Tidak terasa, sudah satu minggu Tulip menjadi siswi kelas X-1. Semua berlalu dengan sangat baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, setidaknya untuk saat ini. Tulip merasa senang karena teman-teman kelasnya semua terlihat baik dan mau berteman dengannya. Semangat belajarnya semakin meningkat. Terlebih ia sadar, ia bukan anak-anak lagi. Kalau sampai ia tidak lolos di universitas ternama nantinya, itu hanya akan mencoreng nama baik orang tuanya.
"Tumben rajin! Biasanya selesai makan malem langsung tidur atau nonton drama," ujar Aaron pada Tulip yang masih sibuk dengan buku tugasnya di meja belajar. Aaron baru saja masuk kamar Tulip dan merebahkan dirinya di atas ranjang yang berwarna baby pink itu.
"Hmm. Daripada nanti Papa ngirim aku ke tempat les lagi, mendingan aku belajar pelan-pelan, kan?" jawab Tulip.
Richard merupakan seorang pengacara terpandang yang hebat, sedangkan Freya adalah dokter spesialis kandungan. Wajar saja kalau Aaron memiliki kepintaran di atas rata-rata. Namun menjadi beban bagi Tulip yang hanya anak angkat dengan tingkat kepintaran standar.
Sejak SD, Tulip selalu diikutkan berbagai macam les setiap tahunnya. Memang tidak bodoh, hanya saja jika tidak masuk peringkat 10 besar di kelas ia akan langsung mendapatkan les sesuai dengan nilai yang sekiranya belum mencukupi. Lelah sudah pasti, namun tak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti perintah kedua orang tuanya.
"Pelajaran apa yang susah? Mungkin aku bisa bantu," ujar Aaron menawarkan.
"Sejauh ini masih aman kok, Kak. Nanti kalo ada yang bingung, aku bakal tanya Kakak lagi," jawab Tulip seraya tersenyum.
Selama ini, Tulip memang banyak dibantu oleh Aaron. Tanpa diminta pun, biasanya Aaron yang lebih dulu menawarkan diri pada Tulip. Berbeda dengan yang dulu, kini Tulip sudah merasa malu jika terus mendapatkan bantuan. Ia meyakinkan diri kalau ia pasti bisa menjadi kebanggaan dengan caranya sendiri.
"Tulip!" panggil Aaron.
"Iya, Kak?"
"Kamu masih pengen ketemu sama si Diaz-Diaz itu, gak?" tanya Aaron. Ia sudah memikirkan matang-matang sebelum menanyakan hal ini.
"Masih sih, tapi…." Tulip menutup bukunya dan berbalik badan. "Aku gak berharap terlalu banyak. Toh aku udah punya Kak Aaron," jawabnya lagi seraya menyunggingkan senyum.
Aaron masih merebahkan tubuhnya, namun kini posisinya berubah menjadi telungkup dan menghadap ke Tulip. "Kalo bisa ketemu sama dia lagi, gimana?"
"Hmm… entahlah. Aku udah lama gak mikirin itu. Yang pasti aku berharap, Kak Diaz tumbuh menjadi pribadi yang baik, bisa nerimaku lagi dengan baik, terus kita bertiga bisa jadi sodara," jawab Tulip dengan yakin dan wajahnya tampak membayangkan sesuatu yang menyenangkan.
"Apa kamu yakin gak bakal berpihak? Memilih salah satu diantara kami misalnya," tanya Aaron lagi mengungkapkan kegelisahannya.
Tulip menggeleng dengan cepat. "Kak Aaron tetep kakakku, meski kita bukan saudara kandung, tapi posisi Kakak dihatiku jelas berbeda dari Kak Diaz."
"Kamu ngomong gitu kaya ngomong ke pacarmu aja," ujar Aaron seraya tertawa. Ia bangkit dari ranjang dan mendekat ke arah Tulip.
"Aku jujur kok," gerutu Tulip dengan bibir yang ia manyunkan.
"Tetep jadi adik kecilku sampai kapanpun, ya! Paham, kan?" ujar Aaron sembari mengusap lembut puncak kepala Tulip.
"Kakak kenapa, sih? Kaya orang yang mau pisahan aja," tanya Tulip heran, tidak seperti Aaron yang selama ini ia kenal.
"Tidurlah, jangan belajar terlalu berat! Masih ada waktu besok pagi buat belajar lagi," jawab Aaron yang kemudian keluar dari kamar Tulip.
Tulip hanya diam memandang Aaron yang menurutnya aneh malam ini. Selama delapan tahun mereka bersama, baru kali ini ia melihat ada yang berbeda dalam diri Aaron. Ia tidak pernah melow seperti ini sebelumnya.
'Apa mungkin Kak Aaron udah ketemu sama Kak Diaz? Tapi, gimana caranya? Dia aja belum pernah ketemu sama Kak Diaz sebelumnya dan gak tahu gimana wujudnya,' batin Tulip menerka-nerka.
Seketika, sekelibat ingatan tentang Diaz kembali berputar. Waktu itu, Diaz sering sekali meledek Tulip karena ia sulit nyambung ketika diajak bicara. Hingga Diaz memberinya julukan 'Tulalip'. Ia menggunakan kata yang sempat tenar waktu itu. Tulalit adalah sebuah julukan yang sering dilontarkan pada orang yang 'lambat berpikir'. Hingga Tulalit ia plesetkan menjadi 'tulalip', yang artinya adalah Tulip yang tulalit.
'Aku memang lambat dari dulu ternyata. Kalo gini terus, aku bakal jadi aib keluarga,' batin Tulip seraya tersenyum miris.
'Yuk, semangat belajar lagi! Jangan sampe ketinggalan!'
Ia menyemangati dirinya sendiri dan kembali membuka buku tugas. Menandai dan merangkum dari buku paket dengan stabilo hijau neon kesayangannya. Tak lupa ia juga menghidupkan alarm agar tak terlewat dari jam tidur. Satu hal lagi kebiasaan buruk Tulip, yakni sulit bangun pagi. Kadang asisten rumah tangganya harus masuk ke kamar hanya untuk mematikan alarm dan membangunkannya.
***
"Tulip, ini Diaz. Orang yang kemarin mau aku kenalin ke kamu," ujar Aaron yang baru saja datang diikuti dengan seseorang di belakangnya. Lelaki ini adalah orang yang sama dengan yang memberikan senyum pada Tulip di kantin tempo hari.
"Hai, salam kenal ya, Tulip," ujar Diaz seraya mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri.
Tulip menatap Diaz tanpa berkedip. Memang selama ini ia selalu mengharapkan Diaz kembali, namun entah mengapa rasanya tidak seperti yang diharapkan dan dibayangkan.
"Kakak… gak kenal sama aku?" tanya Tulip secara gamblang.
Mendengar itu, Diaz menengok ke arah Aaron. Aaron hanya mengangguk beberapa kali, sepertinya mereka sudah mendiskusikan sesuatu sebelumnya.
"Ahh, iya. Namaku memang Diaz, aku dulu tinggal di panti asuhan dan aku inget kamu."
Pernyataan yang sangat ditunggu-tunggu, namun rasanya sangat datar. Tulip merasakan kecewa yang mendalam. Seseorang yang berjanji akan menemuinya lagi, ketika kembali datang justru sudah menjadi orang lain. Benar saja, dalam kurun waktu sebelas tahun, seseorang bisa berubah menjadi apapun. Apalagi dulu yang berjanji hanyalah seorang bocah berusia enam tahun.
"Makasih udah inget sama aku," jawab Tulip pelan seraya tersenyum tipis.
Diaz hanya membalas dengan senyum. Kini mereka sedang duduk bertiga di ruang tamu. Diaz banyak bercerita tentang kehidupannya setelah diadopsi. Ternyata tak lama setelah dirinya resmi memiliki orang tua, seorang bayi kecil lahir dan berjenis kelamin perempuan. Betapa beruntungnya gadis itu, Diaz sangat bahagia memilikinya. Bahkan ia jujur, ia melupakan Tulip tak lama setelah mereka berpisah.
Hancur! Tulip merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Penantiannya selama 11 tahun tak ada artinya lagi. Sekuat mungkin ia menahan air matanya, ia tak ingin siapapun tahu kalau hatinya telah hancur. Namun tentu ekspresi wajahnya tak bisa menipu Aaron. Sejak tadi Aaron sudah memperhatikan Tulip, ia tak akan membiarkan siapapun bisa menyakiti Tulip.
"Tulip, kamu gak apa-apa?" tanya Aaron yang langsung berpindah duduk ke sebelah Tulip.
"Tenang aja, Kak. Aku gak apa-apa kok," jawab Tulip dengan senyum yang sangat dipaksa.
Semakin ia berusaha tersenyum, semakin sakit pula luka yang kini sedang bersarang di dadanya. Air matanya pun akhirnya keluar meski sudah sebisa mungkin ia tahan.
"Maaf, Kak. Aku gak bisa baik-baik aja," ungkap Tulip jujur dan meluapkan tangisnya dalam pelukan Aaron.