30. Permainan Melinda

1095 Kata
"Tulip!" Melinda berdiri di belakang Tulip dengan sedikit luka lebam di dekat bibirnya. "Iya?" jawab Tulip menengok ke sumber suara. Ketika melihat luka itu, Tulip pun langsung menghampiri Melinda. "Kak Meli kenapa? Kenapa ada luka lagi?" Tulip khawatir melihat keadaan Melinda yang sepertinya semakin parah. "Aku udah percaya sama kamu, tapi kenapa balasan kamu kaya gini, Lip?" ujar Melinda seraya menitikkan air mata. Mendengar itu, Tulip langsung terbelalak, begitu juga ketiga sahabatnya. "Dia siapa sih?" bisik Juan di telinga Naya. "Gak tau juga, temen lama Tulip mungkin," tebak Naya. "Feeling-ku gak bagus kali ini," tambah Valent. Mereka bertiga masih berdiam di tempat, namun telinga ketiganya berusaha fokus agar bisa mendengar pembicaraan Tulip dan Melinda. "Ak–aku ngapain, Kak?" tanya Tulip tak mengerti. "Kenapa kamu sebarin rahasiaku ke orang-orang? Aku udah bilang, cuma kamu yang tau masalahku! Kenapa kamu kasih tau ke orang-orang?" Melinda mengucapkan semua itu dengan suara yang cukup keras, sehingga menyita perhatian banyak orang. "Kita ngobrol di tempat lain aja ya, Kak! Ini pasti ada salah paham." Suara Tulip mulai bergetar. Ia tidak bisa dibentak, apalagi ini di tempat umum. "GAK!" Bentakan Melinda semakin keras hingga membuat Tulip mundur selangkah dari posisi sebelumnya. "Maaf saya gak bermaksud campur, tapi tolong gak usah teriak-teriak!" ujar Naya yang kini sudah merangkul tangan Tulip. Ia tahu sahabatnya sedang ketakutan. "Kamu masih mau bela dia? Kenapa sih semua cuma berpihak sama orang kaya aja? Apa orang miskin selalu jadi korban? Kenapa gak ada hak untuk hidup tenang, kenapa?" Meski tak tahu di mana letak kesalahannya, tapi mentalnya sudah terserang. Tulip semakin gemetar, ia membeku. Orang-orang yang melihat ke arah mereka semakin banyak, termasuk anak-anak kelas Felix. "Saya bukan orang kaya, tapi saya tau Tulip bukan anak yang bermasalah!" tambah Valent. "Cih! Orang kaya selalu punya banyak pengikut, ya?" ejek Melinda. "Lip, ayo lawan kalo kamu gak salah!" bisik Naya. Tulip hanya mengangguk sembari mengatur napasnya. Sekuat mungkin ia menahan agar air matanya tidak menetes. Dengan suara yang masih bergetar, Tulip memberanikan diri untuk menjawab, "Maksud Kakak apa? Aku gak ngelakuin apa yang Kakak tuduh." "MANA ADA MALING NGAKU!" Nada bicara Melinda makin meninggi. Beruntung guru mereka sudah kembali ke kantor, kalau tidak mungkin mereka sudah diseret ke ruang BK. 'Ayo Tulip! Jangan lemah! Kamu gak salah!' batin Tulip menyemangati dirinya sendiri. "Coba... Kakak jelasin... apa masalahnya! Aku gak pernah sebarin apapun ke siapapun," ujar Tulip lagi. "Kamu liat luka lebam ini? Kamu pasti cerita ke Aaron ataupun Diaz, kan!" Tulip semakin tidak mengerti dengan yang Melinda tuduhkan. "Lapor? Ap–apa hubungannya lapor sama luka lebam?" "Masih pura-pura gak tau ya ternyata? Sini kamu!" Melinda menarik tangan Tulip dengan kasar lalu mendorongnya ke tanah. "Enak gak diperlakukan kasar?" tanya Melinda setelah Tulip sudah tersungkur di tanah. Tulip hanya bisa meringis. Ingatan masa lalunya kembali terputar. Jantungnya kembali sakit. "Stop! Kenapa jadi main kasar?" ujar Valent yang langsung berdiri di depan Melinda. Sedangkan Naya langsung menghampiri Tulip dan menguatkannya. "Jaga mulutmu, ya! Jangan mentang-mentang anak orang kaya terus kamu bisa bertindak seenaknya!" ujar Melinda pada Tulip yang kemudian pergi dari sana. Tulip masih terduduk dengan tangan yang dipegangi Naya. Pikirannya kacau, traumanya kembali muncul. Bahkan ini terasa lebih parah karena dilakukan di muka umum. "Lip! Tulip!" Panggilan Naya membuyarkan lamunannya. "Hng? Aku–aku gak apa-apa kok. Serius, aku gak apa-apa!" ujar Tulip dengan air matanya yang mengalir semakin deras. "Tulip, jangan bilang gitu!" ujar Naya seraya memeluknya. Dari kejauhan, Felix mengamati kejadian itu. Tidak sengaja ia melihatnya setelah kembali dari kamar mandi. Ia hanya melihat ketika Melinda mendorong Tulip ke tanah. 'Kenapa lagi anak itu? Kenapa bisa berurusan sama Melinda?' batin Felix. Ia ingin membantu, namun tak ingin berurusan dengan Aaron. Kasak-kusuk juga terdengar di sana-sini. Tentu mereka sedang membicarakan Tulip. Dugaan terkuat yaitu Melinda merupakan salah satu orang yang mengejar Diaz, maka kecemburuanlah penyebabnya. Namun jika dihubungkan dengan 'masalah yang Tulip bocorkan', berarti ada masalah baru lainnya. Yang terpenting di sini, nama Tulip sudah dicap sebagai anak yang bermasalah. Sementara itu, Diaz yang masih belajar di kelas merasa ponselnya terus bergetar di dalam sakunya. "Siapa sih yang nelpon? Matiin kek!" ujar Aaron di sebelahnya. Ia merasa terganggu mendengar suara getaran ponsel Diaz. "Gimana mau matiin? Ketauan pegang hape aja, hapenya bisa disita!" gerutu Diaz. Mereka sedang mengikuti mata pelajaran Bahasa Inggris, yang mana gurunya adalah Mr. Leon. Beliau terkenal dengan sebutan guru killer, bahkan lebih killer daripada guru matematika. Kembali pada Tulip dan teman-temannya. Mereka sudah membantu Tulip untuk bangun dan duduk kembali ke kursi. Valent juga memberikan air minumnya. Semua orang yang tadinya berkumpul juga kembali ke tempatnya semula setelah Melinda pergi dari sana. "Aku gak ada tisu, tapi ada sapu tangan. Ini belum kupake kok, masih bersih," ujar Juan seraya memberikan sapu tangannya pada Tulip. "Makasih banyak, ya!" jawab Tulip dengan sedikit isakan tangisnya yang masih tersisa dan menerima sapu tangan Juan. "Kamu ini magnet pada penjahat apa gimana sih? Kok banyak yang ganggu kamu kaya gitu?" tanya Juan lagi. "Hus! Jangan ngomong sembarangan!" hardik Naya. "Haha, aku juga gak tau," jawab Tulip sambil tertawa miris. "Padahal sumpah, aku gak pernah cerita apapun terkait masalah dia ke orang lain. Aku simpen semua sendiri," ujarnya lagi. "Udah, biarin aja. Dia pasti salah paham. Aku percaya kok kamu bukan orang yang kaya gitu," balas Naya dengan senyuman di ujung kalimatnya. *** Memasuki jam istirahat, Diaz langsung mengecek ponselnya. Saat itu pula ia langsung terkejut dan menepuk pundak Aaron. "Tulip kenal sama Melinda?" tanya Diaz. "Iya, mereka pernah chattingan. Kenapa?" jawab Aaron sembari membereskan buku dan alat tulisnya. Lalu Diaz menunjukkan pesan yang ia terima kepada Aaron. 'Yaz, bahaya!' 'Adikmu dilabrak Melinda.' 'Dia dibentak-bentak di lapangan utama.' 'Dia juga didorong sampe jatoh.' 'Woy, Yaz!' 'Bales kek!' 'Woy!' 'Melinda udah pergi.' 'Adikmu udah ditenangin temen-temennya.' "Kecolongan lagi, kan!" gerutu Aaron seraya berdiri hendak pergi ke kelas Tulip, namun Diaz menahannya. "Jangan sekarang!" "Jangan sekarang apanya? Dia pasti sekarang lagi nangis!" "Iya, aku tau, tapi kalo kamu kesana pasti bakal narik perhatian yang lain lagi. Dia udah aman sama temen-temennya." Aaron menghembuskan napasnya dengan kasar. Lagi-lagi ia kesal karena merasa gagal dalam menjaga Tulip. Bahkan ia tahu masalah ini dari Diaz. "Harusnya kamu kasih tau aku kalo dia berurusan sama Melinda. Dia itu bahaya," gumam Diaz. Kemudian di kelasnya, Tulip membuka riwayat chat dirinya dengan Melinda. Ia sedikit bingung ketika menyadari ada fakta yang tidak sesuai. Di chat, Melinda mengatakan kalau Diaz membencinya. Namun ketika mereka berada di taman, Melinda mengatakan sebaliknya. Sudah jelas di sini kalau ada niat yang kurang baik dibalik 'pertemanan' mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN