Semenjak kalung cantik itu menghiasi lehernya, Tulip jadi semakin sering memandangi diri di depan cermin. Ia merasa semakin cantik, padahal sebenarnya tidak ada yang berbeda selain adanya kalung tersebut. Tak henti-hentinya ia memuji diri sendiri. Mungkinkah ia baru menyadari kalau dirinya cantik? Mungkin saja. Karena sebelumnya, bagi Tulip penampilan itu bukanlah yang utama.
Tak berbeda dengan Tulip, si pemberi kalung tersebut juga menjadi sering tersenyum sendiri. Ia membayangkan bagaimana cantiknya wajah Tulip ketika tersenyum saat menerima hadiah kecil darinya. Tulip kecil yang ia cintai sejak lama, ternyata tak ada yang berubah. Cantik, lugu, dan sederhana. Namun satu poin utama yang paling mendasar dan tak banyak yang memilikinya, yakni 'tulalit'.
Mungkin sebagian orang akan menganggap hal itu sebagai kekurangan, namun bagi Diaz tidak. Itu adalah ciri khas Tulip. Dia sempurna dalam versinya. Tak ada yang perlu dipermasalahkan.
"Sebelas tahun penantian dan terjawab sesuai dengan harapan, apa ini pertanda kalo kita jodoh?" tanya Diaz pada kertas kecil yang menampilkan gambar dirinya dengan Tulip saat mereka masih kecil.
Foto itu ia perbanyak. Dan foto yang asli, ia simpan di dalam album. Sisanya, ia simpan di dompet dan dipajang di meja belajarnya. Sebelas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Jika ia tak menyimpan kenangan itu, mungkin saja ia bisa melupakan Tulip. Itulah sebabnya ia memperbanyak foto tersebut.
"Jangan bermimpi kejauhan! Kalian masih SMA. Memang lulus sekolah mau nikah?" sahut Rafael yang kini sedang mengerjakan PR di meja yang lain.
Meski berbeda ranjang dan perlengkapan lainnya, namun mereka berdua berada di kamar yang sama. Kedua orang tua mereka berharap, dengan berada di kamar yang sama maka keduanya akan lebih akrab–karena mereka berdua bukan saudara sekandung. Dan hasilnya memang mereka menjadi akrab layaknya teman dekat, namun karena itu pula mereka justru seperti tidak memiliki batasan. Tidak tahu mana kakak mana adik, karena tidak ada yang memanggil dengan sapaan tersebut. Hanya aku-kamu, padahal usia mereka berjarak tiga tahun.
"Kalo bisa, kenapa enggak?" balas Diaz dengan nada menantang.
"Dih! Nafsu amat! Kotor banget pikiranmu!" ejek Rafael.
"Pikiranmu itu yang kotor! Siapa yang pengen nikah muda? Lagian, kan, bisa pacaran dulu," sanggah Diaz.
"Hilih! Ngeles aja! Tapi kamu sadar gak, sainganmu itu sahabatmu sendiri?" tambah Rafael.
Ia masih berusia 14 tahun, namun jalan pikirannya lebih dewasa dari anak-anak seusianya. Bagaimana tidak? Dia selalu bergaul bersama Diaz. Selain itu, keluarga mereka juga sering mengadakan sharing di hari-hari tertentu. Sehingga jalan pikiran orang tuanya juga secara otomatis ia tiru.
"Aaron, kan, maksudmu?" tanya Diaz yang sudah tahu pasti siapa yang Rafael maksud.
"Yap!"
"Hubungan mereka kayaknya gak ke arah sana, gimana pun juga mereka keluarga. Mungkin orang tuanya gak akan segampang itu untuk membiarkan mereka jadi pasangan."
"Gak ada yang gak mungkin, toh mereka gak sedarah. Mungkin cuma ribet di pemberkasan, bukan dalam urusan adat, agama atau apapun itu."
"Yah, gimana, ya? Meskipun aku berharap bisa dapetin Tulip, tapi aku gak yakin bisa dapetin dia. Rasanya bisa ketemu lagi sama dia aja udah keberuntungan yang paling beruntung buatku. Kalo sampe kami berdua bisa berjodoh, kayaknya Tuhan kelewat sayang sama aku," ujar Diaz sembari membayangkan tawa kecil Tulip.
"Susah, ya, kalo udah berurusan sama cinta-cintaan. Bener kata Dad, kita harus fokus belajar dulu, pacarannya nanti!"
Memang Rafael kadang terlihat dewasa, namun ia tetaplah anak-anak yang baru menginjak masa remaja. Ia masih memiliki pola pikir bocah yang bisa muncul kapan saja.
"Ya kamu masih bocah, heh! Jangan mikirin pacaran!" sungut Diaz kesal.
"Kamu juga masih sekolah, belum lulus, belum kerja. Ngapain mikirin pacaran?" balas Rafael tak mau kalah.
"Dasar anak kampr*t!" umpat Diaz seraya melemparkan sebuah penghapus karet ke kepala Rafael, sayangnya meleset.
"Hu! Gitu aja gak kena. LEMAH!" ledek Rafael lagi.
Sudah bisa terlihat kelanjutannya? Ya, mereka akhirnya bertengkar lagi. Sesuatu yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki. Kadang mereka belum berhenti kalau belum ada yang meringis kesakitan.
Malam itu, Diaz berharap bisa mendapatkan mimpi yang indah. Barangkali Tulip juga mau muncul dalam mimpinya, kan? Entahlah. Diaz semakin tergila-gila padanya.
Banyak perempuan yang mendekatinya lebih dulu, namun tak ada satupun yang bisa menyentuh hatinya. Karena ia tahu, ada gadis idaman yang sedang menunggunya. Sayangnya, ketika gadis itu kembali, ia justru dihadirkan dengan pilihan: ungkapkan atau tahan. Sebab kedua pilihan tersebut memiliki dampaknya masing-masing.
Sementara itu di sisi lain, Tulip sedang berbaring di ranjangnya sembari berkirim pesan dengan Melinda. Ia memastikan kalau tak ada yang terjadi setelah ia bolos ekstrakurikulernya tadi.
'Bener nih, aman?' tanya Melinda melalui pesan singkat.
'Iya beneran, Kak! Tenang aja! Kapanpun Kakak butuh temen cerita, kabarin aku! Aku selalu siap,' balas Tulip dengan sangat yakin. Ia begitu polos, semua orang terlihat baik di matanya meskipun sudah berkali-kali diingatkan.
Tulip mengubah posisinya, dari yang terlentang, kini menjadi telungkup. Tangannya mudah lelah jika harus memegang ponsel terlalu lama dalam posisi tersebut. Lagi pula, ukuran ponselnya lebih besar dari tangan imutnya.
Mungkin ponsel jaman sekarang memang didesain bukan untuk anak-anak, sehingga ukurannya dibuat sedikit lebih besar. Yah, meskipun masih ada ponsel lain yang berukuran sedikit lebih kecil. Namun, spesifikasinya juga berpengaruh, bukan?
Selain pesan dari Melinda, ternyata ada satu pesan lagi yang masuk. Kali ini dari Diaz.
'Lip, tidur! Jangan begadang!' Hanya sesingkat itu pesan pembuka yang Diaz kirimkan.
'Iya, Kak. Sebentar lagi aku tidur kok,' balas Tulip.
Semakin hari, temannya chat-nya semakin banyak. Mulai dari Diaz, Naya, grup kecilnya–yang beranggotakan Naya, Tulip, Valent dan Juan, dan kini bertambah Melinda. Mungkin bagi sebagian orang itu adalah jumlah yang sedikit, namun bagi Tulip itu sudah sangat banyak.
Ia sempat memiliki banyak teman–tentu saja sebelum ada insiden pembullyan yang ia alami. Sayangnya, semua temannya ikut hilang dalam sekejap. Entah apa sebenarnya yang mereka pandang dalam urusan pertemanan. Apakah hanya anak kandung dari keluarga terpandang yang boleh memiliki teman? Entahlah. Mungkin memang seperti itu.
Sebuah pesan dari Diaz kembali masuk. 'Lip, apa kamu pernah suka sama seseorang?'
"Suka? Kenapa tiba-tiba Kak Diaz tanya itu?" tanya Tulip pada dirinya sendiri.
'Memangnya kenapa, Kak?' balas Tulip lagi.
'Gak apa-apa. Takutnya kamu naksir orang yang salah. Aku juga pengen jadi kakakmu, jadi tolong sesekali curhat ke aku juga! Jangan Aaron terus!' Pesan yang Diaz kirimkan tampak bernada di pikiran Tulip. Ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Diaz ketika mengatakan hal tersebut.
'Haha! Iya, Kak. Next time kalo kita ketemu, aku bakal curhat banyak-banyak.' Belum sempat Diaz membalas, Tulip mengirimkan sebuah pesan lagi. 'Masih banyak banget pertanyaan yang belum aku tanya ke Kakak. Banyak hal yang bikin aku penasaran. Dan kalo ngobrol lewat chat, rasanya kurang puas.'
'Ah, kamu ngode ngajak ketemuan, ya?' balas Diaz mengambil kesimpulan.
'Bukan ngode, aku memang minta!' jawab Tulip tegas.
'Haha weekend kita jalan deh, gimana? Ah, tapi Aaron jangan ikut! Aku gak mau kencan kita terganggu.'
'Bukan kencan, Kak! Tolong diralat!' protes Tulip dengan cepat. Hal itu memancing rasa penasaran Diaz.
'Apa segitunya dia gak mau pacaran sama aku? Jadi, aku harus mundur bahkan sebelum berperang?' batin Diaz yang kini semakin dibuat bimbang.
Wajar saja hal itu terjadi. Sebelas tahun sudah berlalu, ia juga tak menemani setiap langkah perkembangan Tulip. Mengapa Tulip anti dengan hal-hal yang berbau 'pacar'? Tentu semua itu bukan tanpa alasan. Ia masih butuh waktu yang sangat panjang untuk bisa mengenal pribadi Tulip yang sebenarnya dan itu berlaku juga untuk sebaliknya.