“A—apa?! Menjadi ibu s**u?” Lilian tampak berpikir. Pertama, apakah bisa dirinya menyusui anak dari Pak Axel? Kedua, bayaran yang ditawarkan tentu sangat menggiurkan, tapi bagaimana jika Mas Edwyn beserta mama dan kakaknya sampai tahu? Lilian dilanda galau tingkau dewa.
Axel masih menunggu jawaban Lilian. Biasanya dia tidak pernah sabar menunggu. Tapi untuk kali ini, dia rela berkorban menjadi orang yang sedikit sabar.
Lilian menghela napas panjang. “Pak, apa boleh saya pikirkan dulu penawaran dari Bapak ini?”
“Huffttt! Oke, tapi hanya satu hari, besok pagi saya harus sudah dapat jawabannya. Hmm tapi, kalau boleh tahu, apa yang membuatmu ragu? Padahal gaji yang akan kamu terima jauh lebih tinggi, kan? Bohong kalau kamu tidak butuh uang, buktinya kamu masih harus padahal sudah punya suami. Benar, kan?” Seperti biasa, tampang Axel jika sedang berbicara pada seseorang selalu berusaha mendominasi. Nada bicaranya penuh keyakinan.
Lilian mengangguk pelan beberapa kali. “Betul, Pak. Saya memang butuh uang. Tapi suami saya ….”
“Ohh, ya kamu bilang saja terus terang padanya. Lagipula kan kamu sendiri kesakitan karena ASI mu masih terus keluar dengan deras. Tenang saja, katakan pada suamimu kalau jam kerjamu sebagai ibu s**u akan sama seperti saat menjadi cleaning service. Saya yakin, suamimu pasti akan senang kalau tahu berapa gajimu menjadi ibu susu.”
“Ya betul, suami ku tentu akan senang sekali kalau sampai tahu, Pak. Sebab setelah itu dia akan mengambil semua gaji ku, dan seperti biasa hanya menyisakan satu juta untuk sebulan. Suami ku beserta mama mertua dan kakak ipar akan senang, tapi aku tetap tersiksa.” Lilian membatin pilu, lalu lagi-lagi menghela napas dalam.
“Oke, Lilian. Saya tidak mau banyak drama, saya tunggu jawaban kamu besok pagi, ya. Kalau kamu menolak itu berarti tidak ada kesempatan kedua, sebab saya akan segera mencari orang lain!” ucap Axel dengan tegas. Dia sendiri menyesal kenapa tidak terpikir tentang ide ‘ibu s**u’ ini sejak awal. Baru melintas dalam kepalanya begitu melihat rembesan ASI di seragam Lilian kemarin.
“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.”
Axel hanya menjawab dengan gerakan tangan saja, itu berarti Lilian diminta keluar dari ruangan. Lilian pun mengerti dan langsung keluar dari ruang CEO untuk kembali mengerjakan pekerjaannya yang lain.
Seusai jam kerja, Hanna mengajak Lilian untuk pulang bersama. Dia kasihan pada Lilian jika pulang naik angkot seperti biasa, lalu akan berjalan cukup jauh dari gerbang perumahan ke dalam, ke rumahnya. Awalnya Lilian menolak karena arah rumah mereka berlawanan. Namun Hanna memaksa, jadi Lilian menurut.
Lilian membonceng di motor Hanna. Selama ini Hanna lah yang paling mengerti kondisi Lilian, dia tidak hanya rekan kerja, tapi juga sahabat yang selalu setia mendampingi Lilian di kala susah.
Hanna mengantar hingga ke depan pagar rumah Lilian. Dia mematikan mesin motor maticnya. “Li, aku kebelet nih, boleh numpang ke kamar mandi?”
Lilian mengangguk seraya melirik ke rumah sebelah. “Tentu, tapi nanti kamu jangan kaget ya kalau tiba-tiba dengar suara teriakan mama mertuaku.”
Hanna terkekeh. “Yaa kan aku sudah tahu dari cerita-ceritamu. Nggak akan kaget lah.”
Lilian menggandeng tangan Hanna, mengajaknya ke dalam rumah. Sementara Hanna masuk ke dalam rumah menuju kamar mandi yang sudah ditunjukkan Lilian.
Lilian sendiri langsung mengambil sapu, dia mulai menyapu ruangan rumah. Suaminya akan marah jika nanti malam pulang rumah dalam keadaan berantakan. Sedangkan tadi pagi dia hanya sempat memasak untuk sarapan saja dan mengurus baju kotor.
Citra, mertua Lilian datang dengan wajah cemberut, dia berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. “Ada motor siapa itu di depan?!” tanyanya ketus.
“Ohh itu teman kerjaku, Ma. Numpang ke kamar mandi sebentar.”
“Ohh. Habis bersihkan rumahmu jangan lupa ke sebelah, ya! Bersihkan juga rumah Mama! Sudah berdebu tuh lantainya, nggak betah nginjeknya!” Belum sempat Lilian menjawab, Citra telah pergi lagi.
Bersamaan dengan itu Hanna berjalan menghampiri Lilian, rupanya tadi dia sempat mendengar ucapan ketus Citra, hanya saja sengaja tidak menampakkan diri.
“Li, itu tadi mama mertuamu yang ngomong?”
Lilian mengangguk sambil tersenyum tipis. “Jangan kaget, ya.”
“Kaget sih nggak! Tapi kesal banget dengarnya. Menantu baru pulang kerja eh disuruh bersihin rumahnya juga, mana nyuruhnya pakai bentak lagi. Sabar banget sih kamu, Li.”
Lilian hanya mengedikkan kedua bahunya. “Maaf Han, aku harus cepat-cepat bersihin rumah ini lalu ke sebelah, kalau nggak nanti mama datang lagi dan marah-marah.”
Hanna menghela napas dalam sambil geleng-geleng kepala. “Aku pulang dulu kalau gitu, ya.”
“Iya. Maaf ya aku nggak antar ke depan.” Lilian mengangkat gagang sapu yang dia pegang.
“Nggak apa-apa.” Hanna berjalan menuju depan rumah. Diliriknya rumah sebelah. Terdengar sayup-sayup suara orang bernyanyi. Hanna melihat situasi yang sepi, dia mengendap-endap menuju rumah mama mertuanya Lilian, lalu mengintip lewat celah pagar.
Dilihatnya mertuanya Lilian sedang duduk di taman tidak jauh dari pagar, sedang memotong daun-daun yang kering pada tanaman hias. Hanna mencari-cari di sekitarnya. Dan senyumnya langsung mengembang begitu melihat sesuatu.
Dengan masih mengendap-endap, Hanna mengambil kayu yang tergeletak di tanah, lalu dengan kayu itu diseroknya kotoran kucing yang masih basah. Kemudian perlahan melalui celah pagar, diletakkannya kotoran kucing di dekat mertua Lilian, tanpa suara sedikitpun.
Hanna tersenyum puas, cepat-cepat dia pergi dari sana. Membuang kayu agak jauh barulah memacu motor.
“Argghhh! Apa ini?! Bau banget! Huekkk!” Citra nyaris muntah karena tanpa sengaja tangannya memegang kotoran kucing ditanah, di dekatnya ketika dia mau berpindah tempat duduk. Yang semakin membuatnya merasa jijik adalah kotoran kucing masih basah dan begitu lengket. Citra berlari-lari ke dalam rumah menuju kamar mandi sambil terus menahan mual.
Malamnya, rumah sudah rapi dan bersih seluruhnya, makanan sudah siap di meja makan. Lilian nyaris tertidur ketika terdengar suara mobil memasuki garasi depan. Segera dia berdiri tanpa mempedulikan kepalanya yang sedikit pusing karena kaget terbangun tiba-tiba.
Lilian membuka pintu depan dan segera menghampiri Edwyn. Tanpa berkata apapun, Edwyn menyerahkan tas kerjanya untuk dibawakan Lilian ke dalam rumah.
“Makan malam sudah siap, Mas.”
“Hmm.”
Lilian terus mengekor sang suami hingga ke dalam rumah. Dia menunggu sampai Edwyn selesai mandi dengan duduk di ruang makan. Tidak lama Edwyn datang sudah mengenakan setelan piyama yang tadi disiapkan oleh Lilian.
Edwyn menarik salah satu kursi, segera Lilian menyiapkan piring makan sang suami. Diisinya nasi beserta lauk-pauk yang tadi pagi dia masak, lalu sepulang kerja dia hangatkan kembali.
“Mas, hari ini Mas Edwyn gajian, ya?” tanya Lilian dengan nada suara pelan.
Edwyn menghentikan mengunyah makanan, ditatapnya sang istri dengan tajam. “Bisa nggak kamu tunggu dulu aku selesai makan?! Nggak sopan!” bentaknya kencang.
Lilian segera menunduk. “Maaf, Mas.”
Selesai makan, Edwyn langsung berdiri dan berjalan menuju kamar. Lilian segera merapikan meja makan, kemudian mengunci pintu depan dan samping. Dia segera menyusul sang suami ke kamar.
“Nih!” Edwyn mengulurkan tangan. Sejumlah lembaran kertas berwarna merah berpindah ke tangan Lilian. Dengan cepat Lilian menghitungnya, terbayang banyaknya tagihan yang harus dia bayar segera.
Detik kemudian kening Lilian mengernyit. “Delapan ratus ribu, Mas? Bulan kemarin saja uang satu juta nggak cukup loh Mas untuk bayar semua tagihan.” Nada suara Lilian begitu lembut. Namun Edwyn mendelik tajam pada istrinya.
Lilian tidak berputus asa, dia masih berusaha sebab mau bagaimana lagi, dia memang butuh uang itu. “Aku harus membayar tagihan air, listrik, wifi, belum lagi uang keamanan dan kebersihan bulanan rumah, Mas.”
“Ahh, cerewet kamu! Kamunya saja yang nggak pintar mengatur uang! Lagipula kan kamu juga kerja, pakai gajimu saja!” teriak Edwyn tanpa belas kasihan.
Lilian menghela napas dalam. “Uang gajiku kan untuk makan kita sehari-hari, Mas. Beli beras, galon dan gas, untuk ongkos ku juga pulang pergi kerja, pulsa handphone. Terus mama juga kan masih suka minta uang padaku, padahal sudah dikasih lebih banyak dari uang gajinya Mas Edwyn.” Saat mengucapkan kalimat terakhir, suara Lilian mulai bergetar. Dia tahu akan menyulut emosi Edwyn, tapi dia tersudut. Lilian bukan type orang yang suka berhutang. Makanya dia berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari meskipun sulit. Sebab lebih dari separuh gaji sang suami justru diberikan kepada mama mertua. Sedangkan dia hanya memegang tidak lebih dari sepuluh persennya saja. Segala bonus sampingan yang didapat dari kantor Edwyn juga tidak pernah jatuh ke tangannya.
Edwyn berjalan menghampiri sang istri dengan geram. Kemudian … plak! Tamparan pedas mendarat di pipi mulus Lilian.