sedang memandangi Lilian, padahal usianya saja baru mau satu bulan.
“Perkenalkan Nona, saya Rani, saya pengasuh Naomi. Kalau Nona membutuhkan apapun bisa katakan pada saya.”
Lilian memalingkan wajah dari Naomi, dia tersenyum pada Rani. “Nggak usah panggil saya dengan sebutan nona. Panggil nama saja boleh kok. Saya baru 19 tahun.” Lilian merasa tak enak hati.
Rani tersenyum seraya mengangkat kedua alisnya. “Nah! Saya pikir juga tadi nona ini pastilah masih sangat muda. Terlihat dari wajahnya, tapi … ternyata menjadi ibu s**u dari Naomi. Apa Nona … eh umm apa Mbak Lilian sedang punya bayi juga? Maaf meskipun saya lebih tua tapi tetap akan panggil mbak, nggak sopan rasanya kalau langsung nama.”
Lilian hanya membalas dengan anggukan pelan tapi senyuman di bibirnya mulai memudar. Kemudian Lilian kembali beralih pada Naomi. “Minum sampai kenyang ya, Sayang. Setelah itu bobo yang nyenyak.”
Naomi tampak tenang dan menikmati ASI dengan begitu lahap. Kontak mata juga kerap terjadi antara Naomi dengan Lilian.
“Mbak Lilian nanti setelah menyusui pasti akan merasa lapar. Sebentar saya ambilkan camilan dulu, ya.”
Lilian hanya mengangguk. Rani berjalan keluar kamar. Ternyata ada Axel yang sedang berdiri tidak jauh dari pintu kamar putrinya. Begitu pintu terbuka segera dia membalik badan, dikiranya Lilian yang keluar.
“Ohh … kamu. Bagaimana, apa Naomi masih menyusu? Dia benar-benar lahap, ya? Saya tidak dengar suaranya menangis.” Penuh rasa ingin tahu Axel mencecari Lilian dengan pertanyaan.
“Betul, Tuan Axel. Naomi benar-benar lahap menyusu. Sepertinya memang cocok. Dan … Mbak Lilian juga terlihat begitu tulus, menyusui sambil terus mengajak ngobrol Naomi.”
Axel mengangguk seraya menghela napas lega. “Oh ya, sekarang kamu mau kemana?”
“Saya mau ke dapur menyiapkan camilan untuk Mbak Lilian. Sebab wanita yang menyusui itu biasanya mudah lapar.”
“Ohh begitu. Ya sudah sana, siapkan saja camilan yang banyak, ya! Dan nanti tanyakan juga padanya, mau makan apa? Apapun yang diminta akan saya belikan.”
“Baik, Tuan. Nanti saya sampaikan. Sekarang saya pamit dulu ke dapur.”
Axel mengangguk. Rani kembali berjalan menuju dapur. Axel masih berdiri di sana sambil memandangi ke arah pintu kamar Naomi. Biasanya dia akan leluasa keluar masuk ke kamar itu. Namun sekarang, dia harus menghormati Lilian yang sedang menyusui Naomi. Harus bisa menjaga pandangan meskipun ada sesuatu yang mneggodanya hingga kembali membayangkan di saat tadi tidak sengaja melihat tubuh bagian atas milik Lilian, yang seharusnya tidak dia lihat.