Bagaikan dipukul oleh tongkat besi, dadanya terasa sakit sekali, sampai sesak dan sulit bernapas. Pandangannya berkunang-kunang. Detik kemudian Lilian ambruk ke depan.
Dengan sigap kedua tangan dokter di depannya menangkap tubuh kurus Lilian yang terasa ringan baginya. Segera dokter itu mengangkat tubuh Lilian seorang diri. “Perawat! Tolong bantu di sini!” serunya seraya membaringkan tubuh Lilian pada bed yang bersebelahan dengan Yara.
Seorang dari tiga perawat yang sedang mengurus jenazah Yara, segera beranjak dari sana dan membantu sang dokter.
“Dokter Arion, ibunya mengalami syok,” ucap sang perawat sambil masih terus memeriksa Lilian.
Arion sang dokter muda mengangguk. “Pasang infus, oksigen dan ganti bajunya dengan baju pasien. Oh ya, ada luka juga di telapan kaki, itu harus segera dibersihkan dan diobati.”
“Baik, Dokter.”
Arion masih sempat melihat kedua telapak kaki Lilian yang luka-luka, sebelum dia keluar dan menutup tirai ruangan. Membiarkan perawat mengganti pakaian Lilian lebih dulu, barulah kemudian dia masuk kembali.
“Dokter, lutut kirinya juga terluka. Sepertinya jatuh di aspal jalanan. Sedangkan telapak kakinya kemungkina luka karena berjalan tanpa sandal.”
Arion menghela napas dalam. “Sejauh mana dia berjalan menggendng anaknya, sampai kakinya luka-luka begini dan anaknya meninggal di perjalanan,” desis Arion menahan rasa iba. Dia juga bertanya-tanya sejak tadi, di mana suami dari ibu muda ini sekarang?
Pukul dua pagi. Tubuh dingin Yara sudah selesai dimandikan dan dikafani. Dengan perintah Dokter Arion, jenazah Yara tidak dibawa ke kamar mayat. Melainkan dikembalikan ke ruang UGD dan diletakkan pada salah satu bed yang paling pojok dan tirai ruangan ditutup rapat. Hanya ada dua pasien lain di ruang UGD yang luas tersebut.
Sedangkan Lilian, sedang duduk di kursi memandangi tubuh putrinya yang hanya tinggal kelihatan wajah pucatnya saja, kaku dan dingin seperti hati Lilian saat ini. Perawat sejak tadi bolak-balik menawari Lilian minuman hangat dan juga makanan, tapi selalu ditolak. Air mata Lilian sudah kering, bahkan untuk sekadar menangis lagi dia sudah tidak sanggup, kedua kakinya yang diperban menapak pada lantai rumah sakit yang dingin.
“Mbak Lilian, sebaiknya Anda mencoba menghubungi suami Anda kembali,” ucap Arion lembut di samping Lilian. Tadi dia sudah sempat mengajak ngobrol sebentar begitu Lilian sadar. Berusaha menenangkannya dan menguatkan supaya tidak pingsan lagi.
Kali ini Lilian tidak menolak lagi, pikirnya bagaimanapun dia akan membawa Yara pulang, maka Edwyn harus tahu keadaan Yara sekarang. Diraihnya tas selempang yang tergeletak di samping jenazah Yara, lalu menelepon nomor orang yang paling dia salahkan saat ini atas meninggalnya Yara.
Beberapa kali nada sambung, akhirnya panggilan itu dijawab seseorang dari seberang telepon.
“Hallo.”
Itu bukan suara Edwyn. Melainkan suara seorang wanita yang entah siapa Lilian tidak tahu.
“Hallo, tolong katakan pada Mas Edwyn kalau anaknya meninggal dunia dan sekarang masih di Rumah Sakit Permata Indah.”
Nada suara Lilian datar saja. Kemudian dia menutup sambungan telepon. Arion masih berdiri di samping Lilian dan diam-diam memperhatikan, mencoba menebak bagaimana keadaan keluarga Lilian dan Yura sehingga ibu dan anak ini seperti orang terlantar.
Detik kemudian handphone Lilian berdering, di layar tertera nama Mas Edwyn. Dengan gerakan lemah Lilian mengangkat panggilan telepon.
“Istri bodoh! Kenapa Yara sampai bisa meninggal, hah?! Apa saja kerjamu di rumah?!”
Itu adalah kejadian tiga hari lalu. Pagi ini Lilian berjalan di lobi kantor tempatnya bekerja. Setelah cuti melahirkan selama dua bulan yang dijalaninya. Beberapa karyawan kantor menatap pada Lilian penuh rasa iba sekaligus bertanya-tanya, kenapa Lilian sudah masuk kerja kembali padahal dia sedang berduka dan masa cutinya masih ada sebulan lagi.
Hanna, rekan kerja Lilian sesama cleaning service di perusahaan, berusaha menghibur dan menjadi tempat curahan hati Lilian. Dia menawari Lilian untuk berada di pantry saja dulu, jangan bekerja dulu. Namun Lilian menolak, dia justru tidak mau diam saja, katanya akan membuatnya kembali teringat pada Yara.
“Biar aku saja yang antarkan minuman ke ruangan Pak Axel.” Lilian mengambil nampan dari tangan Hanna. Kemudian dia berjalan menuju ruangan CEO.
Sekertaris yang duduk di depan ruang CEO, mempersilakan Lilian masuk setelah meminta izin pada Axel. Lalu menutup pintunya kembali.
Kening Axel mengernyit. “Kamu? Siapa, ya? Cleaning service baru?” tanya Axel dengan hanya memandang sekilas pada Lilian. Dia memang terkesan dingin seperti deretan CEO lainnya. Namun tidak cuek begitu saja jika ada yang berbeda dalam hal apapun.
Lilian tersenyum maklum. Padahal dia telah bekerja di perusahaan ini selama satu tahun, dan baru cuti selama dua bulan, tapi bosnya ini sudah lupa jika ada cleaning service bernama Lilian.
“Saya Lilian, Pak. Saya baru saja selesai cuti melahirkan,” jawab Lilian dengan nada pelan, nyaris tidak terdengar.
“Ohh begitu. Ya sudah.” Axel bicara dengan pandangan mata tidak lepas dari layar laptop. Dia menggerakkan tangannya sedikit seolah menyuruh Lilian segera keluar dari ruangannya.
Lilian sedikit menunduk kemudian dia segera beranjak dari sana. Namun baru saja dua langkah Axel sudah memanggilnya kembali.
“Lilian!”
“Iya, Pak? Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Nanti bilang pada Hanna, tolong antarkan makan siang saya yang sama persis dengan kemarin. Ke ruangan saya.”
“Baik, Pak.” Sekali lagi Lilian menunduk sebagai tanda hormat.
“Dan makan siangmu juga Hanna, beli saja sekalian, masukkan dalam tagihan saya.”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Axel mendongak karena dia ingin meneguk minumannya. Lalu dia menoleh pada Lilian yang masih berdiri di sana. Keningnya mengernyit seketika. Sorot matanya memandang pada satu arah dan tidak berkedip untuk beberapa saat.
Lilian yang menyadari hal itu spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya yang membusung meskipun dia sudah berusaha agak membungkukan badan sejak tadi. “Uhh.” Terdengar pelan suara keluhan disertai dengan raut wajah kesakitan.
Axel memperhatikan itu. Dia semakin menajamkan penglihatannya. Kemudian tangan kanannya terulur menunjuk tepat ke arah d**a Lilian. Yang meskipun sudah berusaha ditutupi dengan kedua tangan kurusnya, tetap saja kelihatan menyembul. Seragam Lilian terlihat begitu ketat hanya di bagian d**a saja.
“Itu, ada kelihatan noda di baju seragammu, apa itu ….” Axel tidak melanjutkan ucapannya.
Namun rupanya Lilian dapat menangkap maksud sang bos. Dia menunduk, melihat noda di seragamnya tepat di bagian d**a kanan dan kiri, selingkaran besar di sekitar putting yang terasa sakit berdenyut.
Seketika rona merah muda menyebar di wajah manis Lilian. Dia malu bukan main. “Ohh maaf, Pak! Saya akan segera membersihkannya. Besok-besok akan saya lapis supaya nggak merembes,” ucap Lilian dengan polos.
“Ahh … jadi benar itu air susumu?” Dan Axel semakin yakin sebab melihat tubuh Lilian yang kurus tapi memiliki sepasang p******a yang bulat membusung. Bahkan kancing seragam kemejanya saja terlihat nyaris putus asa di sana.
Lilian mengangguk dengan malu-malu. “Duhh.” Sekali lagi dia mengeluh seraya sedikit membungkukan badannya.
“Kamu kenapa? Sakit?”
Sekali lagi Lilian mengangguk. Air s**u saya harus segera dipompa, Pak. Maaf saya bicara lancang begini.” Lilian nyaris tidak dapat mengontrol ucapannya sebab rasa nyeri di kedua dadanya sudah nyaris tidak terbendung lagi.
“Ohh, ya sudah sana!” perintah Axel yang langsung dituruti oleh Lilian tanpa bicara apapun lagi. Dia keluar dari ruangan CEO dengan tergesa lalu menutup pintunya rapat-rapat.
Axel menyandarkan punggungnya pada kursi kerja yang tinggi. Seketika semangat kerjanya hilang. Dia teringat pada sang putri kecil yang malang di rumah.
“Lilian, beruntung sekali anakmu,” desis Axel parau.