"Pah, ngomong aja semua ganjalan yang ada dalam hati lu. Emak ini orang yang udah melahirkan dan membesarkan elu, jadi jangan sembunyikan apa pun," ujar Mak Rapeah semakin menggenggam erat telapak tangan sang putri, "Emak juga pengen tanya sesuatu sama elu soal laki-laki yang namanya Denis Prasetyo itu, Pah. Tapi Emak usahakan Ipah sendiri yang ceritakan, karena posisinya sekarang udah kayak begini. Emak nggak mau paksa Ipah, terus nanti itu dokter malah nyuntik elu sama obat lagi. Emak ngeri, Nak. Emak nggak kuat tapi berusaha kuat ngeliat elu kayak begini," lalu menangis setelah mengutarakan isi hatinya itu.
"Makkk... Maafin Ipah, Makkk..." sahut Saripah berusaha menjangkau dua pundak sang ibu yang bergetar.
Rasa bersalah merong-rong jiwa rapuhnya, dan itu disebabkan karena setitik nila yang sudah menyebabkan sebelanga s**u menjadi rusak.
"Nggak, Nak. Ipah nggak salah. Semua karena kesalahan Emak yang dulu nggak mau sekolah baik-baik. Coba kalau Emak nggak nikah cepet-cepet, mungkin Emak bisa punya pekerjaan yang lebih baik dari pada sekedar jadi Ibu rumah tangga dan buruh cuci pas Bapak lu meninggal dunia," lirih Mak Rapeah seraya menitikkan air matanya, "Dengan begitu 'kan elu sama Abang lu bisa sekolah yang baik dan nggak sampai kejadian kayak begini. Kerja di mall, padahal elu harusnya udah jadi mahasiswi di kampus-kampus gitu. Emak yang salah, Pah. Emak terlalu egois," sampai Saripah pun turut menangis dibuatnya.
"Itu bukan salahnya Emak, Mak. Bang Jimmy kan udah mau biayain Ipah kuliah. Apa Emak lupa? Cuma Ipahnya aja yang nggak mau ngerepotin Bang Jimmy dan malas belajar terus, Mak. Jadi jangan salahkan keadaan yang sudah Emak lewati selama hampir dua puluh tahun ini. Nanti Bapak juga nggak bakalan merasa bersalah di alam sana, karena udah pergi dalam keadaan Ipah masih kecil. Udah ya, Mak?" jelas Saripah membujuk sang ibu.
Mak Rapeah pun mendongak dan menatapi air mata putrinya mengalir deras, sehingga ia memutuskan untuk berdiri dari tempat duduknya.
"Kalau gitu sekarang elu maunya kayak gimana, Nak? Kasih tau sama Emak biar kita cari sama-sama solusinya, biar elu juga nggak kayak begini. Ya, Nak?" ujar Mak Rapeah menepuk punggung Saripah yang berada di pelukannya, "Apa Ipah mau pindah ke Jakarta aja? Nanti Emak suruh si Jimmy carikan kita kontrakan, biar nggak ada orang-orang yang tahu soal kasus ini. Gimana?" lalu menambahkan ucapannya karena sang putri tak kunjung berbicara lagi.
"Nggak usah, Mak, Saripah mau dinikahkan aja sama Pak Denis biar Emak nggak malu di depan keluarga besar Waluyo. Tadi Ipah dengar kok apa aja yang mereka bicarakan sama Emak dari jendela kaca itu," sahut Saripah membuat Mak Rapeah dengan cepat melepaskan pelukannya, "Mungkin memang jodohnya Ipah datang dengan cara kayak begini, Mak. Lagian juga selama ini emang Pak Denis selalu ngejar-ngejar Ipah di Mall. Jadi nanti perasaan Ipah bakalan banyak ke dia sama kayak perasaan Ipah ke Bang Januar kali. Emak juga sama Bapak menikah dulu baru rasa cintanya tumbuh gede, sampai nggak mau nikah sama laki-laki lain. Gitu 'kan, Mak?" kemudian kembali berbicara.
Hampir sepuluh detik Mak Rapeah terperangah dengan ucapan Saripah, karena memang ia tak menyangka putrinya memiliki pikiran seperti itu.
Wanita paruh baya tersebut lantas membuka suaranya, "Menikah itu bukan main-main, Ipah. Umur elu ini masih sembilan belas tahun dan baru aja tamat SMA setahun. Emang kamu nggak mikir kalau pas kalian menikah, terus nanti langsung hamil kayak si Mbak Vella yang Istrinya Bos Gege itu? Berumah tangga itu nggak akan sama kayak hidup sama Emak gini, Ipah. Elu pasti kudu ngurus segalanya sendiri, karena si Pak Denis ini nggak akan mungkin mau sama kita di Rusun. Dia anak orang berada, Nak. Jadi Ipah juga pasti tinggal sama mertua atau mungkin tinggal di rumah sendiri," lalu menjelaskan panjang lebar tentang resiko berumah tangga.
"Mak, jangan pikirkan sampai ke situ. Ipah yakin Allah sudah menetapkan segalanya, Mak. Walau pun Ipah harus membuat hati Bang Januar sakit, tapi ini lebih baik dari pada harus mempermalukan dia juga," sahut Saripah, menyeka air matanya yang menetes.
"Nak, Januar itu emang kemarin bilang sama Emak soal itu. Dia nggak akan peduli tentang kejadian yang elu alam ini dan siap menikahi elu secepatnya," terang Mak Rapeah yang pada akhirnya membahas tentang Januar Arifin, "Jadi kalau emang elu cintanya sama dia? Maka mendingan nikah sama--"
"Nggak! Itu nggak boleh terjadi! Ipah malu, Mak. Ipah malu banget di depan dia sampai hari ini! Masa Emak nggak bisa pikir kenapa Ipah nggak mau ketemu sama dia," tegas Saripah memotong ucapan sang ibu, "Nggak mungkin barang bekas macam kayak Ipah gini disandingkan sama dia, Mak. Apa kata keluarganya kalau ada yang tau, Mak? Diperkosa sama siapa, egh nikahnya sama siapa? Emangnya Emak kuat ngadepin itu nanti, Mak? Ipah nggak bisa, Mak. Ipah nggak akan kuat, apalagi kalau sampai buat Bang Januar bertengkar sama keluarganya," lalu berbicara lirih yang isinya benar-benar mampu membuat Mak Rapeah kembali menangis.
Secepat kilat wanita paruh baya itu memeluk erat tubuh sang putri, sebelum isak tangis besar terdengar dari pita suaranya.
"Mak?!" seru Saripah sedikit terkejut, "Kenapa Emak menangis? Jangan kayak gini dong, Mak. Ipah minta maaf kalo salah ngomong tadi," sebelum akhirnya ikut menangis seperti ibunya.
Pemandangan menyedihkan itu, ternyata tak luput dari perhatian seseorang dan ia begitu terpukul mendengar seluruh percakapan tersebut.
"Aku nggak mau, Ipah! Aku nggak akan bisa hidup kalo kamu nikah sama orang lain!" batin orang itu membekap erat mulut mulutnya dengan telapak tangan, "Kayaknya emang gue harus minta dukungan sama Jimmy nih! Si b******k itu nggak bisa ngambil Ipah dari gue, walau pun dia sudah mencuri start malam pertama Saripah!" lanjutnya mengumpat dalam hati.
Orang itu jelas adalah Januar Arifin, sang sopir online yang sudah lebih dulu mendekati Saripah Waluyo.
Keisengan adalah awal dari tujuannya mendekati adik kandung sang mantan preman, Jimmy Waluyo. Akan tetapi karena seringnya waktu mempertemukan mereka, sehingga perasaan tulus pun timbul dengan subur dalam hatinya.
Lantas apakah Januar mampu mengubah takdir demi sesuatu yang membahagiakan versi dirinya? Hanya waktu, yang mungkin akan menjawab segalanya.
"Halo, Jim? Lo di mana? Gue pengen ketemu dan bicara penting soal Saripah. Gue ke sana sekarang ya?"