23. Luka Melinda [2]

1157 Kata
Benar apa yang Melinda katakan, di belakang sekolah mereka terdapat sebuah taman. Bukan taman bunga, namun hanya sebuah tempat yang hening dan disediakan beberapa kursi panjang. Banyak pohon yang tumbuh juga membuat sekitarnya menjadi lebih teduh. "Beneran kamu gak apa-apa bolos ekskul? Kita bisa cerita lain waktu kok." Melinda masih terus meyakinkan Tulip, karena ia tahu Tulip bukanlah anak yang sering meninggalkan kelas. "Gak apa-apa, Kak. Serius deh!" jawab Tulip dengan mantap. 'Aku ngerasa ada yang gak beres. Kalo aku gak ikut, takutnya Kak Meli bisa bunuh diri atau apapun tindakan menyeramkan lainnya,' batin Tulip. "Ya udah kalo gitu," ujar Melinda seraya berjalan ke salah satu kursi panjang yang memiliki sandaran. Tulip mengikutinya dan duduk di sebelahnya. Sesaat mereka saling diam. Tulip begitu menikmati udara segar yang berhembus dengan lembut. "Lip, kenapa kamu mau jadi temenku? Karena kasian, ya?" tanya Melinda tiba-tiba. "Kenapa Kakak mikir gitu?" "Gak apa-apa. Kayanya aneh aja kamu mau temenan sama aku. Padahal aku cuma orang random yang gak kamu tau sebelumnya." Tulip menarik napas panjang sebelum menjawab Melinda. "Kalo boleh jujur, awalnya memang kasian. Karena aku tau rasanya gak punya temen itu gimana. Rasanya dijauhin, dikucilin, bahkan… sampe diperlakukan buruk sama temen sendiri pun pernah." Melinda menatap Tulip tak percaya. Dibalik sosok yang begitu lugu dan ceria, ternyata juga memiliki cerita yang pahit. "Tapi semakin aku kenal Kakak, aku justru makin penasaran. 'Kenapa Kakak yang se-humble ini kok bisa gak punya temen? Kenapa Kakak dijauhin? Kenapa Kakak terkenal anti sosial?' Aku penasaran, Kak," jawab Tulip dengan jujur. Melinda masih diam, karena ia tahu Tulip belum selesai mengutarakan jawabannya. "Sejauh ini, Kakak baik sama aku. Kita ngobrol juga nyambung. Jadi, alasanku kasian dan penasaran tadi pun lenyap. Sekarang aku pengen jadi temen Kakak yang sebenernya," jawab Tulip lagi. Kali ini ia sudah selesai bicara, maka Melinda pun membalasnya. "Aku gak nyangka kamu bisa sebaik ini nerima aku jadi temen. Padahal kamu udah tau aku terkenal anti sosial. Dan lagi, kukira kamu ada apa-apa sama Diaz. Jadi mungkin kamu bakal jauhin aku karena terkesan aku deketin Diaz waktu pertama kita ketemu," ujar Melinda. "Iya, Kakak gak salah kok. Memang begitu first impression-ku ke Kakak waktu itu." "Ah, aku gak kaget sih," jawab Melinda dengan nada yang menyiratkan keputusasaan. Mereka berdua menatap ke depan. Di mana hanya ada pohon dan deretan toko yang masih belum buka–toko tersebut hanya buka di malam hari. "Luka ini…." Melinda menyingkap lengan jaketnya. "Gak sengaja aku dapet waktu aku jatoh di rumah. Kena pecahan kaca." Ia diam lagi. Terlihat ia sedang mengatur napasnya, berharap air matanya tidak menetes untuk sekarang. "Kalo kakiku… itu aku dapet pukulan dari pamanku." "Kenapa? Kok bisa?" Tulip yang sangat terkejut mendengar pernyataan itu. "Kamu bisa dipercaya, kan?" tanya Melinda sebelum bercerita lebih lanjut. "Pasti, Kak! Aku gak akan cerita ke siapa-siapa." Melinda tersenyum, ia senang ada orang yang bisa mendengarkan keluhannya. "Aku anak yatim-piatu. Orang tuaku meninggal kecelakaan pesawat terbang tiga tahun lalu. Setelah itu, aku tinggal sama paman dan nenekku. Pamanku duda pengangguran, dia selalu maksa aku untuk bagi harta warisan orang tuaku ke dia." Tulip mendengarkan dengan seksama setiap kata yang Melinda ucapkan. Terlihat ada beban berat yang memang Melinda simpan entah sejak kapan. "Luka-luka ini aku dapet ketika aku nolak untuk kasih dia uang. Seandainya bisa, mungkin aku udah kasih semua harta keluargaku ke dia. Sayangnya, aku sendiri gak pegang harta itu. Karena semua belum bisa resmi jadi milikku kalo aku belum berusia 21 tahun." "Terus, nenek Kakak diem aja liat Kakak diperlakukan kasar gini?" tanya Tulip yang makin penasaran. "Kami berdua gak bisa apa-apa kalo dia udah ngamuk, Lip." Kemudian Melinda lanjut menceritakan kisah pahit hidupnya. Ia tak berharap dikasihani, ia hanya ingin didengarkan. Karena selama ini ia selalu menyimpan semuanya sendiri. Mereka berdua berbincang dari hati ke hati. Tulip yang hidupnya juga tak semulus jalan tol, tentu bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi Melinda–meskipun dalam kondisi yang berbeda. Namun di sini, Tulip hanya berperan sebagai pendengar. Ia tak menceritakan tentang masalah pribadinya. Bukan tidak percaya, hanya saja ia sadar saat ini bukan ajang adu nasib. Lebih baik ia mendengarkan dan menguatkan Melinda. "Terus, kalo Kakak dikucilin di sekolah karena apa?" "Aku sih yang menjauh dari mereka." Tulip sedikit terkejut, namun ia sudah bisa menebak apa alasannya. "Karena Kakak merasa gak pantes berteman sama mereka?" tebak Tulip. "Yap! Bener banget, tapi masih ada alasan lain." "Apa itu?" "Ketika kita butuh tempat cerita, kadang kita gak butuh nasihat, kan?" Tulip hanya membalas dengan anggukan kepala. "Nah, itu. Aku bosen kalo cerita cuma dijawab 'sabar ya!' atau yang paling parah 'segitu doang gak kuat? aku aja yang bla-bla-bla'. Yah, ujung-ujungnya jadi adu nasib." Pilihan yang tepat untuk tidak menceritakan masalah Tulip pada Melinda, karena hal itu hanya akan menyakitinya. "Karena banyaknya jawaban yang gak enak itu, akhirnya aku menutup diri. Lagi pula, aku males cerita ke mereka karena mereka gak mau cerita balik." "Bener, Kak! Aku juga gak suka ketika aku udah cerita ke orang, tapi mereka gak mau cerita balik. Berasa kita gak bisa dipercaya gitu," ujar Tulip menanggapi cerita Melinda. "Haha, kita sama, ya? Seneng deh ketemu temen yang satu frekuensi gini." "Aku juga kok, Kak." Kemudian mereka berbincang beberapa hal lain. Kini bahasan mereka tak terlalu serius. Mulai membahas hewan kesukaan, makanan, bahkan sampai membahas guru-guru yang menyebalkan. "Oh iya, Kak. Maaf kalo mungkin agak menyinggung," ujar Tulip sebelum ia mengutarakan rasa penasarannya. "Kenapa? Tanya aja!" "Kalo Kakak ansos, kenapa Kakak bisa deket sama Kak Diaz?" "Ah, Diaz, ya? Dia itu cowok baik, bahkan baik banget. Dia mau berteman sama siapa aja, bahkan sama aku yang anti sosial ini. Dia gak pernah ikut campur urusanku apalagi sampe meremehkan aku. Yah, siapa sih yang gak suka temenan sama orang kaya dia?" "Ah, ternyata Kak Diaz sebaik itu," gumam Tulip. "Hmm, iya. Banyak yang antre jadi pacarnya." "Termasuk Kakak?" tebak Tulip. "Haha! Sembarangan! Mana berani aku kaya gitu? Jangankan mikirin cowok, mikirin pamanku aja udah pusing. Rasanya pengen cepet pindah dan tinggal sendirian," ujar Melinda berandai-andai. Tulip melihat adanya senyum pahit di wajah Melinda. Namun satu hal yang pasti, Melinda merasa bebannya seolah terlepas setelah ia bercerita pada Tulip. Ia sangat berterima kasih Tulip mau menjadi tempat ia meluapkan isi hatinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.10; mereka berdua kembali ke sekolah. Tulip takut kalau Aaron ikut menjemputnya dan memergokinya bolos. Sehingga ia harus datang ke sekolah sebelum jam ekstrakurikulernya habis. "Lip, sekali lagi makasih, ya!" "Sama-sama, Kak." Kemudian mereka berpisah di gerbang depan. Tulip menunggu jemputan di pos satpam, sedangkan Melinda langsung pulang. Ia akhirnya naik angkutan umum karena rumahnya terlalu jauh jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Pikiran yang tadi kasihan pada Melinda, sekarang berubah mengasihani diri sendiri. Ia merasa bodoh sudah bolos dan meninggalkan ekstrakurikuler. Ia takut Aaron mengetahuinya dan melaporkan pada kedua orang tuanya. Namun, di sisi lain ia juga tidak menyesal. Ia sudah membantu orang lain untuk meringankan beban perasaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN