Chapt 4. The Secret Bag Owner

1792 Kata
---**--- Masjid Al-Mushanif, Medan., Sabtu. Malam hari., Saat ini, aku seperti tidak ingin pulang ke rumah. Walaupun aku sangat merindukan Zizil, tapi entah kenapa hatiku sangat ingin berada pada posisi saat ini. Sendiri di dalam sebuah masjid. Merenungi nasib ku yang entah berhujung pada masa depan yang seperti apa. Hampir dua bulan Zizil hidup bersama dengan kami. Bahkan uang hasil penjualan perhiasan Zizil sengaja aku masukkan ke dalam buku rekening ku. Beralasan untuk aku deposit kan seperti uang pribadi ku. Mama Papa ku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena aku yang mengatur keuangan ku dan keuangan Zizil. Sekarang, aku memang tidak perlu pusing lagi. Karena biaya kuliah Dila sudah teratasi, aku juga sudah wisuda. Dan biaya nya dari uang Zizil juga. Penumpukan biaya BPJS juga sudah ku lunasi melalui rekening pribadiku sendiri. Semua berkat Zizil. Zizil, putriku memang malaikat penolong. Walau dengan alibi akan menjamin kehidupan layak untuknya, aku egois menjual semua perhiasannya ke toko emas terkenal di Kota Medan dan menghasilkan uang sampai 397 juta rupiah. Aku pikir, pasti semua perhiasannya bisa dijual lebih dari segitu. Tetapi si pemilik toko mengatakan bahwa tidak ada surat legal, maka mereka hanya mau membayar segitu saja. Dan aku pun mengiyakan. Uang tersebut aku minta untuk langsung di transfer ke rekening milikku. Karena aku tidak mau ambil resiko dengan membawa uang sebanyak itu di dalam tas ku. Aku sedikit meneteskan air mata ku. Sampai kapan aku hidup seperti ini. Aku ingin sekali melanjutkan pendidikan ku. Menikah dengan orang yang sangat menyayangi ku dan keluarga ku, yang mau menerima segala kekurangan ku terutama menerima masa lalu ku yang kelam ini. Sembari menghapus air mata ku. Aku memicingkan mata dan melihat sebuah tas hitam diperbatasan tirai antara shaf pria dengan shaf wanita. Ku lihat ke arah shaf pria, kosong. Dan di masjid ini, hanya aku seorang diri. ‘Tas ini punya siapa ? Malah aku disini sendiri. Dari tadi ku lihat gadak satu pun orang yang mau ambil ini tas.’ Bathin ku berbicara sendiri, mendekati tas itu.  Lalu ku seret ke arah ku. Tas yang terbuat dari kain, seperti tas para mantri-mantri yang mau mengobati pasien dari rumah ke rumah. ‘Coba buka lah. Apa ya isinya. Kalau bom gimana ya ?’ Bathin ku mulai menerka, menghentikan gerakan tangan ku. ’Bismillah.’ Bathinku lagi, lalu membuka resleting tas itu. Deg!! ’Oh My ?? What the ??? Siapa yang naruh ini disini ?’ Bathinku, mengerjapkan mata berulang-ulang kali seraya tak percaya dengan banyaknya uang yang ada di dalam tas itu. Langsung ku tutup balik tas itu. Ku buka kembali resleting bagian atas tas tersebut. Ku lihat beberapa dokumen, tanpa membaca secara detail. Ku pastikan dokumen ini pasti sangat penting sekali. Bahkan ada beberapa dokumen yang tertutup rapat dan dikunci dengan kunci yang sangat kecil sekali. ’Oh Tuhan! Cobaan apalagi ini. Baru dua bulan lalu, aku nemu seorang balita cantik di Taman Kota. Dan sekarang ? Apa sekarang aku harus merawat isi tas ini dan mengambil lagi apa yang bukan hak ku ?’ Bathin ku seraya menjerit kuat-kuat. Tanpa ragu, aku menghapus air mataku. Bersiap memakai jaket dan masker ku, lalu ku bawa tas yang berat itu. ‘Oh Tuhan. Berat banget sumpah.’ Bathinku mengeluh. Satpam yang berdiri di ujung pos, di depan gerbang masjid, melihat ke arah ku. Mungkin mereka bingung, jam 20.35 WIB masih ada wanita yang baru keluar dari masjid. Lantas aku memanggil mereka dan meminta bantuan mereka untuk membawa tas itu menuju kereta ku. *** Di Rumah., Aku sampai di rumah, ku lihat Zizil bermain dengan para sepupu-sepupu ku yang masih kecil di rumah pakde ku. Aku membiarkannya, karena aku tahu keluarga ku pasti akan menjaganya. Aku ingin Zizil merasakan bermain bersama anak-anak yang usianya tidak jauh dari usia dia. Aku langsung masuk ke rumah dan membawa tas yang isinya bagaikan bom ini. “Apa itu kak. Uda kayak mantri aja kau ku tengok.” Dila. ”Berat kali kayaknya, apasih kak isinya.” Papaku. ”Ku rasa mantri pun gak seberat itu tasnya.” Dila tertawa ngakak. ”Isinya obat semua. Besok harus dipaketkan. Karena uda malam jadi kakak bawa pulang.” Timpalku sambil membawa masuk tas itu ke kamar dan ku letakkan di samping lemari pakaianku. ’Untung aja mereka gak curiga. Kalo gak. Ish apalagi la hidupmu ini Anta-Anta.’ Bathin ku sambil merutuki diri karena sudah berbohong lagi. ’Maaf semuanya. Kalo aku bilang apa isi tas ini. Kalian pasti akan terkaget-kaget. Aku gak mau nerima banyak pertanyaan dari kalian. Cukup Zizil yang uda membuat ku pusing. Dan enggak lagi untuk tas ini.’ Bathin Anta lalu terduduk di lantai sambil memijit keningnya. *** Malam dini hari., Malam sunyi. Dinginnya AC di kamar kami yang sudah terbiasa oleh ku dan Dila demi Zizil,  tidak membuat kami kedinginan lagi. Walaupun kami hanya memakai celana pendek sebatas paha. ’Aku harus cari tau sesuatu dari tas ini. Harus segera ku kembalikan lagi ke orangnya. Ya! Harus!’ Bathinku membongkar semua dokumennya secara perlahan supaya tidak membangunkan Dila dan Zizil. Satu persatu k*****a dengan teliti. Namun hasilnya nihil. Tidak ada satupun nomor telepon yang bisa ku hubungi. Ku buka kembali tas bagian tengah, yang berisi setumpuk uang yang ku yakinkan uang itu mungkin berjumlah 1 milyar rupiah. Aku merogoh bagian samping tas, mana tahu ada dompet atau kartu nama, atau mungkin handphone. Dan... Tingg... ’Eehh... Apa itu.’ Bathinku sambil merogo tas itu lebih dalam. ’Remot kecil ?’ Seketika aku paham. Kumatikan lagi remotnya. ’Kok lagi-lagi pelacak sih ya ? Kayak Stroller Zizil.’ ’Apa semua orang kaya selalu meletakkan pelacak di setiap benda-benda mahalnya ya ? Aku gak salah, ini pasti pelacak. Ini pasti Gps, aku yakin.’ Bathinku mantap memasukkan lagi semua dokumen dengan rapi. ’Kok bisa kebetulan gini ya ? Apa Zizil ? Ah gak mungkin Zizil ada hubungannya dengan pemilik tas ini. Ini pasti cuma kebetulan aja.’ Bathin ku seraya memantapkan apa yang ada di otakku saat ini. Aku lalu mengambil handphone. Menelepon seseorang di jam 3.25 WIB ini. Calling... ”Hallo Bu... Maaf ganggu Ibu pagi buta gini.” ”....” ”Gini Bu. Bisa gak Bu, ibu masuk pagi hari ini gantikan shift pagi Anta ?” ”....” ”Iya Bu... Anta bakal masuk 2 hari ke depan untuk ganti shift Anta.” ”....” ”Ah gak apa-apa kok bu. Tapi besok memang harus check up kayaknya Bu.” ”....” ”Makasih ya Bu. Maaf Bu sekali lagi. Anta jadi gak enak hati sama Ibu.” ”....” ”Iya Bu. Makasih Bu. Sekali lagi makasih banyak ya Bu.” ”....” Tutt.. Tutt.. Tutt.. ’Alhamdulillah. Besok aku harus ke suatu tempat. Dan mengaktifkan lagi pelacak ini. Pasti orangnya bakal cepat datangi tas ini. Aku yakin tas ini sangat rahasia sekali. Dasar orang teledor. Bisa-bisanya dia ninggalin tas ini dengan gampang.’ Bathin ku kesal dengan Sang Pemiliki tas sambil menghela kasar nafasku. ---**--- Masjid Raya, Istana Maimun Kota Medan., Siang hari., Siang hari seperti ini, orang-orang akan menyantap segelas es atau memakan rujak buah untuk sekedar mendinginkan tenggorokan yang panas. Tapi tidak dengan ku. ’Iishhh... Uda 1 jam nunggu disini, tapi gak nongol-nongol juga orangnya. Uda mati apa kekmana sih ini orangnya. Apa gak butuh uang nya lagi apa kekmana sih ?’ Aku berdecak kesal sambil memainkan ponsel ku dengan mukenah yang masih ku pakai untuk menutupi tubuhku. ... 1 jam kemudian., ’Kalo emang gak butuh lagi bilang kek, biar ku ambil aja nih uang. Tapi dokumennya ? Gak mungkin gak butuh kan ?’ Bathinku berbicara sendiri dengan kekesalan semakin menjadi karena sudah hampir lebih dari 2 jam. Pemilik tas juga tidak datang ke Masjid ini. ’Ah mampos la situ. Pulang lah aku. Siapa pun yang punya tas ini, masa bodoh! Derita loo deh yaa!!!’ Bathinku mengumpat sambil membuka mukenah dari tubuh ku dan melipatnya rapi, kuletakkan di rak mukenah dekat Al-Qur’an. Aku berdiri seraya memperhatikan tas itu kembali. Dua langkah aku maju. Melihat ke belakang lagi. ’Ah mampos la situ, bikin beban aja.’ Bathinku lagi, berdiri lalu berjalan keluar masjid tanpa memikirkan tas itu lagi. Ini lah sifat asli ku. Jika sudah tidak perduli. Aku tidak akan ragu untuk meninggalkan apapun. *** Halaman Masjid Raya, Istana Maimun Kota Medan., Setelah hampir sampai di parkiran kereta. Anta memberhentikan langkah kakinya di bawah pepohonan yang rindang. Anta mencium aroma parfum maskulin. Seketika tubuhnya menegang. Pikirannya berkecamuk entah kemana. ’Ah, wanginya. Apa-apaan ini. Kenapa tubuh ku jadi tegang gini. Perasaan ku kok jadi gak enak gini ya.’ Bathin Anta lalu berbalik ke arah belakang. Memutar tubuhnya perlahan. Dan Anta mendongakkan kepalanya melihat pria itu. Dengan teriknya matahari membuat matanya sedikit kesulitan melihatnya sekilas. ”Hai, salam kenal.” Sapa pria itu dengan suara baritonnya. Suara yang tegas menyapa Anta dengan senyuman mautnya. Sudut bibir kanannya sedikit terangkat ke atas, seolah dia tengah meledek Anta penuh kemenangan. Wajah yang nyaris sempurna. Oh bukan lagi! Memang sempurna. Hidung nya yang mancung. Dengan tinggi badan yang sangat proporsional dan diperkirakan tinggi badannya sekitar kurang lebih 180 cm. Rambutnya yang sedikit terurai ke depan akibat hembusan angin. Model-model rambut seperti dewa judi. Pakaian yang rapi. Jas berwarna grey tua yang dipadukan dengan baju kemeja nya yang juga berwarna senada. Namun warnanya sedikit lebih muda dari jas yang dia pakai. Dua kancing kemeja teratasnya yang dia biarkan terbuka, sehingga menampakkkan bidang dadanya yang lebar berlapis bulu-bulu halus. Dan sepertinya juga terdapat perut yang seksi di bawah sana. Perut yang membentuk kotak-kotak yang selalu mampu membuat wanita manapun menjadi takjub. Terlihat sangat jelas, walaupun pria ini memakai jas. Otot pada lengannya masih dapat terlihat dengan sangat sempurna. Sepatu yang runcing dan mengkilap. Oh God! Anta memperhatikan kembali pria itu, dari atas sampai bawah. Ketika dia lihat matanya. Seketika mengingatkannya dengan Zizil, putri tunggalnya. Hazel matanya yang sama indahnya dengan milik putrinya, Zizil. Mata biru pria ini membuat hatinya sedikit terpikat. Anta diam menatapnya lagi. ’Sebegitu menariknya kah aku dimata mu Nona ?’ Pria itu membathin dengan senyuman mautnya. ”Hmm... Sudah puas memandang setiap lekuk tubuh ku Nona ?” Pria itu berdehem dan menyadarkan lamunan Anta. ’Apa-apaan dia.’ Bathin Anta terkesiap. Matanya tertuju pada bibir seksinya. ’Otakmu Nta!!’ Bathin Anta kembali menjerit sambil memejamkan matanya lama dengan posisi masih berdiri berhadapan dengan pria itu. Dia lalu memalingkan wajahnya ke samping. ”Aku belum bertelanjang d**a Nona.” Pria itu tersenyum sinis, berbicara dan membalasnya, seakan mengerti isi hati Anta yang sedang berbicara. ’Aku mengerti kau menginginkan lebih dari ini.’ Bathin pria itu menampilkan smirk di wajah berahang tegasnya itu. Pria itu mengernyitkan dahinya. Terkejut, karena Anta mengabaikannya begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN