Bian rupanya cukup pandai, ditambah Belva yang juga baik dalam pelajaran, tugasnya jadi sangat cepat dikerjakan. Hampir selesai, tinggal dua puluh persen lagi.
"Kak, menurutmu, kalau seseorang berbuat jahat padamu. Sedangkan orang itu sebenernya hanya sedang iseng. Apakah kau akan memaafkannya?"
Belva sebenarnya penasaran, karena dia takut kalau Kai benar-benar marah padanya. Setelah Kai dan teman-temannya membalas untuknya, tapi dia malah memaafkan anak-anak tersebut.
Sebenarnya dia bukannya tidak kesal. Siapa yang cukup baik memaafkan orang yang telah menguncimu di kamar mandi sekolah, sendirian, ketakutan dan hampir lemas. Tapi saat melihat pelaku yang sudah babak belur, juga sebenarnya mereka tidak saling mengenal, dia tidak punya alasan untuk menghukum mereka.
"Kau yakin bertanya seperti itu? Jelas saja aku akan memberikan mereka pelajaran!" Bian mengatakan dengan santai. Fokusnya masih pada soal-soal milik Belva. Seakan apa yang diucapkannya tidak perlu untuk dipikirkan. Itu sudah jawaban pasti.
"Begitu? Tapi kurasa tidak semuanya harus dibalas. Bukankah seseorang akan lebih tersiksa dalam rasa bersalah. Karena hukuman hanya akan meringankan rasa bersalah mereka!" Belva membalikkan tubuhnya yang tadinya dalam posisi tengkurap. Menatap langit-langit kamar Virgo.
Bian langsung menatap pada Belva. Jawaban gadis itu bukan hal yang bisa dikatakan oleh orang yang tidak pernah merasakan rasa sakit. Bian berpikir, selama ini hidup Belva haruslah cukup nyaman. Menjadi anak orang kaya, hidup baik dan setelah mengalami tragedi penculikan pun, Virgo menjaganya dengan baik.
Dia juga setuju dengan jawaban Belva. Karena penyesalan adalah hukuman terberat yang sulit ditanggung. Dia paling tahu perasaan tersebut.
"Kau sangat pintar. Gadis baik, sekarang katakan, apa kau mengalami kejadian buruk di sekolahmu? Kau tidak mungkin bertanya tanpa alasan, bukan?"
Belva yang mendapatkan pertanyaan seperti itu langsung melihat pada Bian. Keduanya saling menatap, dan akhirnya Belva menyerah.
"Aku tidak bisa mengatakan. Lagi pula aku sudah baik-baik saja!" Belva kembali ke posisi awal, mengerjakan tugasnya lagi.
Dia tidak ingin menceritakannya. Mungkin dia terlihat baik-baik saja setelah Kai membukakan pintu kamar mandi waktu itu. Tapi sebelumnya, dia merasa sangat ketakutan. Ada trauma tiap kali dia melihat pintu kamar mandi sekolah. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi pergi ke sana.
"Aku tidak melihatmu baik-baik saja!" Bian melihat betapa sulitnya Belva mengatakan hal tersebut. Seakan sedang menahan sesuatu.
"Aku akan menghajar orang yang menyakitimu. Jadi katakan, apa ada yang menyakitimu di sekolah?" Bian yang biasanya berbicara santai, kini agak serius dalam nada bicaranya.
"Kakak tidak perlu melakukannya. Memalukan bagi orangtua sepertimu ikut campur urusan anak muda!" ledek Belva berusaha mencairkan suasana.
Bian memutar bola matanya malas. "Aku belum tua, kau ini!"
Pembicaraan itu berlalu begitu saja. Bian membantu pekerjaan rumah Belva hingga selesai. Saat itu sudah sangat malam. Bian sedang memperhatikan Belva yang tidur di ranjang sebelahnya. Kamar Virgo yang besar kini diisi oleh dua tempat tidur yang terpisah jarak satu meter.
Dia akhirnya memilih keluar kamar untuk merokok. Karena takut Virgo mengamuk jika puntung rokoknya berserakan, Bian merokok di teras belakang.
Udara malam itu sangat dingin. Dia masih menikmati setiap udara dingin yang menembus kulitnya.
Saat ponselnya berbunyi, Bian buru-buru mengangkat panggilan tersebut. Itu berasal dari ponsel Lian. Tidak, itu ponsel mamanya Lian, tapi karena wanita itu masih koma, jadilah ponsel itu kadang-kadang dipegang boleh Lian.
"Ayah?"
"Hmm, kenapa belum tidur?" Bian berbicara dengan nada datar.
"Lian tidak bisa tidur. Bolehkah ayah datang dan temani Lian tidur di sini?" pinta Lian dengan suara memelas.
"Jangan manja. Ayah sibuk. Tidurlah, ini sudah malam!" Bian langsung menolak permintaan anak tersebut.
Tidak lagi terdengar sahutan dari Lian. Saat Bian akan mematikan sambungan, ada suara lagi.
"Ayah jangan tidur terlalu malam. Lian rindu ayah!" Barulah sambungan itu terputus.
Bian meremas ponsel ditangannya. Tergambar mimik wajah rumit mendengar ucapan Lian. Tapi hal tersebut tidak merubah apapun.
Bian masuk ke ke rumah. Dia merebahkan dirinya di atas sofa. Tidak butuh waktu lama. Dia langsung jatuh tertidur.
_
Di sebuah cirkuit balapan, Kai dan yang lainnnya baru saja mendapatkan kemenangan. Seperti biasanya, uang taruhan di bagikan. Setengah milik Kai, dan setengah lagi untuk teman-temannya.
"Kau akan langsung pulang?" tanya Ratni pada Kai.
"Hemm!" jawab Kai pendek.
"Kai, ayo kita beli minum ke markas dulu. Ayolah, lagipula kau besok tidak akan ke sekolah bukan?" tanya salah seorang temannya, dan disahuti dengan suara tawa dari yang lain.
"Yah, kau dihukum, sedangkan anak baru itu dengan mudah memaafkan anak-anak itu!" Ratni berbicara sinis.
"Dia itu bodoh atau memang naif ya? Sepertinya dia tidak tahu kalau kita kena hukuman karena dia!" ujar orang yang juga ikut terkena hukuman seperti Kai.
Kai sendiri tidak merespon. Dia masih ingat saat gadis itu menunggunya di gerbang. Dari pada mengkhawatirkan tentang keputusannya yang akan tidak disukai oleh orang lain, gadis itu lebih memikirkan tentang kemarahannya. Karena dia yang menyelamatkannya.
"Dia tidak ingin ada perkelahian lagi. Jika dia tidak memaafkan mereka, maka kita pun juga masih saling bersitegang. Dia memilih jadi korban yang disalahkan!"
Setelah ini, maka Belva kan terus disalahkan. Karena menjadi penyebab perkelahian antara kelas dua belas dan kelas sebelas. Karena kedua pihak terkena skorsing.
"Aku jadi sangat benci dengan dia. Untung cantik, jika tidak, aku akan mencegatnya saat pulang sekolah besok!" ujar teman Kai masih kesal tapi diapun hanya bergurau. Yang lainnnya masih hanya menanggapi dengan tawa saja.
Ucapan anak tersebut memberikan ide untuk Kai. Gadis itu tadi hanya pergi begitu saja. Seharusnya Belva juga mendapatkan hukuman. Bibirnya tersenyum tipis, hanya Ratni saja yang menyadarinya.
Anak-anak lainnya juga mulai ramai membicarakan tentang Belva. Bahkan kabar yang beredar tidak sama dengan yang sebenarnya.
Ada yang mendengar kalau anak laki-laki di kelas sebelas dan dua belas sebenarnya sedang merebutkan anak baru. Memicu kekesalan Siswi perempuan. Mereka merasa Belva hanya sok kecantikan.
Ada lagi kabar yang mengatakan, kalau anak kelas dua belas menyerang anak kelas sebelas, karena Belva adalah kekasih Kai. Sehingga ketika terjadi sesuatu pada Belva, hal tersebut memicu kemarahan Kai dan teman-temannya.
Semakin banyak anak di sekolah tersebut yang penasaran dengan sosok Belva. Karena selama ini Belva hanya dekat dengan Aldo. Pria manis berambut keriting yang juga salah satu idola di sekolah tersebut.
"Gadis bodoh!"
"Kau penakut!"
Belva terbangun dari mimpi buruknya. Dia merasa banyak orang yang melemparinya dengan batu. Bersyukur kalau itu semua hanya mimpi.
"Kau mimpi buruk?" tanya Virgo, dia baru saja mengganti pakaiannya, tiba-tiba melihat Belva terbangun dengan nafas memburu.
Belva sedikit mengangguk. Dia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Pantas saja kalau Virgo sudah pulang.
"Jangan tidur lagi. Cuci wajahmu!" perintah Virgo, karena Belva malah akan membenarkan posisi selimutnya.
"Ini masih pagi, mau ngapain bangun?" Belva tidak terbiasa bangun pagi sekali.
"Pemalas. Apa tugasmu sudah selesai?" tanya Virgo lagi melihat masih ada buku-buku berserakan di atas karpet.
Virgo harus ingat, dia tinggal bersama gadis manja. Bahkan untuk membereskan bukunya sendiri saja dah malas.
"Sudah! Kakak yang bereskan?" tanya Belva melihat dua mangkuk mie yang sudah tidak ada lagi di sana.
"Yah, jangan ulangi lagi. Langsung taruh mangkuk kotor di wastafel dan mencucinya. Aku tidak suka hal seperti itu terulang lagi!" Virgo sangat benci kotor. Dia benar-benar menahan kekesalannya pada gadis manja yang masih menatapnya polos.
"Aia, siap kapten!"