"Kamu mau ke mana, Bang Januar? Bukannya tadi katanya ada hal penting yang mau dibicarakan sama Ipah? Kok malah pulang? Emangnya udah selesai bicara?" tanya Jennytha Junitha, pemilik warung kopi sekaligus istri dari Jimmy Waluyo.
Wanita itu memang adalah mantan tunangan Januar Arifin, namun hubungan mereka tetap berjalan baik kendati keduanya tidak ditakdirkan untuk bersatu membangun sebuah biduk rumah tangga.
"Kebetulan kamu ada di sini, Jen. Abang mau ketemu sama Suamimu. Tolong dong tanyain dia ada di mana? Soalnya-- Alhamdulillahhh... Panjang umur nih orang," sahut Januar Arifin, yang tiba-tiba saja terhenti akibat melihat sosok Jimmy Waluyo dari punggung belakang Jenny, "Bro, aku punya kabar gawat nih. Baru aja aku mau minta tolong sama Jenny buat telepon kamu. Kita bicara sebentar di kantin Rumah Sakit ini bisa nggak? Aku serius nih, Bro. Ini soal hidup dan mati," dan segera menghampiri, lalu kembali berbicara di sana.
"Udah ngobrol di kursi ini aja. Kepala gue lagi pusing mikir laki-laki b******k itu! Dia nyuruh pengacaranya buat ajukan penangguhan penahanan, biar bisa bebas dari rumah tahanan di Polres Depok sana tuh. Kan kesel! Coba lu pikir?" jawab Jimmy, lalu mendaratkan bokongnya di kursi kayu tersebut.
"Kalau gitu biar Jenny belikan kopi ke kantin ya, Bang? Kali aja sambil ngopi, pikiran Bang Jimmy bisa fresh lagi. Gimana?" suara Jenny, ikut menambahkan pendapatnya di sana.
Namun Jimmy segera menyipitkan kedua bola matanya dan mencoba menerka-nerka, "Kamu lapar, Sayang?" ujarnya lima detik kemudian, "Tumben mau tolongin Abang beli kopi? Biasanya--"
"Ya elah, Bang. Biasanya Jenny 'kan yang bikinin Abang kopi? Karena kita ada di rumah atau di warung kopi. Lha kalau lagi jalan terus Jenny tolak beli kopi? Ya karena kita udah mau pulang ke rumah alias biar Abang minum kopi buatan Jenny aja gitu," sanggah Jenny melipat kedua tangannya di d**a, "Cuma kalau sekarang 'kan beda keadaan. Jenny nginap di Rumah Sakit sama Emak udah dua hari ini, terus nggak mungkin juga mau bikinkan kopi karena Emak sama Ipah lagi tukar pikiran tuh di dalam berdua. Maka itu Jenny ada di luar sini dari tadi," lalu merepet dengan serentetan penjelasan.
"Hem, ya udah maaf. Abang kira Sayang lagi lapar. Jadi ya Abang udah mau berdiri, terus jalan ke kantin aja deh biar kamu bisa makan sekalian," sahut Jimmy mencoba menarik telapak tangan sang istri.
"Ya udah kali, Bro. Aku bilang juga apa tadi. Mendingan ke kantin aja deh. Biar Jenny sambil makan lontong sayur kesukaan dia tuh. Bener 'kan, Jen?"
"Bini gue udah nggak suka sama lontong sayur! Jadi nggak usah sok kenal sok dekat lagi sama dia!" dan Jimmy tiba-tiba saja menjadi orang aneh, akibat lontong sayur yang memang adalah makanan favorit istrinya.
"Ck! Kebanyakan micin lo berdua! Gue ke kantin sendirian aja buat beli kopi dan jangan ada yang berani ngikut gue ke sana!" sehingga Jenny harus meradang dengan tidak lagi memanggil kedua lelaki itu dengan sebutan Abang.
Wanita itu lantas berlalu dengan menghentakkan kakinya di lantai koridor Rumah Sakit, membuat Jimmy terkekeh geli akibat tingkah istrinya.
"Hati-hati, Sayanggg... Telepon kalo ada apa-apa di jalannn..." teriak Jimmy, masih mencoba memberi pesan pada Jenny.
Lantas setelah wanita itu sudah tak terlihat lagi, Jimmy menepuk kursi kayu yang berada di sisi kanannya dan menyuruh Januar untuk duduk.
"Ini tentang pembicaraan antara Ibu kamu dan juga Saripah yang nggak sengaja aku dengar barusan, Bro," dan tanpa menunggu lagi, Januar pun segera mengutarakan isi hatinya.
Jimmy yang tak mengerti pun bertanya, "Maksud lo apaan, Jan? Langsung aja ngomong to the point! Nggak usah berbelit-belit. Bikin bingung gue aja tau!" tentunya dengan gayanya yang serba ceplas ceplos seperti wanita itu.
"Saripah mau nikah sama si b******k Denis, Jimmy Waluyo! Itu maksud aku!" jawab Januar pada akhirnya, dan sang mantan preman pun berdiri dari kursinya secepat kilat.
"Elu jangan asal ngomong ya?" lalu menarik kerah kemeja kotak-kotak yang Januar kenakan saat itu, "Adek gue nggak mungkin mau nikah sama orang yang udah memperkosa dia! Camkan itu baik-baik!"
Jimmy lantas melepaskan tubuh Januar, hingga akhirnya supir taksi online itu terhempas kembali ke tempat duduk.
Dengan letupan amarah ia berbalik dan langsung masuk ke dalam pintu ruangan rawat inap Saripah, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sementara Januar, tentu saja ia segera menyusul apa yang Jimmy lakukan.
"Siapa yang nyuruh elu nikah sama laki-laki b******k itu, Saripah?!" tanya Jimmy, sedikit berteriak dan berhasil membuat pelukan antara kedua wanita yang berada di dalam sana pun terlepas.
"Kecilkan suara lu, Jimmy! Ini di Rumah Sakit! Nanti--"
"Gue nggak peduli, Mak! Gue cuma mau minta penjelasan soal apa yang nggak sengaja Januar dengar dari luar kamar ini tadi!" suara Jimmy kembali keras terdengar, bahkan ia dengan terang-terangan memotong ucapan sang ibu.
"Kenapa kalo Ipah mau nikah sama Pak Denis, Bang Jimmy? Apa itu salah?! Bukannya itu lebih baik dari pada seumur hidup Ipah dilecehkan sama keluarga, sama teman-teman dan sama semua orang yang kenal bahwa Ipah ini adalah perempuan sampah?!" teriak Saripah yang tidak kalah kerasnya.
Sayangnya jawaban itu membuat Jimmy semakin meradang, "Jangan bodoh, Saripah Waluyo! Gue nggak akan pernah setuju elu nikah sama si b******k Denis itu sampai kapan pun, karena dia bakalan gue buat membusuk di penjara! Ngerti lu?!" dan ia terpaksa mengutarakan niatnya untuk memenjarakan Denis Prasetyo.
Akan tetapi Saripah tetap berkeras pada pendiriannya, lalu ia pun menjelaskan segala alasan yang membuat pikiran untuk menikah dengan seorang Denis Prasetyo.
"Lepaskan dia, Bang Jimmy. Hanya ini jalan satu-satunya untuk membersihkan nama baik keluarga kita! Abang nggak tau seperti apa liciknya Pak Denis Prasetyo. Dia sengaja buat kayak gini biar Ipah terlihat seperti sampah, Bang. Dia nggak ada bedanya kayak Abang waktu maksain Mpok Jejen biar bisa jadi istri Abang, kan? Dan yang terpenting..." jelas Saripah menggantungkan ucapannya, "Bagaimana kalau nanti Ipah bakalan hamil? Apa Abang juga akan cekokin obat peluntur kandungan, seperti cewek-cewek yang pernah Abang perawanin dulu? Atau apa Abang bakal bawa dukun biar perut Ipah di jampi-jampi terus keguguran? Itu berdosa, Bang. Ipah nggak mau yang kayak begitu terjadi," kemudian kembali memberi beberapa penjelasan lagi.
Sehingga dengan adanya penjelasan tersebut, Januar pun mundur secara teratur. Ia melihat sebuah keseriusan dari nada bicara wanita yang sangat ia cintai itu, serta tak kuat terus tersakiti jika harus terlalu lama berada di sana.
Amarah berkobar saat kakinya melangkah semakin jauh dari ruangan rawat inap tersebut, "Kamu punya perasaan buat si b******k itu juga 'kan, Saripah?! Apa aku sebegitu nggak berartinya di sana, sampai tadi kamu bicara blak-blakan tanpa memandang ke arah ku sedikit pun?! Sejak kapan kamu deket sama dia, Saripah? Apa karena dia orang kaya dan aku orang biasa yang cuma bisa kerja jadi supir taksi online, makanya kamu bisa gampang banget ngambil keputusan kayak begini? Sadar, Ipahhh... Apa yang dia lakukan ini bukan karena cinta, tapi cuma karena terobsesi!" namun ia tak punya niat untuk berhenti berjuang dan menjadikan Saripah sebagai pendamping hidupnya.