BAB 11. Itu Acar, Katanya

1191 Kata
Lilian makan dengan sangat lahap. Dia memakan salad yang dicampur dengan nasi goreng beef. Raut wajahnya terlihat sekali jika dia sangat menikmati makanan itu. “Hmm Pak, ini adalah acar terenak yang pernah saya makan. Ternyata acarnya orang kaya seperti ini, ya. Beda sekali dengan acar yang biasa saya makan campur nasi goreng di rumah,” ucap Lilian dengan polosnya. Axel hanya mengangguk saja sambil tersenyum melihat Lilian sedang menikmati salad sayuran segar yang dia letakkan di atas nasi goreng. Lalu setelah itu Liian juga makan kentang panggang yang dia cocol pada sup jamur. Lilian juga mencoba makan salmon grill, tapi hanya satu suap saja, wajahnya mengernyit lalu menjauhkan piring dan cepat-cepat minum. “Maaf Pak, makanan yang ini nggak bisa saya habiskan. Sudah terlanjur saya ambil tapi saya nggak suka.” “Iya, nggak apa-apa. Lagipula kamu sudah makan cukup banyak.” Lilian baru sadar kalau dia baru saja menghabiskan banyak makanan. Apalagi tiba-tiba dia bersendawa dengan cukup kencang, malu sekali rasanya. “Eh! Umm maaf, Pak.” Axel mengangkat tangannya sambil mengangguk, dia tidak masalah dengan itu. Justru Axel merasa cukup terhibur saat tadi memperhatikan Lilian makan, begitu lahap dan apa adanya, benar-benar polos. “Oh ya, Pak Axel. Umm … sebenarnya ada yang mau saya bicarakan pada Bapak Tapi ….” Lilian tampak ragu. “Tapi apa? Katakan saja.” Sedangkan Axel tidak suka pada orang yang ragu-ragu. Dia selalu ingin semuanya tegas dan cepat. “Kalau boleh, Pak. Saya mau minta … duh saya bingung ngomongnya, Pak. Tapi … ehm! Begini Pak, saat ini saya sedang butuh uang untuk keperluan mendesak. Jadiii … kalau boleh, saya mau minta uang gaji bulan pertama saya sebagai ibu s**u, di awal. Umm yang tiga puluh juta itu, Pak.” Lilian tampak menunduk setelah mengucapkannya. Dia tidak berani menatap langsung ke arah Axel. Axel memiringkan sedikit kepalanya, dia sedang memindai raut wajah Lilian. Mencoba menebak apakah benar Lilian sedang membutuhkan uang untuk keperluan mendesak? Seketika Axel menjadi penasaran, untuk keperluan apa uang itu? “Hmm oke. Besok saya bayar kamu di awal, tiga puluh juta.” Lilian langsung mendongak dengan sorot mata begitu bahagia. Namun detik kemudian raut wajahnya kembali sangat serius. “Maaf, Pak Axel. Kalau uangnya hari ini, apa bisa, Pak? Sekali lagi saya minta maaf.” Karena begitu canggungnya, Lilian sampai tidak sadar menggigit bibir bawahnya hingga memerah. “Jangan gigit bibirmu seperti itu!” Lilian kaget karena tiba-tiba nada suara Axel menjadi tinggi. “Hah? Apa, Pak?” “Jangan gigit bibirmu seperti itu.” Axel mengulangi tapi kali ini dengan nada datar. “Ohh, iya. Umm tapi kenapa ya, Pak?” Axel mendengkus kesal. “Pokoknya jangan!” sentaknya lagi. “Ba—baik, Pak.” Axel menghela napas dalam. “Ngomong-ngomong, kamu ada keperluan mendesak apa sampai minta uang tiga puluh juta itu harus hari ini?” Sebenarnya tidak masalah sama sekali gaji Lilian sebagai ibu s**u mau diminta kapan saja. Bahkan jikapun kemarin Lilian memberikan penawaran, Axel tidak akan menolak. Hanya saja, dia ingin tahu apakah Lilian sedang ada masalah atau bagaimana. Namun Lilian tampak ragu menceritakannya. Sebab masalah ini adalah rahasia antara dirinya dengan para pengurus panti saja. Bahkan sangat dia rahasiakan dari Edwyn dan keluarganya. Jika sampai Edwyn tahu kalau dia mengumpulkan uang untuk biaya operasi ibu panti, pastilah suaminya itu akan marah besar. Dan sang ibu mertua bahkan mungkin akan langsung merebut uang tabungan Lilian yang belum seberapa banyak dia kumpulkan. “Hmm baiklah, kalau kamu nggak mau bilang ya nggak apa-apa, bukan masalah bagi saya. Lagipula saya tidak mau dicap suka mencampuri urusan orang lain.” Lilian hanya mengangguk pelan. Dia masih belum yakin akan menceritakan masalah ini pada orang lain, dia sangat ketakutan rahasianya akan bocor, maka akan berakibat tidak bisa membantu ibu panti untuk operasi. “Nanti sore akan saya transfer uangnya ke rekeningmu.” Seketika sorot mata Lilian tampak berbinar. Dia bahagia sekali mendengar itu. Segera dia mengatupkan kedua telapak tangan. “Terima kasih banyak, Pak!” Bahagia yang luar biasa, terbayang ibu panti kesayangan akan segera bisa dioperasi besok hari, membuat Lilian sampai ingin melompat kegirangan. Dia bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Axel dengan cepat. Dan tanpa permisi atau apapun, dia langsung menarik tangan kanan Axel dari atas meja makan lalu mencium punggung tangannya beberapa kali. “Ehh! Sudah, sudah! Ya sudah sana, kamu kembali bekerja, ya.” Axel tampak sangat terkejut dengan tingkah Lilian yang tidak terduga sama sekali. “Baik, Pak. Saya izin ke kamar Naomi lagi. Saya akan menyusui Naomi dengan sepenuh hati, seperti putri saya sendiri. Sekali lagi, terima kasih banyak, Pak!” Lilian sedikit membungkuk dengan senyum lebar pada wajah cantiknya. Lalu segera membalik badan dan setengah berlari akan meninggalkan ruang makan. “Hei Lilian!” Lilian menghentikan langkah dengan mendadak, dia menoleh ke belakang. “Iya, Pak?” “Kamu salah arah. Bukan kesana, tapi sebaliknya.” “Ohh iya, Pak. Terima kasih.” Sekali lagi Lilian melakukan gerakan sedikit membungkuk. Lalu benar-benar pergi dari sana. Lilian masuk ke kamar Naomi, Rani yang sedang duduk sambil membaca buku langsung mendongak dan tersenyum senang. “Ahh kebetulan sekali Mbak Lilian sudah datang.” “Kenapa, Mbak?” Lilian melirik pada Naomi yang tampak masih tertidur lelap di atas kasur empuknya. “Naominya nggak rewel, kan?” “Sama sekali nggak. Bahkan seingat saya ini adalah tidur terlelap Naomi selama saya jadi pengasuhnya.” Rani terkekeh kecil. “Tapi begini, Mbak Lilian. Apa boleh Naomi saya tinggal sebentar? Belakangan ini saya semakin sering begadang, karena Naomi rewelnya minta ampun, tiap malam harus digendong sambil dikasih s**u sedikit-sedikit pakai sendok. Saya rasa kurang enak badan. Jadi mau berobat dulu sebentar di klinik terdekat. Boleh, Mbak?” “Ohh tentu saja boleh! Nanti juga sepulang dari berobat, Mbak Rani istirahat saja dulu, tiduran dulu. Saya masih di sini sampai sore kok.” Rani tersenyum dan mengucapkan terima kasih. “Kalau begitu saya pergi dulu ya, Mbak. Nanti saya juga akan minta izin pada Tuan Axel.” “Iya, Mbak Rani. Eh iya Mbak, tolong bilang juga pada Pak Axel, saya minta dibelikan botol kaca atau wadah plastik khusus untuk menampung ASI. Untuk persediaan nanti malam. Supaya Mbak Rani nggak perlu begadang lagi. Semoga Naomi mau minum ASI saya pakai botol dot.” “Ahh, baik Mbak Lilian.” Kemudian Rani keluar kamar. Lilian duduk di sofa besar yang ada di pojokan kamar, kemudian dia mengeluarkan handphone dari saku celana. Lilian menghubungi Wina. “Hallo.” “Hallo, Kak Wina!” “Iya, Li. Kenapa kamu kok pakai teriak segala?” “Kak Wina! Nanti sore aku akan dapat uang untuk biaya operasi Ibu!” “Hah?! Yang benar, Li?!” Justru sekarang suara teriakan Wina yang lebih kencang. Dia sangat terkejut bercampur bahagia mendengar kabar baik itu. “Iya benar, Kak! Nanti sore aku akan mampir ke panti sebelum pulang ke rumah. Lalu Kak Wina bisa membawa Bu Atika ke rumah sakit besok, ya. Kalau besok aku bisa izin sebentar, aku akan menyusul ke rumah sakit.” “Iya, Lilian! Kakak tunggu, ya! Eh sebentar, sebentar. Tapi uang sebanyak itu kamu dapat darimana? Kok bisa cepat banget dapatnya? Jangan bilang kalau kamu ….”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN