Enam

538 Kata
Sebentar tubuhku berguling ke kanan, sesaat kemudian ke kiri. Bantal kudekap erat di d**a. Mata terus kukatup-katupkan, namun tak juga mau terlelap. Pikiran terus bergerilya ke mana-mana. Apa Ian sungguh tak berbuat sesuatu yang aneh? Menatap lekat atau menyentuh, misalnya? d**a bergemuruh saat membayangkan kemungkinannya. Rasa malu dan jengkel menerjang benak. Tak sanggup rasanya, bertemu Ian lagi. Pasti akan sangat malu. Aku menggeliat malas saat mendengar bunyi ketukan. Suara Ian terdengar jelas. "Udah bangun belum? Ikut ke pasar nggak?" "Nggak mauuu," sahutku sambil menatap jam dinding. Pukul 4 dinihari. "Beneran nggak mau ikut? Kamu bisa makan gulai atau pecel di sana. Jam sembilanan udah bubar pasarnya. Beneran nggak mau ikut?" Sebenarnya ingin, tapi malu. Nanti bagaimana kalau ia senyum-senyum menggodaku? Aku tak yakin, Ian benar-benar menutup muka saat menanggalkan pakaianku. Aku menggeleng ragu. "Ya udah, aku keluar dulu. Jangan masuk ke kamarku." Apa sih dia, menyebalkan. Siapa juga yang mau masuk? Aku menarik selimut, merapatkan mata. Tetap saja tak mau terpejam. Azan subuh akhirnya berkumandang, mengalun indah membelah sunyi. Aku beranjak ke kamar mandi, mengambil wudu, shalat, kemudian berdoa sambil terisak. Kejadian demi kejadian yang menggiringku terdampar di sini, berkelindan di kepala, berganti-ganti bagai film yang diputar ulang: saat menghunuskan pisau ke tangan, berjalan  beriringan dengan Mas Aswin dikeremangan cahaya rembulan, dan tahu-tahu, terbangun di apartemen lelaki asing. Apa semua ini masuk akal? Pergi dengan siapa, tinggal dengan siapa. Tangan terus menadah, memohon ampunan-Nya. Sesekali mengusap air mata, tersengal saat ingat wajah teduh umi, juga tatapan abah saat murka. Wahai Allah, tunjukkan jalan terbaik. Bawa mas Aswin kemari. Selalu lindungilah abah dan umi. Usai shalat, kembali tubuh merebah. Mencoba melemaskan badan, untuk kemudian terlelap dalam damai, namun, tak bisa. Bayangan semalam, saat terbangun hanya mengenakan celana dan kaos dalam, sangat sulit dimusnahkan. Memori itu bagai air terjun yang menghantam deras bebatuan. Bergemericik. Ah, andai saja tak terbujuk ucapan Ian, andai  terus mendengar wasiat umi agar tak makan sembarangan, pasti ... Aku menarik napas. Sebal bercampur sesal. "Cantik, udah bangun belum? Udah shalat? Emmp ... makan dulu, yuk?" Tok tok tok. "Can? Cantik, kamu nggak kenapa-napa, kan? Can. Can. Cantik." Aku mendengus. Can Can Can! Memanggil orang semaunya saja. Hanya Mas Aswin yang boleh memanggil begitu. Sudahlah, lebih baik cueki saja. "Tubuhmu nggak menggigil, lagi, kan?" Cueki saja. "Jawab, kalau nggak aku dobrak." "Udah bangun dari tadi. Udah shalat juga. Aku nggak lapaar. Nggak mau keluar." Padahal, sebetulnya perut bergemeruyuk. Seperti ada yang menggeliat minta jatah. Kemarin sore, hanya makan keripik kentang dan kerang, sama sekali tak bisa mengganjal perut. Tapi keluar lalu makan berhadapan dengan Ian ... Aku menggeleng. Sama sekali bukan pilihan. Aku menatap jam. Pukul 7. "Yakin gak laper?" "Yakin!" "Aku beneran nggak ngapa-ngapain semalem. Ngeliat aja enggaak. Kalau tau kamu bakal ngambek begini, mending aku ngeliat sekalian, yaa. Duuh, jadi nyesel." Tanganku terkepal. Wajah menghangat. Malu sekali mendengarnya. Bisa-bisanya ia malah menggodaku. "Ii-aaan!" "Ya udah kalau emang nggak laper, aku makan duluan, yaa? Aku harus kerja. Sebentar lagi, pasienku berdatangan." Nah, itu yang kuharapkan. Tak lama, terdengar suara sandal yang diseret menjauh. Sebentar-sebentar aku menatap jarum jam. Pukul 7 lewat. Lewat sepuluh menit. Dua puluh menit. Senyum terkembang. Saatnya makan. Ian masak apa, ya, hari ini? Aku beranjak menuju pintu, membukanya perlahan, lalu melongok keluar. "Ayo, makan." "I-aaan!" pekikku sambil serta merta melangkah mundur. d**a bergemuruh. Jantung berdentam-dentam. Tadi, wajah kami begitu dekat. #Jangan lupa tap ❤️ ya, Teman. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN