Belva masuk ke markas, dia dibawa ke ruangan di lantai atas. Tidak keruangan yang pernah dimasukinya dengan Bian dan Lian waktu itu.
Lantai dua tidak seramai lantai satu yang banyak berdiri para preman bertato. Tapi lebih private dan menyeramkan. Dia diantarkan hingga ke depan pintu berbahan kayu dengan ukiran naga pada daun pintunya.
"Masuk lah!" Perintah preman itu mendorong Belva agar masuk.
Dengan agak ragu, Belva membuka pintu tersebut. Ruangan rapi seperti ruangan kantor, tapi ada meja bilyard di sana. Dan terlihat seorang laki-laki bertelanjang d**a duduk di sofa single di dekat jendela.
Belva agak merasa lega, karena hanya ada Virgo di ruangan tersebut. Dia pikir akan ada apa, tapi melihat Virgo masih asik dengan laptopnya, dia mulai bisa bernafas lega.
Dia akan duduk di salah satu kursi agak jauh dari Virgo, tapi Virgo melambaikan tangannya agar Belva mendekat. Dia melangkahkan kakinya mendekati Virgo.
"Kau bersenang-senang?" tanya Virgo tanpa sedikitpun melirik ke arahnya.
"Emh?" Belva rusak mengerti maksud laki-laki itu.
Virgo menarik tangan Belva kuat, hingga gadis kecil itu tersungkur di lantai, di dekat kaki Virgo. Matanya menyorot tajam ke arah Belva, hingga belva dapat merasakan kedinginan di punggungnya.
Aahhh
Belva meringis, dia merasakan sakit di cekalan tangan Virgo. Laki-laki itu tangannya dengan sangat kuat. Belva hampir menangis, dia tidak mengerti apa kesalahannya hingga membuat laki-laki itu jadi marah.
"Kau pikir aku menyekolahkanmu untuk mencari kekasih! Di hari pertama saja kau sudah berani diajak pergi oleh laki-laki. Apalagi nanti! Cih, kau ingin menjadi jalang, hah?" Virgo menggertak dengan suara penuh penekanan.
Belva menggeleng, dia sudah tidak bisa menahan lelehan air mata yang sudah mulai membasahi pipinya. Bibirnya bergetar ketakutan. Dia sakit hati, kenapa Virgo mengatakan hal sekejam itu, hanya karena makan soto dengan Aldo.
Virgo menyeringai, dia memperhatikan wajah Belva yang memerah. Dia tahu, kalau Belva mungkin terkena panas dalam perjalanan ke markas. Dia menyibakkan rambut Belva yang menutupi sebagian wajahnya. Karena Belva sedang dalam posisi menunduk.
"Dengarkan aku. Jangan pergi kemanapun tanpa seijinku! Apa kau mengerti?" Tidak sekeras tadi, kali ini vurgi mengatakannya dengan lembut.
Belva mengangguk, dia ketakutan. Ini pertama kalinya dia melihat Virgo marah padanya. Dia tidak akan mau membuat laki-laki itu marah lagi.
Virgo melepaskan cekalan tangannya yang meninggalkan tanda marah di pergelangan tangan Belva. Menepuk puncak kepala Belva pelan, masih memperhatikan wajah merah Belva yang basah air mata di pipinya.
Mendongakkan wajah gadis itu, memperhatikan ada ketakutan di sana. Belum puas, dia mendekatkan wajahnya. Kini tidak ada jarak diantara keduanya. Hidung mereka saling menempel.
Virgo menikmati mata Belva yang berkaca-kaca itu melebar karena dia mendekatkan wajahnya. Tersenyum licik, Virgo memiringkan sedikit wajahnya, menempelkan bibirnya ringan di atas bibir ranum milik Belva. Gadis itu terkejut, dia reflek akan menjatuhkan tubuhnya, tapi tangan Virgo yang lainnya menahan wajah gadis itu.
Memberikan jilatan kecil, Virgo menyeringai dan menjauhkan wajahnya. Dia melihat bibir Belva yang sedikit terbuka. Terlihat raut terkejut dari tindakannya barusan.
"Pertama kalinya, eh?" ledek Virgo, dia tersenyum puas.
"Jangan buat aku kesal lagi. Jika kau melakukannya lagi, akan ada hukuman yang lebih dari itu! Duduklah!" Virgo menunjuk dengan dagunya pada kursi yang ada di depannya.
Belva langsung menurut. Dia duduk di sana masih dengan wajah bingung. Virgo m*****i gadis polos tersebut. Tapi dapat dilihat raut kepuasan di wajah Virgo. Apalagi saat melihat Belva menyentuh bibirnya sendiri dengan raut polosnya.
She's do damn!
Wajah marahnya tidak meninggalkan jejak sedikitpun, hanya ada raut puas di sana. Dia sepertinya menyukai ide hukuman seperti itu untuk Belva.
Hingga menjelang malam, Belva tinggalkan di ruangan itu. Tidak tahu kemana perginya Virgo, tapi Belva sudah sangat bosan. Dia menelungkupkan kepalanya di atas meja kerja Virgo.
Sebenarnya Belva heran, kenapa markas preman ada ruangan serapih ini. Tapi melihat bagaimana kecintaan Virgo terhadap kebersihan, Belva mulai memahaminya.
Ada banyak berkas-berkas di atas meja. Belva tidak berani membukanya, meskipun dia penasaran. Kenapa ada banyak berkas seperti sebuah kantor di sini. Dia tidak mengerti apa sebenarnya pekerjaan Virgo.
"Aku kesepian!" keluh Belva menghembuskan nafasnya, dia sepertinya selalu ditakdirkan sendirian, sejak kepergian orangtuanya.
Matanya lama-lama ikut terpejam menyelami rasa kantuknya. Dia bahkan menguap beberapa kali.
Dentingan jam menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu. Waktu terus berputar, dari siang menjadi malam, Belva masih terkurung di ruangan gelap tersebut.
Nyamuk yang mencoba menyedot darahnya juga tidak sedikitpun membangunkan Belva. Gadis itu hanya bergerak saat merasakan gigitan nyamuk, tapi tidak berniat bangun.
"Bos, datang. Pesankan makanan!" perintah salah seorang preman pada temannya, saat melihat kedatangan Virgo dengan mobil sport-nya.
"Siap!" orang itu berlari kencang, dia dengan penuh semangat melakukan hal kecil untuk menyenangkan Virgo.
Virgo mengangguk saat anak buahnya menyapanya. Dia langsung masuk ke ruangan, Bian dan dua orang anak buahnya yang membawa dua koper langsung ikut bersamanya. Bukan ruangan di lantai atas, tapi ruangan dimana Bian mengajak Belva dan Lian kemarin.
Virgo melepaskan kemejanya. Melemparkannya ke lantai sofa, lalu berjalan menghampiri kulkas. Mengambil minuman dingin, meneguknya sampai habis. Dia melemparkan botol lainnya pada Bian yang sudah duduk di sofa, sedang mengawasi anak buahnya menghitung uang.
"Gue udah ngira, barang kita tadi bakal dia curangi, untung aja kita cek sampai ke dalam-dalam. Bisa rugi kita!" ujar anak buah kepercayaan Virgo.
"Santai aja, sampai kapanpun, dia cuma pecundang. Gak ada tupai bisa makan serigala!" Bian menepuk punggungnya.
Mereka tertawa, seperti biasa misi mereka sukses. Uang miliaran sudah di tangan mereka. Bian menyerahkan bagian masing-masing. Dia cukup puas dengan hasil malam ini.
"Igo, Lo tadi katanya bawa Belva ke sini. Lo tinggal di mana?" tanya Bian melirik Virgo yang masih berdiri menyenderkan badannya di kulkas.
"Ada, di atas. Nanti anterin makan ke atas. Gue tunggu!" Virgo berlalu menuju pintu keluar, masih dengan bertelanjang d**a.
Dia mempercayakan masalah uang pada Bian. Laki-laki itu sudah biasa memegang uangnya. Karena sebenarnya pekerjaan Bian disini, hanya berurusan dengan uang. Itulah kenapa, dia berbeda dengan anak buahnya yang lain. Virgo tidak membutuhkan ototnya, tapi hanya otaknya untuk berurusan dengan uang.
Menapaki anak tangga, dia berjalan menuju ke ruangannya. Mengambil kunci dari sakunya. Dia membuka pintu itu dan di sambut oleh kegelapan.
"Gadis bodoh!" ujarnya yang kemudian menyalakan lampu di ruangan tersebut.
Melihat wajah damai Belva yang tertidur lelap di atas mejanya, Virgo menggeleng. Gadis itu tertidur dalam gelap. Agak sesal karena tadi sempat memarahinya.