24. Liontin Bunga Tulip

1068 Kata
Tulip masih duduk di sebelah pos satpam sembari menunggu jemputan. Teman-teman ekskulnya sudah keluar lebih dulu–sebelum ia tiba di sekolah. Ia sedikit bersyukur karena tidak perlu merangkai alasan atas absennya hari ini. Namun hal lain yang tak disangka justru terjadi, Diaz terlihat muncul di kerumunan para siswa berseragam basket. Tampak juga Juan diantara mereka. 'Bukannya ekskul mereka bukan hari ini?' gumam Tulip dalam batinnya. Melihat Tulip yang sendirian, Diaz langsung menghampirinya. Juan tidak melihat keberadaan Tulip, sehingga ia berlalu begitu saja. "Loh, sendirian aja?" tanya Diaz. "Iya, Kak. Nunggu jemputan." "Ah, gitu. Bareng aku aja mau, gak? Aku cariin helm deh." Diaz sudah berkali-kali menawarkan diri untuk mengantarkan Tulip pulang, namun belum pernah sekalipun Tulip menerima tawarannya. "Gak perlu, Kak. Sebentar lagi Pak Andra dateng kok." "Hmm, oke deh. Aku temenin aja kalo gitu," ujad Diaz mengalah, lalu duduk di sebelah Tulip. "Bukannya ekskul basket bukan hari ini ya, Kak?" "Iya, kami pindah jadwal. Sesuai kesepakatan anggota sih." Tulip hanya menjawab dengan anggukan kepala. Sejujurnya ia sedang gugup, ia takut Diaz mengetahui kalau ia baru saja bolos. "Lip!" "Iya, Kak?" "Sebenernya aku udah lama pengen kasih sesuatu ke kamu, tapi kita jarang ada waktu berdua. Berhubung sekarang kamu lagi sendirian, mau ikut aku sebentar, gak?" "Hm… ke mana, Kak?" "Mmm… di ruangan basket aja gimana? Cuma sebentar kok." "Harus sekarang?" "Iya. Sebentar kok, gak lama." "Boleh deh." Tulip pun menyetujui itu. Diaz membawanya ke ruangan khusus ekskul basket. Di ruangan itu terdapat rak-rakan untuk bola; lemari yang berisi seragam dan keperluan tournament; dan masih banyak peralatan lainnya. Diaz meminta Tulip untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia, kemudian ia membawa sebuah kursi lain dan duduk di depan Tulip. "Dulu–waktu aku kira bisa kembali ke Indonesia dalam waktu dekat–aku pernah beli ini untuk kamu." Diaz mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam. "Apa itu?" tanya Tulip yang penasaran. Dibukanya kotak itu dan terlihat sebuah liontin berbentuk mahkota bunga tulip. "Wah! Cantiknya!" seru Tulip setelah ia melihat liontin itu. "Iya. Sama cantiknya kaya kamu," ujar Diaz. "Kakak gombal ih!" celetuk Tulip. "Haha! Aku serius loh. Gimana? Suka, gak?" "Suka, bagus banget, Kak!" Diaz tersenyum. "Aku pakein, ya?" Tulip mengangguk cepat. Ia benar-benar menyukai liontin itu. Dengan lembut, Diaz mengeluarkan kalung lengkap dengan liontinnya, lalu memakaikannya ke leher Tulip. Tak lupa, Tulip juga mengangkat rambutnya sedikit agar Diaz lebih mudah memakaikannya. Wajah mereka begitu dekat, jantung Diaz pun berdebar kencang. Sesaat ia salah fokus, hampir saja ia mengecup pipi gadis polos di depannya itu. Namun untungnya ia bisa mengendalikan diri. Setelah kalung itu berhasil dikaitkan, Diaz kembali mundur dan menegakkan posisi duduknya. Tulip terlihat sangat menyukai liontin mungil yang kini menjadi miliknya. "Cocok banget!" puji Diaz. "Iyakah? Makasih banyak ya, Kak! Aku juga suka banget," ujar Tulip dengan senangnya sembari memandangi liontin itu. "Syukurlah kamu suka, kupikir kamu gak akan suka." "Suka dong! Bagus kok, lucu." "Seneng bisa liat kamu ketawa bahagia kaya gini, Lip," gumam Diaz. "Hm? Apa, Kak?" "Gak apa-apa. Seneng aja liat kamu kaya gini. Gak nyangka, 11 tahun kita pisah ternyata bisa ketemu lagi." "Aku pun bersyukur banget penantianku gak sia-sia," balas Tulip. Diaz diam sejenak. Ia sangat ingin mengungkapkan perasaannya, namun ia takut jawabannya tak sesuai harapan. Yang lebih parah, ia takut Tulip justru akan menjauhinya dan membuatnya kehilangan lagi. "Kak, udah boleh pulang belum?" tanya Tulip dengan polosnya. "Ah, udah waktunya pulang, ya? Ayo!" Diaz beranjak dari kursinya dan menggendong kembali tasnya. Tulip pun ikut berdiri. "Em… Lip." "Iya?" Tanpa menunggu persetujuan, Diaz langsung merengkuh Tulip dalam pelukannya. Hal itu tentu saja membuat Tulip terkejut, namun ia tak bisa menolak. "Sebentar kok! Bentar aja!" pinta Diaz. "Kakak kenapa?" "Gak apa-apa. Cuma buat buktiin aja kalo yang aku peluk ini beneran nyata, bukan mimpi." Tulip terdiam mendengarnya. Ia ikut senang karena semua ini nyata, bukan lagi penantian tanpa kepastian. Tulip pun membalas pelukan Diaz. Mereka saling diam dan meresapi momen ini. Seolah keduanya sudah terikat, karena mereka mampu menunggu bahkan sampai lebih dari 10 tahun. Sesuatu yang tampak mustahil bagi sebagian orang, namun inilah yang terjadi pada mereka. Diaz membelai rambut dengan lembut. Andai mereka tidak sadar tempat, mungkin mereka bisa berpelukan entah sampai berapa jam ke depan. "Kak, aku harus pulang," ujar Tulip mengingatkan. "Ah, sorry!" Diaz pun melepaskan pelukannya dan mundur selangkah. "Ayo kita pulang!" Diaz menggandeng tangan Tulip seolah ia tak ingin jauh sedetik pun. "Kak, ini gak apa-apa?" tanya Tulip seraya mengangkat tangannya yang kini digenggam Diaz. "Gak apa-apa, sekolah udah sepi kok," jawab Diaz santai. Mereka pun keluar dari ruangan basket itu. Sementara itu di sisi lain, ada seseorang yang tidak sengaja memergoki ketika Diaz dan Tulip sedang berpelukan. Orang itu adalah Felix. 'Anak itu bukannya Tulip? Kenapa dia bisa sama Diaz?' tanya Felix pada dirinya sendiri. 'Keterlaluan Diaz! Bisa-bisanya dia pacaran sama adik kelas, di sekolah pula.' Melihat kedua orang itu mulai beranjak, Felix memilih untuk pergi dari sana dan memperhatikan dari jauh. 'Beneran mereka pacaran?' batin Felix lagi setelah melihat Diaz dan Tulip keluar kelas dengan bergandengan tangan. 'Aku kira dia anak yang polos, ternyata wajahnya menipu.' Felix pun pergi dari tempatnya dan pulang. Beruntung Felix yang melihatnya, seandainya siswa lain tentu kejadian ini akan cepat tersebar bahkan tidak harus menunggu hari esok. *** Di rumah, Tulip berkali-kali menghadapkan dirinya di depan cermin. Bukan untuk melihat wajahnya, melainkan kalung yang kini menghiasi lehernya. Kalung itu sangat sesuai dengan selera Tulip, Diaz sangat pandai memilih hadiah. Kalung itu sangat menggambarkan dirinya. Bahkan Tulip kini kembali mengingat bagaimana ia bisa mendapatkan nama 'Tulip'. Apakah ada makna tertentu? Apakah nama tersebut diberikan oleh orang tuanya ketika ia dititipkan? Tentu saja jawabannya adalah bukan. Tulip kecil dititipkan oleh kedua orang tuanya di depan rumah warga–kasarnya Tulip dibuang oleh orang tuanya sendiri. Tak ada pesan khusus yang mereka buat, hanya ada secarik kertas yang berisi tanggal kelahiran Tulip. Bahkan tak ada baju yang Tulip gunakan, tubuhnya hanya berbalut selimut kecil yang tipis dan bergambar bunga tulip. Dari situlah namanya berasal. Satu kata tanpa ada tambahan lainnya, yakni Tulip. "Meskipun sekarang hidupku udah enak, tapi aku gak akan lupa darimana aku berasal. Dan kalung ini... bakal jadi pengingatku," ujar Tulip yang masih belum berpaling dari cermin. "Hm, aku cantik juga ya?" Ia mulai tersenyum sendiri dan merapikan rambutnya. "Kalo aku gak cantik, Kak Diaz kecewa gak, ya?" tanya Tulip lagi. "Hah! Yang penting sekarang kami udah ketemu lagi! Terima kasih, Tuhan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN