Axel memarkir mobilnya di halaman depan rumah yang sangat luas, membiarkan satpam rumah yang akan memasukkan ke garasi. Dia berjalan memasuki rumah dengan lantai gontai. Tidak ada semangat setiap kali pulang. Sebab sudah pasti akan mendengar tangisan yang sama setiap malamnya.
Pria tinggi dengan rahang tegas itu menaiki tangga menuju lantai dua. Belu sampai di anak tangga terakhir sudah terdengar tangisan Naomi, putrinya yang malang yang baru berusia satu bulan.
Saat Naomi lahir, istri Axel mengalami pendarahan hebat hingga meninggal dunia. Sang istri yang hidupnya memang sebatang kara, tidak punya keluarga atau saudara, sehingga Naomi hanya dirawat di rumah bersama para pelayan. Sebab keluarga besar Axel juga tinggal di London.
Axel membuka pintu kamar sang putri, aroma khas bayi langsung menyerbu indera penciuman pria 31 tahun itu. Suara tangis Naomi begitu lemah dan menyayat hati Axel. Pasalnya Naomi sulit sekali diberi s**u. Padahal Axel sampai membelikan s**u termahal atas saran dokter.
Naomi tidak mau memakai botol dot s**u, maka pelayan harus dengan sabar memberinya melalui sendok khusus bayi. Itupun akan lama sekali. Axel mencuci tangan pada wastafel yang tersedia di kamar Naomi. Kemudian barulah dia menggendong bayinya itu. Tangis Naomi perlahan mereda, hingga akhirnya dia tertidur dengan wajahnya yang kemerahan dan sembab.
Perlahan Axel membaringkan tubuh mungil Naomi di kasurnya. “Mbak, tolong jaga Naomi, ya,” bisiknya pada seorang pelayan yang khusus merawat Naomi.
“Baik, Tuan Axel.” Pelayan itu sedikit menunduk. Kemudian dia mendekati tempat tidur Naomi. Dia sendiri akan tidur di sofa bed di samping tempat tidur Naomi setiap malamnya.
Sepanjang malam Axel tidak bisa terlelap sama sekali. Dia terbayang pada seseorang yang mengganggu pikirannya sejak di kantor tadi pagi, yaitu Lilian.
Pagi ini Axel menelepon ke pantry, padahal dia baru saja sampai di ruang kerjanya. Yang menjawab seorang cleaning service laki-laki. Axel meminta Lilian segera ke ruangannya, sekarang juga. Dia tidak bisa menunda lagi apa yang berputar-putar di dalam pikirannya semalaman hingga sekarang.
Lilian dipersilakan masuk oleh sekertaris CEO. Wajah wanita muda 19 tahun itu masih persis seperti kemarin, pucat dan kelihatan cemas. Begitu jelas tergambar kehidupannya yang penuh tekanan, wajah cantik jadi tersapu oleh pahitnya dunia.
“I—iya, Pak? Bapak mau saya buatkan minuman?” Ada raut ketakutan pada wajah Lilian. Dia baru masuk kerja lagi dua hari ini, tapi sudah dipanggil ke ruangan CEO. Ada apa? Kesalahan apa yang sudah diperbuatnya?
Kedua bola mata Axel memicing. “Kalau minta dibuatkan minuman, dari tadi saja saat saya telepon pantry. Bukan, saya ada keperluan dengan kamu.” Nada suara yang datar dan dingin semakin membuat tubuh kurus Lilian bergetar. Dia sangat takut dipecat. Sebab dia sungguh sangat butuh uang saat ini.
“Umm … Lilian, kemarin katamu baru selesai cuti melahirkan, kan? Berarti usia bayimu sekarang kira-kira sudah tiga bulan, betul?” Axel menatap lurus pada Lilian yang seketika berdiri sambil menunduk dalam-dalam. “Kenapa? Kok diam?”
“Be—begini, Pak, sebenarnya masa cuti saya baru dua bulan lebih beberapa hari saja. Sa—saya terpaksa masuk karena ….” Lilian tak mampu melanjutkan ucapannya. Seperti tersendat di tenggorokan.
“Karena apa? Bayimu tidak cengeng jadi cukup aman ditinggal kerja?” Seketika Axel teringat bayinya di rumah yang sangat cengeng.
Mendengar pertanyaan Axel, Lilian juga teringat pada bayinya yang sudah tiada. Air matanya turun tiba-tiba dan tidak bisa dibendung sama sekali.
Kedua bola mata Axel membelalak melihat itu. “Hei! Kamu menangis?!” Axel panik, dia tidak mau dituduh telah menyakiti seorang karyawan hingga menangis di ruangannya. “Oke, bukan karena bayimu kalau begitu. Ah, apa kamu sudah masuk kerja karena butuh uang? Gajimu tetap utuh meskipun sedang cuti melahirkan, hanya tidak dapat uang transport saja. Jadi sebetulnya kamu tidak perlu khawatir!”
Bukannya mereda, tangis Lilian justru semakin meledak. Membuat Axel kebingungan. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. “Ah, sebenarnya kamu kenapa, Lilian?!” Axel nyaris putus asa.
Lilian mengusap air mata dengan punggung tangan. Akhirnya dia bisa menghentikan tangisnya tapi masih terlihat sedikit sesenggukan. Ketika dia mendongak, wajah sendunya tampak sembab dengan kedua bola mata memerah. “Pak, bayi saya sudah meninggal dunia. Makanya saya memutuskan untuk masuk kerja saja meskipun masa cuti saya belum selesai.”
Mulut Axel sedikit menganga mendengar itu. Dia tampak begitu terkejut. Tidak disangkanya sama sekali Lilian mengucapkan itu.
“Aduh!” Tiba-tiba Lilian menyilangkan kedua tangannya di depan payudaranya yang membengkak. Pandangan mata Axel otomatis mengikuti gerakan Lilian. Dan sang CEO kembali melihat seragam Lilian menjadi basah pada dua titik di sana, semakin lama semakin melebar.
Lilian yang tampak sedang menahan nyeri, tidak sadar jika Axel terus memandangi payudaranya di balik seragam yang tampak kesempitan hanya di bagian itu saja.
Axel berdeham pelan. “Hmm Lilian, sebenarnya saya memanggil kamu ke ruangan saya karena ada sesuatu yang ingin saya tawarkan padamu.”
Kening Lilian mengernyit. “A—apa itu, Pak?” tanyanya dengan suara lemah.
“Maaf, kalau saya perhatikan kamu di bagian … itu.” Axel melirik sebentar ke arah d**a Lilian, kemudian langsung kembali menatap matanya. “Tapi kamu terlalu kelihatan sebagai seorang ibu yang sedang dalam masa menyusui. Tapi ternyata, bayimu sudah meninggal dunia. Maafkan saya jadi membuatmu sedih begini.”
Lilian segera menggelengkan kepala. “Ini bukan salah Bapak sama sekali. Salah saya yang sudah mau masuk kerja padahal kemarin itu bayi saya baru meninggal tiga hari lalu. Yara … nama putri saya, sejak lahir hanya minum ASI. Dan sampai sekarang ASI nya masih deras, padahal Yara sudah tiada.” Lilian mengusap kedua pipinya yang kembali dialiri air mata.
Spontan Axel tersenyum tipis. Bukannya dia berhati jahat, tapi tidak dapat dipungkiri perasaan Axel saat ini tiba-tiba menjadi senang sekali. Dia berpikir masalah yang selama ini memenuhi kepalanya akan segera teratasi.
“Hmm Lilian, perlu kamu tahu, saya juga punya bayi berusia hampir satu bulan. Namanya Naomi. Sayang sekali mamanya meninggal dunia dua hari setelah melahirkan Naomi. Komplikasi setelah operasi caesar. Naomi sempat merasakan ASI mamanya selama dua hari, setelah itu dia benar-benar kehilangan. Naomi menjadi anak yang sangat cengeng setiap harinya. Dia mau minum sushu tapi sulit sekali. Itu masalah saya, Lilian.”
Lilian menatap Axel lekat-lekat. Dia mulai mengerti kemana arah tujuan ucapan sang CEO. Namun dia masih diam, takut salah pengertian.
Axel memajukan badannya sedikit. “Begini, saya menawarkan pekerjaan untukmu. Maukah kamu menjadi ibu s**u untuk putri saya? Kamu akan saya bayar sepuluh kali lipat dari gajimu sebagai cleaning service. Yaitu tiga puluh juta perbulan. Bagaimana?”