Tujuh

1031 Kata
"Ayo, makan." "I-aaan!" pekikku sambil serta-merta melangkah mundur. d**a bergemuruh. Jantung berdentam-dentam. Tadi, wajah kami begitu dekat. Di depan pintu, Ian tersenyum lebar. Wajahnya terlihat lelah, nampak kurang tidur. "Yuk, makan. Lapeer, kan? Iya, kaan?" Aku mendelik. Ian kembali menyungging senyum. Seperti biasa terlihat manis. Sandal yang ia tenteng di tangan kiri dijatuhkan, lalu memakainya. Aku menatap sebal. Penipu! "Ayo." Ian melangkah mendahului. Aku mengikuti. Di meja, telah tersaji aneka makanan. Ian menggeser kursi, segera duduk. Aku menyusul. "Ini semua kamu yang masak?" Aku menatap meja dengan takjub. Ada ayam goreng, sop, tempe goreng tepung, tumis kangkung, juga sambal teri. Dua gelas besar berisi s**u, masing-masing di hadapanku dan Ian. "Kalau ada setan baik hati, aku lebih memilih setan yang kerjakan," sahutnya cuek sambil menyendok nasi, mengguyurnya dengan kuah sop, mengambil ayam goreng, lalu menyuap perlahan. "Kenapa nggak cari pembantu?" tanyaku sambil menggigit pelan ayam goreng. Enak. Pintar juga Ian masak. "Aku lebih suka tinggal sendiri. Gak nyaman dengan orang asing." “Memangnya ... kamu nggak punya keluarga? Kenapa nggak tinggal dengan keluargamu?” Aku memandangnya penasaran. “Punya. Kan udah kubilang kita satu desa. Aku kan kerja di sini, Can.” Ian balas memandangku. "Aku membuat kamu nggak nyaman, ya? Ma-af." Entah mengapa, perasaan mendadak begitu sedih. Ian tersenyum kecil, tangannya mencomot ayam goreng. "Mulanya gak nyaman. Tapi, sekarang udah mulai terbiasa." Lirihnya, kembali makan. Hening. Perasaanku amat tak nyaman. Ian berdeham kecil, berpangku tangan, menatapku lekat. Kenapa sih, dia? Membuatku semakin salah tingkah saja. "Tentang tadi malam ... tolong jangan berprasangka buruk padaku ...." Aku tersedak, buru-buru meraih gelas dan menandaskan isinya. Kenapa membahasnya, sih?! Menyebalkan. Susah payah aku berusaha bersikap normal. "Kamu masih berprasangka buruk padaku?" Tatapan Ian terus lekat ke mataku. Wajah terasa memanas. "Aku udah lupakan yang semalam. Aku anggap kamu batu!" "Baguslah. Selesaikan makannya." Ian beranjak bangun. Baru saja berdiri, tubuhnya sedikit terhuyung. "Kamu nggak papa?" "Hanya sedikit lelah." Ian kembali berjalan. Tapi, tubuhnya kembali oleng. Lekas aku mendekat. "Kamu beneran nggak papa?" Aku memperhatikannya. Wajahnya pucat, bibir juga. Ragu, kuraih tangannya lalu melingkarkan ke leherku. Semoga gak dosa, kan, kepepet. "Kalau sakit, lebih baik nggak ke rumah sakit. Kubantu ke kamar, ya?" Ian mengangguk. Aku segera memapahnya. Tiba di ambang pintu, ia berhenti. "Sampai sini aja." Aku menatapnya ragu. Ian terlihat begitu lemah. "Aku bisa sendiri." Aku akhirnya membalikkan badan, tapi baru saja hendak berbalik, Ian memanggil. "Can, nanti siang, makan di luar aja, ya? Aku agak kurang sehat, gak bisa masak." Teringat kejadian semalam, tubuh seketika bergidik. Bagaimana kalau perut kembali sakit dan tak sadar lagi? Lalu ... Kubayangkan Ian menanggalkan satu demi satu pakaian yang melekat di tubuh ini. Iiih, amit-amit. Jangan sampai terulang lagi. "Can ...." Ian menatap dengan alis terangkat. Aku tergagap. "Biar aku aja yang masak." Tatapannya langsung tertuju ke tangan kiriku. Aku mengayunkannya perlahan. "Udah nggak sakit, kok." "Bener udah gak sakit? Aku ragu." Ian terus menatap tanganku. Warna perban tak lagi putih bersih. Sudah agak kecokelatan di sana-sini. "Beneran, aku udah sembuh." Aku mencoba meyakinkannya dengan menggerak-gerakkan tangan kiri dengan lincah, sambil berusaha menahan sakit. Ian mengangguk kecil. "Baiklah. Tapi karena aku ragu, jadi buatkan makan siang yang sederhana aja. Nasi goreng sama telur mata sapi." Aku mengangguk pelan. Nasi goreng, oke. Tapi kalau telur mata sapi, bagaimana cara membuatnya, ya? Kenapa tidak minta telur ceplok saja yang mudah? "Persediaan telur habis. Kamu beli di pasar bisa, kan?" Aku menatapnya semringah. Ian segera memberikan selembar seratus ribu-an. "Nasi gorengnya jangan terlalu pedas, telur mata sapinya setengah matang aja." Aku segera melangkah cepat menuju ruangan ajaib. Begitu sampai, bingung sendiri karena tak tahu cara menggunakannya. Aku berdiri lama memerhatikan tombol. Yang mana, ya, yang ditekan? "Sudah kuduga, kamu gak bisa menggunakannya. Begini cara menggunakan lift, tekan ini, lalu tekan ini." Ian melangkah masuk. “Bagaimana? Coba ulang.” Aku menatapnya. “Tekan ini.” "Mau kuantar ke kamar lagi nggak?" Karena Ian tak menjawab, maka kutekan tombol. Begitu sampai di bawah langsung melangkah cepat menuju pasar yang ternyata hanya di belakang apartemen. Sekitar lima menit. Ini pengalaman belanja yang pertama. Dengan perasaan senang, kaki terus melangkah mantap. Ramai sekali. Di pinggir jalan terhampar banyak aneka sayuran yang hanya dibentangkan di terpal atau karung, beberapa penjual terlihat sibuk melayani. Aku menuju penjual daging, menatap kepala sapi yang diletakkan di atas meja. Di atasnya, gumpalan daging merah segar digantung-gantungkan. "Mata sapi, sepasangnya berapa?" "Mata sapinya aja?" Si penjual menatapku dengan alis nyaris bertaut. Apa terlalu sedikit belinya? "Iya, hanya butuh mata sapinya aja." Setelah mendapat sepasang mata sapi dan telur sekilo, aku lekas pulang, sibuk di dapur. Untung dulu pernah memerhatikan bibi masak, jadi kalau hanya menyalakan kompor gas mah, ke-ciiil. Aku mengambil nasi dari mejikom. Cara membuat nasi goreng bagaimana, ya? Apa nasinya langsung digoreng saja? Setelah kuingat-ingat, bibi kalau membuat nasi goreng selalu berwarna hitam. Pasti diberi kecap. Untunglah, semua bahan tersedia satu tempat dengan cabai, bawang merah dan bawang putih. Segera kuiris semua bahan, mengaduknya jadi satu dengan nasi, kecap dan penyedap, lalu menuang minyak cukup banyak ke penggorengan. Masukkan. Sambil menunggu nasi matang, kupecah telur. Beri satu bungkus penyedap. Begini mah, berees. Tapi, tunggu dulu. Mata sapinya digoreng dulu atau langsung dicampur dengan telur? Aku menimbang-nimbang. Lebih baik di goreng saja, disajikan sebagai hiasan. Aku segera mematikan kompor saat menatap ke arah wajan. Minyak kehitaman, dan nasi agak lengket saat diaduk. Langsung kupindah ke dua piring, kemudian memasukkan telur. Warna telurnya jadi hitam. Tapi tak apalah. Yang penting, kan, rasanya enak. Setengah jam kemudian, hidangan telah tersaji manis di atas meja. Dapur sudah rapi. Lantai bersih mengkilap. Walau pertama kali melakukan pekerjaan ini aku begitu kaku, tangan kiri agak sakit, tapi kerjaan menyapu dan mengepel akhirnya beres. Tinggal menunggu Ian keluar lalu makan siang. "Sudah matang?" Ian bertanya sambil berjalan mendekat. Aku mengangguk, menunggunya duduk. "Kamu udah merasa enakan?" Aku memandangnya, wajah Ian tak sepucat tadi. "Agak mendingan, udah minum obat," sahutnya sambil duduk. Ia memerhatikan piring di hadapannya cukup lama. Aku memandang Ian. Apa ada yang salah? Apa caraku menghias keliru? Nasi goreng kecap dengan telur di atasnya, dan dua mata sapi yang terlihat melotot di tengah. "Ini apa?" "Nasi goreng dan telur mata sapi." "Ini?" Tangannya menunjuk mata sapi. "Mata sapi. Masa kamu lupa minta dibuatkan telur mata sapi?" Aku memandangnya tak mengerti. Ian tersenyum, sesaat kemudian tertawa terpingkal-pingkal. "Kenapa? Ada yang aneh?" "Gaaak," Ian menyahut sambil setengah tertawa. Lalu mulai menyuap. Mengernyit. Dan menyuap lagi. Pelan, kusendok nasi. Kok, rasanya aneh begini, sih. Nasinya manis-manis pahit, sementara telurnya sangat asin. Tapi karena Ian terus mengunyah, akhirnya kupaksa juga mulut menelan semua makanan aneh ini. Mungkin, lidahku saja yang salah. #Jangan lupa ❤️ jika cerita ini membuatmu terhibur
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN