31. Masalah Pribadi Melinda

1378 Kata
Aaron dan Diaz sebenarnya sudah sangat geram, apalagi Melinda sudah main fisik. Tak hanya rasa malu, tapi juga rasa sakit yang Tulip terima. Ada beberapa alasan yang membuat Melinda banyak dijauhi teman-teman sebayanya. Salah satunya karena dia sangat mudah tersulut emosi tanpa memikirkan bahkan mencari tahu fakta yang sebenarnya. Berita adanya adik kelas yang menjadi sasaran Melinda kini sudah tersebar luas. Sejak jam pertama, Melinda tak ada di kelas. Sebagai ketua kelas, Shendy merasa bertanggung jawab atas kasus ini–lagi. Sebab, apabila kasus ini sampai ke guru, tamat sudah riwayat Melinda. Sekolah mereka melarang keras adanya perundungan. 'Di mana Melinda?' tanya Diaz pada Shendy melalui pesan singkat. 'Aku gak tau, dia gak ada di kelas dari pagi. Sekarang aku mau cari dia.' 'Kemana? Aku ikut.' 'Apa urusanmu?' 'Adikku korbannya.' Melihat balasan itu, Shendy langsung menelan salivanya. 'Adik, ya? Apa bener Diaz cuma anggep dia adik?' batin Shendy. Meski terkesan licik, namun sebenarnya Shendy itu baik. Dia adalah orang yang sangat bertanggung jawab. Dan yang pasti, ia menyukai Diaz–tanpa alasan tertentu. 'Aku mau cari dia ke taman belakang sekolah, biasanya dia di sana,' balas Shendy lagi. 'Memang kita boleh keluar?' 'Asal gak ketauan, bisa.' Akhirnya, mereka berdua pergi bersama ke belakang sekolah. Mereka hanya punya waktu 15 menit sampai jam istirahat berakhir. Dengan mata yang sangat waspada, Diaz berjalan sembari memperhatikan sekeliling. Berbeda dengan Shendy yang begitu santai seolah yang mereka lewati adalah jalanan umum. "Kamu sering lewat sini?" tanya Diaz. "Hm." Shendy sedang enggan untuk berkomunikasi dengan Diaz, sebab hatinya kini sedang cemburu. Diaz hanya mengangguk dan tak bertanya lebih jauh. Ia mengira kalau Shendy sedang marah pada Melinda yang terus berulah, bukan karena perilaku dirinya. Sampailah mereka di taman yang Shendy maksud. Taman yang sama tempat Tulip bolos ekskul waktu itu. "Di mana dia?" tanya Diaz lagi. "Di balik pohon besar itu, dia biasa duduk di sana," jawab Shendy. Kemudian ia bicara lagi, "Kalau boleh aku minta tolong, nanti kamu jangan ikut campur! Cukup liat dari jauh! Aku mau coba ngomong pelan-pelan sama dia." "Hm, oke." Diaz mengangguk dan memberikan jarak. Dia membiarkan Shendy berjalan lebih dulu. Benar, Melinda ada di sana. Itu berarti, tempat persembunyian Melinda ini bukan rahasia lagi–setidaknya untuk Shendy. Melinda terlihat sedang memandang ke arah depan sembari meremas sapu tangan. Shendy mendekat dan duduk di sebelahnya. Diaz berdiri di balik pohon agar tak terlihat oleh Melinda, namun dengan jarak yang cukup dekat agar ia bisa menguping pembicaraan keduanya. "Kamu kenapa lagi?" tanya Shendy langsung tanpa basa-basi. "Kenapa kamu masih terus ikut campur? Kenapa gak kamu biarin aja aku dikeluarin dari sekolah?" balas Melinda dengan pertanyaan juga. "Apa salah kalo aku peduli?" tanya Shendy lagi. "Kamu bukan peduli, kamu cuma berusaha untuk bertanggung jawab atas tugasmu. Kamu gak peduli sama aku, kamu cuma peduli sama jabatanmu sebagai ketua kelas." "Keliatannya begitu, ya? Kayanya di matamu semua orang juga begitu." Shendy terlihat begitu tenang, meskipun dalam batinnya ia sangat ingin mencekik Melinda karena terus membuat masalah. Melinda tak menjawab, namun kini ia berdiri dan mengambil sebuah daun kering yang baru saja jatuh. "Kenapa kamu sekarang cari masalah sama adik kelas? Kali ini tuduhan apa yang kamu buat ke dia?" Shendy bertanya lagi. "Tuduhan? Aku gak nuduh! Nyatanya begitu." "Nyatanya?" ulang Shendy. "Apa ada bukti?" Sebenarnya Shendy tak tahu apa masalah yang sudah terjadi, hanya saja ia sudah paham akan setiap masalah yang terus dibuat oleh Melinda. Tak ada jawaban lagi. Melinda memang begitu. Ia mudah marah, mudah tersinggung, mudah mengambil kesimpulan. Ketika amarah sudah puas ia lampiaskan, biasanya ia akan menangis sejadinya karena ia sadar keputusannya salah. Apakah ia akan minta maaf kepada korbannya? Tentu saja tidak. Ia justru akan menyendiri; memendam semuanya sendirian. Tak sampai di situ, setelahnya dia juga akan menganggap kalau korbannya akan sangat membencinya dan tidak akan memaafkannya. Itulah alasan mengapa dia tidak mencoba untuk meminta maaf. Apakah ia akan menyalahkan diri sendiri? Tidak! Dia justru akan memposisikan diri sebagai korban. Mereka yang 'membencinya' dianggap sebagai orang yang mengintimidasinya. Ia merasa semua orang menghakiminya, dan berakhir ia menjadi anak yang penyendiri. "Aku tau korbannya kali ini adalah adiknya Diaz. Apa kamu menjadikannya korban karena kamu cemburu?" Shendy sengaja menyeret nama Diaz. Tujuannya tak hanya untuk mengorek jawaban Melinda, tetapi juga untuk menyadarkan perilaku Diaz selama ini. Dia yang terlalu baik terhadap semua wanita sehingga membuat mereka salah paham. "Tulip adik Aaron, bukan Diaz! Dia memanfaatkan keadaan! Dia itu jahat! Dia punya segalanya dan dengan semua itu, dia juga mau merebut Diaz dari kita. Iya, kan?" ujar Melinda penuh kebencian. Diaz yang mendengar itu hampir saja keluar karena tak terima Tulip dinilai seperti itu. Belum sempat Diaz keluar dari tempat persembunyiannya, Shendy sudah lebih dulu memberikan kode untuk sabar sebentar. "Memang selama ini ada yang memiliki Diaz?" tanya Shendy lagi. "Iya itu maksudku! Selama ini gak ada yang memiliki Diaz, Diaz milik kita bersama. Tapi liat, setelah anak itu masuk sekolah ini? Dia memonopoli Diaz! Apa kamu gak sadar itu?" tandas Melinda, Shendy hanya menggeleng. 'Milik bersama katanya? Memangnya aku ini barang?' batin Diaz geram. "Aku gak akan berhenti bikin dia malu di muka umum, sampe dia mau jauhin Diaz!" Ucapan itu membuat Diaz tak bisa lagi menahan amarahnya dan langsung keluar dari tempat persembunyiannya. "Ulangi sekali lagi ucapanmu, Melinda!" tantang Diaz. Melinda langsung tersentak, bahkan hampir terjatuh. "Kamu… kok di sini?" tanya Melinda gugup. "Kamu sengaja jebak aku, ya?" tuduhnya pada Shendy. "Jangan kebiasaan untuk nuduh orang lain! Kamu harusnya sadar, kamu bisa sekolah dengan tenang itu karena siapa? Kalo bukan karena Shendy, kamu udah dikeluarin dari sekolah!" Diaz tak mampu lagi menahan amarahnya. "Diaz, kamu salah paham! Aku… Tulip itu… dia udah sebarin masalahku! Dia… dia bikin aku kaya gini! Liat, kan? Liat?" Ia menunjuk luka lebam di sudut bibirnya. "Luka ini karena dia! Dia yang buat aku jadi kaya gini!" Diaz tak menghiraukan pembelaan Melinda, ia terus berjalan mendekat dengan ekspresi wajah yang penuh dengan amarah. Shendy yang sejak tadi berusaha tenang di tempat duduknya, kini ikut berdiri dan berusaha untuk menahan Diaz. "Yaz, tahan! Jangan sampe kamu lost control!" ujar Shendy di belakang Diaz. Diaz pun menghentikan langkahnya dan menarik napas panjang. "Apa hubungannya Tulip sama luka itu? Tulip itu kecil, gak mungkin dia bisa bikin luka orang lain. Apalagi luka fisik!" ujar Diaz. "Ini karena dia! Memang bukan lewat tangannya, tapi lewat–" Melinda tak melanjutkan ucapannya, ia tampak kebingungan mencari alasan. "Lewat apa? JAWAB!" Tak hanya Melinda, Shendy ikut terkejut mendengar bentakan Diaz. Baru kali ini ia terlihat sangat marah. "Shendy, kamu percaya sama aku, kan? Aku gak salah! Tulip yang salah! Dia sebarin ke orang-orang kalo aku– mm… pamanku… dia yang nyiksa aku selama ini. Tulip sebarin ke semua orang dan itu buat pamanku dipecat lagi dari tempatnya kerja. Ini semua karena Tulip! Karena keluarga Arkin yang kaya raya, jadi mereka bisa bertindak seenaknya!" Alasan yang sangat tidak masuk akal. Jangankan kepada orang tuanya, pada Aaron pun Tulip tidak menceritakan masalah tersebut. "Dasar perempuan gak tau diri!" Diaz hampir melayangkan tamparan ke wajah Melinda, namun hal itu ditahan oleh Shendy. "Yaz, jangan! Tahan!" "Gimana aku bisa tahan? Dia bahkan bawa-bawa keluarga Arkin!" "Aku paham, tapi tolong berhenti! Ini bukan ranahmu lagi," ucap Shendy dengan suara yang tenang, bahkan sangat tenang untuk di kondisi yang sangat menegangkan seperti saat ini. "Tolong, biar ini aku yang urus! Please!" Meski enggan, akhirnya Diaz pun mundur. Ia tak mengucapkan apapun lagi dan membiarkan Shendy yang menyelesaikannya. Shendy mendekati Melinda yang kini sudah mematung di tempatnya, wajahnya ia tutupi dengan kedua tangan. Tubuhnya gemetar hebat, ia begitu ketakutan. "Ayo balik ke kelas, jam istirahat udah abis!" ajak Shendy sembari menggandeng lengan Melinda. "ENGGAK! AKU GAK MAU BALIK KE SEKOLAH!" bentak Melinda, bahkan ia mendorong tubuh Shendy sampai terjatuh, lalu ia berlari meninggalkan kedua temannya. "Shen, kamu gak apa-apa?" tanya Diaz yang langsung membantu Shendy untuk berdiri. "Gak apa-apa, tenang aja! Udah biasa." "Udah biasa?" tanya Diaz tak mengerti. Namun pertanyaannya tak diacuhkan oleh Shendy. "Ikut aku ke kantor, ya! Aku butuh saksi. Masalah Melinda udah gak bisa aku tangani sendiri." "Oke, ayo!" Diaz menerima ajakan itu tanpa perlu berpikir ulang. Amarah Diaz tampak memudar, kini ia mulai memberikan senyum kepada Shendy. Yang diberikan senyuman justru membuang pandangannya. "Ayo balik ke sekolah!" ajak Shendy seraya melangkahkan kakinya dari tempat itu, Diaz pun mengikutinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN