BAB 10. Rumah Atau Istana?

1159 Kata
“Mbak Lilian, ditunggu Tuan Axel di ruang makan,” ucap Rani lalu mengulurkan tangan untuk mengambil alih Naomi dari pangkuan Lilian. Lilian mendongak, melihat jam di dinding kamar, sudah lewat jam dua belas siang ternyata. Dia sampai tidak merasakan hari sudah siang karena terlalu senang mengasuh Naomi. Lilian tak menjawab apa-apa, dia menatap ragu pada Rani yang telah menggendong Naomi lalu perlahan meletakannya di atas kasur karena mulai terlelap. Naomi sama sekali tidak rewel setelah Lilian datang. “Loh! Kok masih di sini, Mbak Lilian? Tuan Axel sudah menunggu loh.” “Tapi … saya malu makan satu meja dengan Pak Axel. Biasanya saya yang menyiapkan makan Pak Axel kalau sedang di kantor.” “Duh, Mbak, tapi perintah Tuan Axel tadi begitu. Minta panggilkan Mbak Lilian untuk makan siang di ruang makan. Jangan menolak, Mbak. Nanti Pak Axel marah.” Raut wajah Rani mulai cemas. Lilian menghela napas dalam lalu mengangguk. “Ya sudah.” Dia berdiri dan berjalan pelan keluar kamar. Begitu keluar kamar, Lilian berdiri mematung. Dia menoleh ke kanan dan kiri, hanya tampak lorong panjang yang keduanya sama-sama berujung pada tembok putih. Dia lupa, tadi datang dari arah kanan atau kiri, dari arah tangga yang menghubungkan dengan lantai bawah. Lilian mencoba peruntungan, berjalan ke arah lorong kanan, melewati satu ruangan besar yang terbuka, lalu juga melewati satu ruangan besar yang tertutup, dengan dua daun pintu tinggi berwarna putih. “Ck ck, ini rumah atau istana,” desisnya pelan. Begitu sampai di ujung lorong, Lilian menghela napas kecewa. Sebab bukan anak tangga yang ditemukannya di sana, melainkan sebuah jalan yang sepertinya menuju ke luar ruangan. Dia penasaran, lalu mengikuti jalan tersebut yang terasa berbeda sekali interiornya dbandingkan saat masih di lorong kamar tadi. Lantainya tidak lagi terbuat dari marmer, melainkan hamparan batu koral putih bersih yang di pinggirannya dibatasi dengan batu candi. Hingga kemudian Lilian keluar dari ruangan dan tampaklah pemandangan yang luar biasa indah. Lilian sampai berdiri mematung karena terpukau pada bentangan pemandangan di depannya. Sebuah kolam renang besar yang airnya tampak berwarna biru langit, diapit dengan taman tropis pada kedua sisinya. Lalu juga ada beberapa kandang hewan yang berjajar rapi di sepanjang batas pagar tembok yang tinggi menjulang. “Wahhh! Kukira hanya ada di film-film rumah sebegini besarnya!” gumam Lilian lalu sorot matanya menyapu seluruh sisi ruangan outdoor tersebut. Detik kemudian dia teringat kembali bahwa harus ke ruang makan secepatnya. Segera Lilian membalik badan lalu berjalan cepat menuju arah sebaliknya. Dia melewati kamar Naomi dan terus berjalan. Hingga berbelok di ujung lorong dan tepat di depannya terlihat tangga lebar berbahan marmer dengan railing kaca bening. Lilian melangkahkan kaki menuju lantai satu. “Aduh! Di mana ruang makannya?” Lilian garuk-garuk kepala yang tak gatal. Lantai satu ternyata terlihat jauh lebih luas dibandingkan lantai dua. Dan sejauh mata memandang, banyak sekali ruangan atau jalan yang menuju ruang lain. Beberapa pelayan tampak hilir mudik dengan langkah tergesa, semuanya menggunakan seragam yang sama. “Ohh permisi!” Lilian menghentikan langkah salah satu pelayan yang sedang berjalan di dekatnya. Pelayan itu tersenyum ramah. “Iya. Ada yang bisa saya bantu?” “Umm … kemana arah ke ruang makan, ya?” “Ruang makan indoor atau outdoor, Nona?” “Wahhh ….” Lilian menggelengkan kepala pelan. Pelayan tersebut masih tersenyum dengan ramah. “Kalau Nona mau ke ruang makan indoor, letaknya ada di sisi selatan rumah, bersebelahan dengan ruang bar, tepat di depan dapur bersih, tepatnya di lantai mezzanine ruang hijau tosca.” Lilian mengangguk perlahan dengan raut wajah kebingungan. “Ohh lalu … kalau ruang makan outdoor?” Padahal ruang makan indoor saja dia belum yakin betul. “Ohh kalau ruang makan outdoor letaknya ada di lantai tiga, Nona. Di taman barbeque. Lurus saja ke arah sana, lalu berbelok ke kanan di ujung lorong nanti Nona bisa naik eskalator untuk ke lantai tiga.” “Hooo.” Lilian masih membulatkan bibirnya ketika sang pelayan pamit untuk kembali bertugas. Lilian termangu sendirian membayangkan betapa rumitnya istana ini, padahal dia hanya ingin ke ruang makan saja. Akhirnya dia memutuskan untuk menuju ruang makan indoor saja dulu. Hingga sepuluh menit mencari, tidak ditemukannya juga ruang makan itu. Sampai kemudian handphone di saku celana berdering. Ada nama ‘Pak Bos Galak’ di layar handphone. Lilian menelan saliva dengan berat. Dia tahu sudah lama sekali sang bos menunggu. “Hallo.” “Hallo, Lilian! Kamu di mana?! Masih di rumah saya atau lagi di mana kamu?!” Suara bariton yang berat dan tegas itu membuat Lilian ketakutan setengah mati. Axel memang kesal sekali karena dia sudah menunggu Lilian sejak tadi. “Ma—maaf, Pak Axel. Umm … saya … saya sedang mencari ruang makannya tapi belum ketemu ini Pak.” “Astaga Lilian! Kamu coba lihat sekeliling kamu, ada lantai agak tinggi tapi bukan di lantai dua. Kalau sudah ketemu, cari ruangan dengan warna tembok tosca. Cepat kesini!” Sambungan telepon ditutup begitu saja oleh Axel. Masih sempat Lilian menjawab dengan anggukan. Kemudian segera dia mengikuti petunjuk Axel, dan tidak lama kemudian telah menemukan ruangan yang dicari. “Maaf, Pak.” Lilian berdiri sambil menunduk di samping meja. “Ya sudah, kamu duduk.” Lilian memandangi meja makan kaca berbentuk oval yang cukup besar. Dia hitung ada sepuluh kursi yang mengitari meja makan oval tersebut. “Sa—saya duduk di mana, Pak?’ Axel mendengkus kesal. “Terserah kamu mau duduk di mana! Yang penting sekarang cepat duduk, jangan sampai kamu terlambat makan siang.” “Baik, Pak!” jawab Lilian dengan cepat. Dia takut Axel semakin marah. “Sekarang, kamu harus banyak makan. Semua menu di meja makan sudah dimasak dengan higienis oleh koki. Bahan makanannya pilihan sehingga, kamu sebagai ibu menyusui harus mendapat nutrisi yang baik. Karena nanti nutrisi itu akan diserap oleh anak saya. Ayo, makanlah!” Axel menyendokkan salad buah ke piringnya sendiri. Dia juga mengambil kentang panggang. Lilian sendiri tampak bingung. Banyak sekali menu makanan di atas meja. Semua kelihatan lezat tapi cukup asing baginya. Maklum saja, dengan uang belanja bulanan hanya satu juta sebulan yang diberikan oleh suaminya, maka Lilian hanya bisa memasak menu sederhana saja di rumah. “Sudah jangan bengong! Ayo kamu makanlah yang banyak. Harus banyak minum air putih juga, supaya kamu nggak kekurangan cairan tubuh.” Axel kembali mengingatkan masih sambil melahap makanannya pelan-pelan. Dia bahkan berbicara tanpa menatap pada Lilian dengan intens. Namun entah kenapa Lilian merasa sangat senang diperhatikan seperti itu. Sudah lama sekali Lilian merindukan perhatian dari suaminya. Pada awal-awal pernikahan Edwyn selalu memperhatikan dengan penuh kasih sayang. Namun begitu dia hamil dan ketahuan jenis kelamin janin dalam kandungannya adalah perempuan, sikap Edwyn pada Lilian langsung berubah drastis. Menjadi galak dan cuek. “Lilian! Apa kamu tidak lapar? Atau kamu tidak selera dengan semua makanan ini? Kamu mau makan apa? Nanti akan dibuatkan oleh koki.” “Ohh maaf, Pak. Saya melamun. Jangan, Pak! Semua makanan ini sangat lezat kelihatannya.” Lalu dengan bersemangat Lilian mulai menyendokkan beberapa menu ke piringnya. Axel tersenyum melihat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN