Aldo sudah mencari keberadaan Belva dimana pun, tapi dia tidak menemukannya. Agak khawatir, takut kejadian saat gadis itu dikuncikan di kamar mandi terulang lagi, dia mencarinya ke semua kamar mandi. Tapi nihil.
"Ada dimana kau, jangan sampai sesuatu terjadi lagi padamu!" Aldo hanya bisa berharap Belva baik-baik saja di suatu tempat.
Di dalam perpustakaan, diantara rak-rak buku, Belva tengah menikmati membaca buku. Dia mencoba menghindari orang-orang yang terus membicarakannya. Tidak bisa dipungkiri, memang dialah penyebab beberapa anak kena skorsing.
Pertama Belva membaca buku tentang ilmu fisika, tapi kemudian dia berganti membaca buku tentang ilmu bumi, tapi tidak lama juga, karena dia agak kurang suka membaca sesuatu yang terlalu banyak.
Melihat beberapa anak yang juga ada di perpustakaan tersebut, Belva tidak sedikitpun mendengar mereka menggosipkannya seperti yang lainnnya. Mungkin karena tidak boleh ada yang berisik di tempat tersebut.
"Aldo nyariin gue gak ya?" Belva tahu, biasanya laki-laki itu yang paling khawatir padanya. Tapi karena buru-buru, dia tidak sempat bilang kalau akan bersembunyi di perpustakaan hingga situasi mereda.
"Eh!" Belva langsung menunduk, karena melihat anak-anak dari kelas dua belas. Dia bukannya takut di bully, hanya saja kadang ucapan para senior itu agak pedas. Dia malas mendengarkan.
Berusaha menghindari mereka, Belva pindah ke rak sebelah. Dia mendengar sedikit percakapan mereka.
"Kai semalam katanyo lagi ngobat dio, itulah oleng pas nak balek. Untung bae cuma lecet-lecet!"
"Yah, dio ngatek uwong yang ngurusnyo pulo kan!" sahut salah seorang temannya.
Dibalik rak buku, Belva menyimak semua obrolan mereka. Tapi hanya satu yang menjadi fokusnya. Kai jatuh? Dia mencoba mencuri dengar apa tentang Kai lagi, tapi mereka malah mulai membicarakan tentang ciuman.
Anak-anak diusia mereka memang sudah sering membicarakan hal seperti itu. Sedangkan Belva tidak suka membicarakannya, karena ciuman pertamanya bukan dengan pacar, tapi malah dengan Virgo. Belva agak tidak rela.
Hampir tiba saatnya istirahat kedua, Belva yang sudah mulai kucel karena berjibaku dengan banyaknya buku bacaan. Dia mulai merasa haus, tapi artinya dia harus ke kantin. Jika seperti itu, maka dia harus menunjukkan diri.
"Kau memang penakut!" Belva mengejek dirinya sendiri.
Padahal anak-anak di sekolah itu tidak menyakitinya, hanya sedang sonter membicarakannya. Tapi dia malah memilih bersembunyi seperti pengecut. Alasannya karena Belva memang merasa bersalah. Karena telah membuat para kakak kelasnya di skorsing.
Karena rasa haus yang tidak tertahankan, Belva memilih menyelinap keluar. Beruntung tidak ada yang memperhatikannya. Dia buru-buru ke kantin sebelum ramai.
Dia pikir belum ada anak yang makan di kantin, karena memang belum waktunya, tapi dia salah. Ada segerombolan anak-anak kelas dua belas yang baru saja selesai olahraga sedang makan di sana. Keinginan untuk membeli minuman pupus sudah.
"Apartemen Kai termasuk apartemen paling elit, tempatnya nyaman banget, tapi sayang gak boleh nginep!" ujar anak laki-laki yang semalam mengantarkan Kai pulang.
"Yah, dio belum pernah ngijinkan siapopun nginap di apartemennyo!" tambah anak lainnnya.
Belva yang masih berdiri di sebelah pintu mendengarnya. Dia berusaha menyimak agar tahu letak apartemen laki-laki itu. Meskipun dia harus susah payah memahami bahasa mereka. Entahlah, rasanya Belva masih belum tenang mengenai hukuman yang didapatkan kakak kelasnya.
Setelah mendapatkan alamatnya, Belva langsung pergi dari sana. Dia benar-benar nekat pergi sendirian ke apartemen Kai. Meninggalkan tasnya yang masih di kelas. Juga Aldo yang sudah kebingungan mencarinya.
Sebenarnya dia takut dengan Kai. Tapi rasanya jahat saat mendengar laki-laki itu kecelakaan, tapi dia tidak menjenguknya. Meskipun bukan salahnya, tapi laki-laki itu pernah menyelamatkannya.
Saat sopir taksi menanyakan alamat tujuan, Belva hanya menyebutkan alamat yang dibicarakan oleh anak-anak tadi. Beruntung, sopir itu mengerti alamat yang dia maksud.
Benar kata anak-anak tadi. Apartemen Kai berada di kawasan elit yang dikelilingi gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Bahkan saat masuk lobi, Belva harus melapor lebih dulu pada bagian resepsionis.
Belva tahu tata cara seperti itu, karena di Jakarta dia juga punya sejumlah apartemen. Tapi semuanya tidak ditinggali. Hanya sebagai bentuk investasi.
Belva mendapatkan nomor apartemen Kai. Beruntung dia mengenakan seragam sekolah, jadi mereka percaya saat dia mengatakan kalau dia temannya.
Ting
Belva berhasil sampai di lantai tempat tinggal Kai. Ada tiga nomor di pintu-pintu tersebut. Salah satunya adalah milik Kai.
Belva agak takut, karena Kai adalah orang yang menyeramkan. Tangannya sangat berat untuk memencet bel. Butuh waktu beberapa menit untuk dia berani menekan belnya.
Pintu itu baru terbuka setelah Belva hampir akan menyerah. Sosok dengan wajah dingin tanpa ekspresi itu menyambut kedatangan Belva.
Keduanya sama-sama terkejut, begitupun dengan Belva yang memang sudah berniat datang. Tapi ekspresinya masih menunjukkan keterkejutan saat melihat sosok Kai.
"Hallo, a-aku berniat menjenguk. Teman-temanmu bilang kau sakit!" Belva mengatakan dengan tempo yang berantakan, jika itu nyanyian akan menjadi nada sumbang.
"Kau sudah melihatnya, sekarang pergilah!" jawab Kai malas.
Belva jadi canggung. Dia tersenyum aneh, dan pada akhirnya menyerah karena rasa malu yang tidak dapat ditanggung.
"Baiklah, aku pulang. Maaf mengganggumu!" Belva langsung berbalik, dia tidak mau lagi bertemu Kai seumur hidup. Tapi sebelum melangkah, ada tangan yang menahan lengannya.
"Aku hanya bergurau, Ayo masuk!" Kai tersenyum miring, menunjukkan kepuasan telah mempermainkan gadis polos tersebut.
Belva ikut masuk, karena tangan Kai yang masih memegang lengannya. Dia dapat melihat, ada beberapa luka di lengan Kai, juga dibagian kakinya. Karena laki-laki itu hanya mengenakan kaos hitam lengan pendek, dan juga celana santai selutut.
"Kau benar-benar terluka!" Belva memperhatikan semua luka tersebut, tapi Kai sama sekali tidak terlihat kesakitan.
"Yah, dan kau memberiku alasan untuk tidak perlu pergi ke sekolah!"
"Jangan meledekku. Aku datang ke sini untuk itu. Maaf, kuharap teman-temanmu juga memaafkanku!" Belva tidak mampu menanggung banyak kebencian. Jadi sebelum terlambat, dia harus menyelesaikan masalah tersebut.
"Kau seharusnya membawa buah tangan saat berkunjung ke rumah orang!" tegur Kai, melirik sinis pada tangan kosong Belva.
Baru itulah Belva menyadari, kalau dia sebenarnya terlalu terburu-buru. Merasa sangat malu, dia hanya bisa meminta maaf lagi dengan pandangan tertunduk.
"Duduklah!" pinta Kai yang akan meninggalkannya ke pantry.
Pantry dan living room tidak terpisah sekat. Jadi keduanya masih bisa saling melihat meskipun jauh.
Ternyata Kai mengambilkan Belva minum air putih. Dengan tanpa malu, Belva langsung meminumnya sampai habis. Jujur saja, dia memang sangat kehausan.
Kai sendiri mengernyitkan keningnya melihat cara Belva minum. Saat mata mereka saling bertemu, gadis itu tersenyum padanya.
"Apa kau jalan kaki?" Kai memperhatikan kulit Belva, jika kulitnya memerah, artinya benar jalan kaki.
"Aku naik taksi. Jika tidak, mana mungkin aku bisa menemukan alamatmu!" Belva memperingatkan sekeliling apartemen Kai, sangat bersih. Karena minim perabotan.
"Kau tinggal sendirian?"
"Hmm!" jawab Kai yang sedang menyalakan televisi.
"Lalu siapa yang membantumu mengobati luka-luka itu. Apalah sudah diobati? Apa kau mau aku membantumu?" Belva berbinar, setidaknya ada yang bisa dilakukannya.
"Kau mencoba membalas pertolonganku?" Kai bertanya dengan lirikan malas.
Belva mengangguk, dia kemudian menatap wajah Kai. Bibirnya akan bicara, tapi sangat sulit. Dan Kai melihatnya.
"Ambilah obatnya di dalam kamarku! Cari di laci dekat tempat tidur!" ujar Kai mengakhiri kebingungan Belva. Gadis itu langsung pergi mencarinya.
Karena apartemen Kai hanya memiliki satu kamar, maka tidak sulit untuknya menemukan keberadaan kamar Kai.
Ada tulisan tergantung di pintu tersebut.
"Dilarang masuk, kecuali aku!"
"Aku tidak boleh masuk?" teriak Belva yang takut kalau dimarah.
"Kan aku yang menyuruhmu!" Kai tidah mengerti lagi, gadis itu agak bodoh. Atau memang dia takut. Entahlah, tapi dia senang melihatnya disini.