Ingin teman baru

1037 Kata
Membawa Belva pulang, Virgo menurunkannya di tempat tidurnya. Dia berniat untuk membeli tempat tidur lagi, tidak mungkin dia akan tidur di sofa terus menerus. Karena dia enggan berbagi tempat tidurnya. Berjalan keluar, Virgo mendudukkan dirinya di kursi. Karena tidak mengantuk, dia membuat secangkir kopi untuk menemaninya. Terbiasanya hidup sendirian tidak membuatnya merasa sepi, malah merasa nyaman. Memasukkan biji kopi ke mesin kopi. Dia menunggu hingga menjadi bubuk. Lalu mengisi mesin kopi dengan air, maka beberapa saat kopinya sudah siap. Berjalan menuju sofa, Virgo membuka laptopnya. Dia memiliki banyak pekerjaan. Memakai kacamatanya, dia mulai fokus bekerja. Hingga menjelang pagi, dia masih berkutat dengan laptopnya. Memejamkan matanya, Virgo menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Melihat jam di tangannya, dia akhirnya bangkit untuk sedikit berolahraga. Sebagai seorang komandan di kepolisian, dia tidak memiliki banyak tugas, tapi sebagai ketua preman dan pengusaha membuatnya sangat sulit mendapatkan waktu untuk berolahraga. "Kakak, kupikir kau sudah bekerja!" Belva menatapnya dengan binar kebahagiaan, membuatnya mengerutkan kening. Bahkan setelah kejadian kemarin, dia tidak lagi takut padanya. "Kenapa? Kau berharap tidak bertemu denganku?" Virgo bertanya malas, sambil melangkah menuju kulkas. "Tentu tidak, hanya saja aku lapar!" Belva reflek mengusap perutnya, dia tidak makan kemarin, dan sekarang dia jadi kelaparan. Virgo memperhatikan penampilan Belva yang sudah rapi dengan seragamnya. Dia melihatnya duduk manis di meja makan, senyumnya juga terlalu lebar di sana. "Kau harus belajar masak. Makan saja roti di atas meja, jika tidak bisa masak!" Virgo merasa terlalu memanjakannya, seenaknya saja menyuruh memasak. Virgo benar-benar meninggalkannya, Belva cemberut, dia sangat lapar, roti saja tidak cukup untuk memuaskan rasa lapar yang ditahannya sejak kemarin. Karena tidak ada pilihan lain, dia mengambil selembar roti dan mengoleskan mentega di atasnya. Belva tidak terlalu suka rasa nanas, jadi dia memilih rasa asin mentega. Belva membawanya untuk dimakan di depan tv. Dia menonton serial film kartun, sambil menunggu Virgo mengantarkannya. Selesai dengan satu roti, itu tidak cukup. Belva makan hingga menghabiskan tiga lenbar roti tawar. Berpikir akan apa yang diucapkan Virgo, Belva berniat membeli beberapa bahan makanan yang tinggal goreng saja sepulang sekolah nanti. Dia tidak mau mengambil resiko kelaparan setiap hari. "Kau sudah selesai? Ini?" Virgo memberikan yang seratus ribu padanya untuk uang saku. "Loh, kakak tidak mandi?" Belva memperhatikan kalau Virgo masih mengenakan pakaian yang sama, hanya ditutup oleh jaket. "Aku ada tugas. Kau berangkat sendiri, bawa kunci rumah dan langsung pulang jangan keluyuran!" Virgo langsung melesat pergi, meninggalkan Belva yang masih melongo. Dia sudah menunggunya, tapi malah ditinggalkan. Meskipun sekolahnya agak dekat, tapi dia tetap malas jalan kaki. "Kejam sekali!" Belva langsung beranjak untuk mengambil tasnya, dan berjalan menuju pintu keluar. Keluar dari halaman, Belva berjalan santai. Dia malas berkeringat, jadi tidak ingin terburu-buru. Hampir sampai di sekolahnya, dia melihat anak-anak bercanda ria dengan logat bahasa Palembang. Dia belum bisa bahasanya, mempersulitnya berkomunikasi dengan yang lain. "Woi murid baru!" panggil seseorang di gerbang yang akan dia lewati. Belva agak takut, dia melihat mereka seperti berandalan. Dia takut kena bully. Berjalan akan melewatinya, seseorang mencekal tangannya. "Kau Idak dengar apo? Aku manggil kau!" orang yang memanggilnya itu berbicara padanya. Belva hanya diam, bahkan dia tidak menggubris saat ada yang bertanya padanya. Dia hanya tahu kalau mereka sedang menggodanya. Tidak berhasil membuat Belva bicara, anak-anak itu jadi tidak lagi tertawa. Mereka merasa Belva bukan gadis yang bisa diajak bercanda. "Kau takut?" tanya salah satu dari mereka. Belva melihatnya, tapi dia hanya memalingkan wajah. Tidak pandai berkomunikasi, dia hanya ingin segera masuk ke kelasnya. "Sudah masuklah. Kito wong dak maksud nak nyakiti, cuma nak kenalan Bae!" ujar orang yang tadi menghentikannya, tapi Belva tidak melihat kemarahan dalam nadanya. Melanjutkan langkah ke kelasnya, Belva jadi berpikir, apakah yang dilakukannya tadi menyinggung mereka? Karena dia tidak berniat begitu, hanya sedikit malu dan tudak Thai bagaimana harus merespon. "Hei, kau kemarin kemana?" Aldo langsung menariknya agar duduk, dan langsung membombardirnya dengan pertanyaan. "Aku, tidak tahu. Tapi aku diantarkan pulang. Kau sendiri, tidak apa-apa kan. Maaf!" Belva merasa bersalah, Aldo adalah anak pertama di sekolah ini yang mengajaknya berteman, tapi dari sudah meninggalkannya di jalanan kemarin. "Yah, tentu aku baik-baik saja. Aku yang minta maaf, aku membuatmu terkena masalah!" Aldo tidak berniat menanyakan, kenapa Belva bisa dikenal oleh preman pasar tersebut. Pelajaran dimulai. Seperti biasa, kelas terasa membosankan bagi anak-anak! Terlebih Belva, dia merindukan sekolahnya yang lama. Dia rindu teman-temannya. "Ayo ke kantin. Kau tampak lesu, maka kita harus mengisi energi!" Aldo menariknya agar berdiri, sebenarnya Belva lapar, tapi dia agak malas di jam istirahat pertama. "Ada makanan apa di kantin?" Belva memikirkan makanan di kantin sekolah lamanya sangat enak, dan berpikir kalau di kantin sini pasti jenis makanannya berbeda. "Ada banyak, apa kau sudah pernah makan tekwan dan pempek? Di kantin ada dijual pempek enak. Atau kau mau makan nasi juga ada!" Aldo berusaha membiasakan untuk berbicara bahasa Indonesia, agar Belva tidak kesulitan memahaminya. "Ya udah, ayok!" Belva mengiyakan, dia tidak akrab dengan yang lain, jadi pergi bersama Aldo mungkin bisa membuatnya menemukan teman lain. Keduanya berjalan ke kantin, Belva melihat beberapa orang memperhatikannya. Dia menyenggol lengan Aldo. "Kau tidak mengajak temanmu yang lain?" Belva awalnya berharap akan bertemu teman baru, tapi Aldo hanya mengajaknya. "Tidak, mereka akan ke kantin sendiri nanti" jawab Aldo sambil memamerkan senyumnya. "Bukan karena kau pergi bersamaku?" tanya Belva, mengungkapkan pemikirannya. Sangat sulit untuk berteman dengan mereka, selain perbedaan bahasa, sepertinya mereka juga tidak terlalu suka berteman dengan anak baru. "Woi, peilah kantin!" ajak Aldo pada temannya yang sedang berdiri di tangga. "Wei, samo siapo tu, Al? Cewek kau ye? Ndak ah, kagek ganggu!" jawab kawanannya menepuk bahunya. Belva tersenyum saat mereka tersenyum, lalu kembali ikut melangkah lagi bersama Aldo. "Kau mengerti apa yang dikatakannya, saat aku mengajaknya ke kantin?" tanya Aldo pada Belva. "Tidak, apa memangnya?" Belva mengerutkan kening, bahkan kalau Aldo menipunya, dia tidak akan tahu. "Dia bilang, takut menggangguku. Berpikir kau adalah pacarku! Jadi sebenarnya kau hanya harus lebih pandai lagi bergaul, dan belajar bahasa daerah kami. Mereka hanya canggung saja dan segan. Kau tahu, kadang anak baru tidak begitu suka dengan cara kami yang berbicara agak kasar. Padahal memang seperti itulah kami orang Palembang berbicara!" Aldo menjelaskan, dia menguraikan benang kusut yang sudah menjadi pertanyaan bagi Belva selama ini. "Begitukah? Kupikir mereka tidak menyukaiku! Lalu, ajaran aku bahasa daerah kalian!" Belva melihat Aldo mengangguk, dia benar-benar lega mengenal laki-laki itu. ____ Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN