Sudah hampir satu minggu Rimpu tinggal bersama Unyis Rida dan menjadi peliharaan dari Ahmad Rida. Rimpu pun sekarang memanggil Unyis X, Ibu.
Pada suatu pagi yang dingin, Rimpu tersadar ... bangun di sebuah tempat yang nyaman dan hangat. Dinding-dindingnya dari papan-papan kayu yang tersusun berwarna kecoklatan, tanda bahwa ruangan itu berusia tua dan belum pernah direnovasi. Ruangan tersebut adalah loteng rumah Rida, tempat dari Unyis biasa tidur dan sekarang Rimpu pun selalu tidur disini bersamanya.
Rimpu melihat Unyis X masih terlelap tidur melingkar diatas sebuah bangku kayu di pojok sudut ruangan loteng. "Jadi, ini bukan mimpi! Aku benar-benar tinggal disini, bersama Unyis Rida!" gumamnya senang.
"Ada apa Rim?! Apa kau sudah lapar?" tanya Unyis X, mata sebelah kirinya terbuka. Unyis X telah bangun.
"Ah, jadi ibu juga sudah bangun? Tidak, aku belum terlalu lapar ibu."
"Tumben kau bangun jam segini. Ini masih pagi dan tuan Rida juga belum bangun. Biasanya sebentar lagi juga dia akan bangun untuk melaksanakan ibadahnya kepada Tuhan."
"Apa ibu masih merindukan anak-anak ibu dahulu?" tanya Rimpu sembari ia m******t tangan kiri dan kanannya lalu mencuci mukanya dengan itu.
"Kamu lah sekarang anak ibu! Masalah seperti kehilangan anak merupakan masalah biasa bagi kucing betina." Jawab Unyis X yang masih tidur melingkar.
Rimpu celingukan, matanya menatap ke arah langit-langit atap dan dinding ruangan loteng. Rimpu memutar kepalanya sampai pandangannya terhenti pada pintu menuju teras yang masih tertutup. "Ah, sebenarnya aku ingin sekali keluar teras." Gumamnya.
"Sabarlah, nanti juga akan dibuka oleh tuan Rida." Sahut Unyis X.
Selang sekitar tiga puluh menit kemudian, Rida naik ke loteng. Dia telah memakai sarung dan kopiah putihnya sambil menenteng sebuah sajadah. "Tuan Rida!" Sambut Rimpu yang sedari tadi asyik memandikan diri dengan enzim lidahnya. Rimpu senang melihat tuannya itu.
Rida kemudian menghamparkan sajadahnya dan bersiap melakukan aktifitas sholat subuh seperti yang biasa ia lakukan . Tiba-tiba Rimpu datang menghampiri, menginjak-injak sajadah dan menyeruduk kaki Rida dengan kepalanya.
"Rimpu—jangan dulu!" tegur Rida tersenyum sembari ia halau Rimpu keluar dari sajadah itu dengan perlahan. Rida pun memulai ibadah sholat subuhnya. Rimpu heran, bertanya-tanya apa yang sedang tuannya itu lakukan. Ini pertama kalinya Rimpu melihat Rida ibadah subuh. Biasanya Rimpu masih terlelap di jam-jam seperti ini. Rimpu berkali-kali menuju sajadah dan kembali menyeruduk kaki dan sarung Rida. Rida lalu rukuk dan bersiap untuk sujud sambil tangannya menghalau dengan hati-hati tubuh Rimpu yang tepat berada dihadapannya dan mengganggunya untuk bisa sujud. Rimpu benar-benar merepotkan Rida kali ini.
Rimpu masih terheran-heran sambil menatap apa yang sedang dilakukan ownernya tersebut. Kenapa tuan Rida amat sangat fokus dan tidak mempedulikan sekitarnya? Rimpu bertanya-tanya dalam benaknya. Tidak berselang lama ia melihat ownernya itu kembali berdiri dan Rimpu lagi-lagi kembali menyeruduk kaki Rida. Dia sangat ingin dielus dan bermain dengan majikannya.
Saat Rida mau sujud, dia kembali menghalau Rimpu pelan dan kemudian bersimpuh. Rimpu melihat Rida bersimpuh lama lantas kemudian menghampiri Rida dan naik kepangkuannya. Ia malah duduk santai di pangkuan Rida yang sedang dalam pose Tahiyyat Akhir sholatnya.
Telunjuk tangan kanan Rida lalu mengacung. Rimpu melihat itu, refleks bersegera untuk menggapainya dengan cakarnya namun secara pelan. Ia kemudian melumat telunjuk Rida dan mengunyahnya namun tidak sampai menyakitinya. Maklum saja kucing muda seusia Rimpu memang menjadi manja dan agak liar saat jam-jam pagi. Liar dan hiperaktif layaknya seorang anak manusia ketika diberi makan glukosa atau gula.
Rida kemudian memberi salam dan mengusap wajahnya tanda bahwa ia telah selesai melakukan sholat subuh. "Hmm ... kau ini! Nakal sekali." Kata Rida sambil mengelus kepala Rimpu yang masih nyaman duduk di pangkuan Rida.
"Baiklah! Permisi sebentar ...." kata Rida sambil perlahan berdiri tetapi secara pelan sampai Rimpu mau beralih dan turun dari pangkuannya. Dia sudah setengah berdiri.
"Ayolah Rimpu ... turunlah!" pinta Rida yang belum bisa berdiri dan beranjak sembari tersenyum lalu sedikit tertawa melihat tingkah kucing kecilnya.
"Turunlah nak!" perintah Unyis X agak tegas menegur lewat telepatinya.
"Baiklah ... maafkan aku ibunda." Gumam Rimpu sambil turun dari pangkuan Rida.
"Tunggu ya ... Unyis, Rimpu...! Aku mau mandi dulu, tapi nanti sebelum berangkat kuliah akan kusiapkan makanan untuk kalian." Kata Rida sambil membawa sajadahnya kembali turun kebawah menuruni tangga.
"Rim!" panggil Unyis X yang kemudian berdiri dan menggeliat, melonggarkan otot-otot tubuhnya sambil menguap. "Kau tidak boleh begitu lagi. Itu mengganggu tuan Rida dalam ibadahnya." Tegur Unyis X dengan tegas memberi pengertian.
"Maafkan aku ibu. Aku tidak tahan ingin segera main dengannya tadi." Sahut Rimpu nampak menyesal. "Lihat! Pintunya sudah terbuka." Rimpu tidak menyadari bahwa pintu menuju teras loteng telah terbuka. "Kapan tuan Rida membukanya? Aku tidak menyadarinya." Rimpu langsung berjalan keluar menuju teras sambil merenggangkan seluruh tubuhnya, mencondongkan kedua tangan dan kepalanya kedepan.
"Pagi yang dingin!" ucap Rimpu sembari mulutnya terus menguap.
"Lihatlah pemandangan indah Batu Kunawa di pagi hari." Kata Unyis X keluar sembari menguap lalu naik ke tepi pembatas teras dari kayu yang mengelilingi teras loteng tersebut.
Rimpu mengikutinya dengan ikut naik ke atas pembatas teras. Loteng rumah Rida dikelilingi oleh atap-atap seng rumah warga. Tepat di depan dan di bawah dari teras rumah Rida adalah atap rumah dari tetangganya. Jadi teras loteng Rida bukanlah tempat yang berbahaya bagi kucing seperti Rimpu yang masih kecil.
"Tempat ini sangat indah Ibunda!" gumam Rimpu menatap nanar ke arah pemandangan luas kampung Batu Kunawa yang terdiri dari bentangan susunan atap-atap genteng rumah warga.
Rimpu melihat bahwa kampung ini di batasi oleh sebuah tembok besar yang memanjang membatasi bagian selatan dari Batu Kunawa. Tembok itu membagi wilayah kampung Batu Kunawa dengan kawasan lahan kosong serta belantara pepohonan yang sangat luas dengan sebuah pohon rambai raksasa menjulang tinggi di sebelah baratnya. Setidaknya bagi manusia pun pohon rambai itu memang berukuran besar dan sangat tinggi.
Kawasan rerumputan yang luas atau belantara hutan di balik tembok besar itu merupakan lahan milik sebuah rumah sakit swasta SWAKA INTAN yang berada tepat di belakang tembok dekat g**g Tujuh. Tembok tersebut melingkar sepanjang g**g Tujuh sampai ke g**g Delapan dan g**g Sembilan dimana ketiga g**g ini memang berada di bagian selatan kampung Batu Kunawa dan berbatasan langsung dengan lahan milik RS. SWAKA INTAN tersebut.
"Dibalik tembok itu ... ada tempat berumput dan padang semak belukar yang sangat luas ya ibu." Kata Rimpu.
"Benar nak! Dibalik Padang rerumputan yang luas tersebut ada kampung Swaka Permai dan Pasar Jumput."
Derak langkah bunyi atap seng yang terinjak menyeruak. Ada seekor kucing yang sedang berjalan. Setelah dilihat rupanya dia adalah Igus. "Hey nak, senang melihatmu diatas sana." Sapa Igus. "Lama tak melihatmu beberapa hari ini."
"Hey! Ternyata kau paman Igus. Panggil aku Rimpu sekarang!" kata Rimpu tersenyum balik menyapa Igus.
"Wah, wah. Kudengar kau dipelihara oleh tuan Rida? Selamat ya, Rimpu! Kau kucing yang sangat beruntung!" Igus nampak ikut senang.
"Bagaimana situasi tadi malam?" tanya Unyis X kepada Igus.
"Pagi nyonya Unyis." Jawab Igus. "Ya, seperti itulah! Sedikit tikus, namun dengan banyak mulut kucing yang lapar. Para tikus benar-benar hampir punah sepertinya." Igus menguap, dia baru saja datang dari begadang semalaman mencari tikus. "Musim ini krisis makanan untuk kami." Lanjut Igus yang adalah seekor kucing pemburu.
"Apa tidak ada satupun tikus yang kau dan Arnot dapatkan?" tanya Unyis X lagi.
Arnot juga merupakan kucing pemburu yang sering menjadi teman Igus berburu tikus di malam hari. Mereka berdua telah lama beraliansi menjadi duo kucing hunter yang berburu makanan terutama tikus di malam hari.
"Hampir tidak ada nyonya Unyis!" jawab Igus singkat. "Sangat disayangkan di Batu Kunawa tidak ada pasar seperti di kampung sebelah, Swaka Permai."
Para kucing di kampung ini mulai kompetitif dalam berebut wilayah kekuasaan demi makanan dan tidak banyak kesempatan bagi garong lemah atau kucing pemburu seperti Igus dan Arnot yang tidak senang berkelahi atau bukan kucing tipe petarung. Apalagi Arnot, tipe kucing liar yang jika didekati manusia pun dia akan takut dan biasanya selalu lari menghindar.
"Kucing-kucing seperti kami akan sangat kesulitan mendapatkan sumber makanan kalau terus seperti ini. Kami tidak mungkin berpikir untuk mulai mengembangkan wilayah teritori kami sendiri." Kata Igus sembari berbaring santai diatas atap.
"Kenapa begitu paman?" tanya Rimpu.
"Rim! Kau pasti masih ingat perkataan ibu tempo hari tentang kucing yang enggan bertarung dan lebih baik menghindari pertikaian? Igus adalah salah satu tipe kucing seperti itu." Jawab Unyis X.
"Aku dan Arnot adalah beberapa kucing disini yang tidak senang berkonflik dengan kucing lain, Rimpu." Sahut Igus. "Lagipula kami menyadari peluang menang kami sangat kecil. Itu karena meongan kami sedari kecil tidak terasah dengan baik dan berkualitas rendah. Hah ... akan sangat merepotkan bertarung, lebih baik menghindarinya, iya kan?"
Bukankah kucing semacam ini adalah kucing bermental lemah? Dan jelas saja ... paman ini akhirnya kesulitan mendapatkan makanan, pikir Rimpu dalam benaknya. Rimpu memang tidak terlalu mengerti dan tidak menyukai pola pikir kenapa seekor kucing harus begitu pengecut seperti itu.
Igus lantas mencoba beranjak dari sana dan pamit pada Unyis X dan Rimpu. "Aku akan coba mencari tikus lagi. Ini masih subuh kan dan malam belum resmi berakhir." Celetuk Igus seraya tertawa. "Kali saja aku bisa menemukan satu."
"Semoga beruntung paman!" kata Rimpu memberi semangat dan melihat Igus berjalan, melompat diantara atap-atap rumah untuk kembali berkeliling mencari makanan.
"Hal seperti itu memang tidak bisa dihindari." Gumam Unyis X nampak prihatin.
"Itu karena mereka lemah dan tidak ingin menjadi kuat. Iya kan, ibu?" sahut Rimpu.
Unyis X seketika menatap Rimpu setelah dia mengucapkan itu. Sepertinya Unyis X tidak terlalu senang dengan ucapan Rimpu barusan. Ia langsung menyadari bahwa kucing muda ini masih terlalu naif dalam memandang dunianya.
"Bagaimana kau memandang dunia kita ini, Rimpu?!" tanya Unyis X.
"Emm... Bagiku, di dunia ini ... kita harus menjadi kuat ibu! Dunia kita para kucing adalah dunia yang keras. Sejauh ini, itu yang kurasakan."
"Kau tidak salah jika memandangnya begitu nak."
"Aku mungkin masih baru beberapa bulan terlahir ke dunia ini, tapi menurutku ibu ... di dunia kita ini tidak ada tempat bagi kelemahan, setidaknya itu yang bisa kupahami." Kata Rimpu seraya turun dari pembatas teras menuju atap rumah di depannya. Rimpu perlahan mencoba naik sampai ke ujung atap dari rumah tetangga yang ada di depannya. Suara pijakan dari atap seng yang diinjaknya menyeruak terdengar membelah cakrawala pagi.
Rimpu lalu sampai pada bagian teratas dari atap tersebut. Rimpu kemudian menoleh dan memandang balik. Loteng rumah Rida dan terasnya tepat berada di depannya. Unyis X masih duduk berdiri disana, di tepi pembatas teras loteng Rida.
"Lihatlah Ibunda Unyis!!!" teriak Rimpu sembari tersenyum karena baru saja berhasil naik ke bagian paling atas dari atap rumah tetangga.
"Apa yang akan kau lakukan terhadap dunia kita ini, Rimpu?!" tanya Unyis X kembali.
"Tentu saja aku ingin dunia kucing yang damai! Dunia yang penuh dengan kenyamanan dan kepenuhan makanan ibu. Aku ingin menjadi kuat untuk dapat mewujudkan itu semua setidaknya untuk diriku sendiri, dan bagi kucing-kucing lain kalau bisa."
Ketika itu, Unyis X langsung tersadar bahwa Rimpu memiliki prinsip hidup dan ideologi yang sangat naif walaupun hatinya sangat baik sebagai seekor kucing. Dia memahami bahwa bagi Rimpu ternyata kekuatan dan superioritas adalah segalanya.
"Apa kau sangat ingin menjadi kuat, Rim?"
"Tentu ibunda! Aku tidak ingin menjadi seperti paman Igus atau kucing lemah macam itu. Rasakanlah hawa para Unyis Rida disini." Kata Rimpu, sembari menatap atap rumah Rida yang terlihat jelas dari atap tempat Rimpu berada. "Mereka menjadi kuat, disegani dan mampu merubah segalanya bahkan dunia mereka."
"Kau salah! Sangat amat salah." Gumam Unyis X.
"Ehh? Apa yang salah ibu?" tanya Rimpu bingung.
"Adakalanya kita tidak bisa mengubah dunia dan sistemnya semau kita, Rimpu. Bahkan untuk para Unyis Rida sekalipun. Mereka semua menyadari itu Rim, sedangkan kau belum menyadari hal paling penting itu." Jawab Unyis X.
"Apa maksud ibu?"
"Kau harus mampu melihat kenyataan bahwa kucing seperti Igus, Arnot dan banyak lagi yang seperti mereka disini, memiliki hak yang sama bahkan hak untuk mendapatkan makanan. Tidak peduli seberapa lemah atau seberapa kuatnya mereka." Terang Unyis X. "Sama seperti para Unyis di masa lalu. Mereka semua tidak mengukur segala sesuatunya dari ukuran dan kacamata kekuatan atau kemampuan." Unyis X turun dari teras loteng Rida dan berjalan menuju atap dimana Rimpu berada.
"Para Unyis Rida yang terkenal itu ... menyadari bagaimana dunia ini bekerja. Tidak ada yang mereka ubah! Bahkan jika mereka ingin—tidak ada yang bisa para Unyis itu ubah." Unyis X sudah hampir sampai mendekati Rimpu.
Rimpu terpaku mendengar apa yang coba disampaikan oleh ibunya itu sembari menatap Unyis X yang sedang menghampirinya.
"Kau harus menyadari ini, anakku!" kata Unyis X yang telah tepat berada di hadapan Rimpu. Unyis X mendekati Rimpu dan duduk tegak di sampingnya sambil menoleh menghadap loteng rumah Rida. "Mereka semua harus dan terpaksa mengikuti hukum dan sistem dari dunia ini. Dunia kita!" Unyis X coba memberikan pelajaran penting kepada Rimpu.
"Tidak ada yang bisa para Unyis Rida itu perbuat. Para Unyis di masa lalu pun tidak berniat mengubah dunia kita ini. Mereka hanya mencoba mengelola dan mengontrol sistem yang telah ada lalu berusaha agar tatanan tersebut tidak jatuh atau dikuasai oleh mereka-mereka yang jahat dan serakah. Hanya itu saja! Kau paham itu kan, Rim?"
Rimpu hanya mengangguk dan mulai memikirkan serta mencerna apa yang sedang disampaikan oleh Unyis X tersebut.
"Bahkan kelemahan pun merupakan sebuah kekuatan. Lemah dan takut juga termasuk kekuatan, bahkan kadang melebihi keberanian itu sendiri. Pahami itu, anakku."
"Aku tidak mengerti ibu, bagiku menjadi kucing yang mandiri dan kuat adalah keharusan. Aku ingin menjadi kucing yang hebat dan bisa saja suatu saat aku akan menjadi salah satu dari balam raja disini, seperti kata ibu." Sahut Rimpu optimis, dia tidak menyadari bahwa ia masih mempertahankan arogansinya itu dihadapan ibunya.
Unyis X hanya menatap Rimpu. "Andai saja kau tahu nak, bahwa kau ...." gumam Unyis X seperti ingin mengatakan sesuatu pada Rimpu tapi ia tahan karena tidak tega menyampaikannya.
Sebuah kenyataan pahit yang sebentar lagi akan Rimpu ketahui! Sebuah fakta yang akan mengandaskan mimpi Rimpu untuk menjadi seekor kucing yang kuat. Sebuah fakta bahwa ia tidak memiliki sesuatu yang para kucing lain miliki.
Sebuah Roar atau Meongan...!