Jam istirahat, Tulip, Naya, Valent dan Juan–teman sebangku Valent–pergi ke kantin bersama. Kondisi kantin cukup ramai, apalagi masih hari pertama. Mereka masih belum tahu makanan mana yang paling enak dan ramah di kantong. Sayangnya, pagar tinggi mengelilingi sekolah mereka. Sehingga niat untuk sekedar jajan telur gulung atau bakso bakar di luar sekolah tentu harus diurungkan.
Mereka mendapatkan kursi di ujung sebelah kiri belakang. Naya dan Tulip memesan siomay, makanan yang sepertinya paling aman sebagai makanan perkenalan. Sedangkan Valent dan Juan memesan nasi ayam.
"Gimana rasanya, enak?" tanya Naya pada kedua siswa yang duduk di hadapannya.
"Lumayan, meskipun bukan yang 'wow' gitu, tapi enak kok untuk ukuran makanan kantin. Siomaynya gimana?" ujar Valent membalas pertanyaan Naya.
"Enak kok," jawab Naya lagi.
Mereka menikmati makanan masing-masing. Tulip tak banyak bicara, ia asyik menikmati setiap potongan siomaynya. Mereka berbincang beberapa hal mengenai sekolah baru mereka itu dan saling mengenal satu sama lain.
"Jadi, kamu dari sekolah khusus cewek yang terkenal mahal itu, ya? Gimana rasanya sekolah di sana? Denger-denger seluruh penghuninya cantik kaya princess," tanya Juan bertubi-tubi pada Tulip.
"Aku harus jawab dari mana?" tanya Tulip terus terang.
Sebenarnya ia adalah anak yang bisa dibilang telmi atau telat mikir. Untuk bicara dengannya terkadang butuh proses, apalagi ketika dirinya sedang tidak fokus.
"Apa bener penghuni sekolahmu waktu SMP dulu itu isinya semua cantik?" Juan mengulangi pertanyaannya.
"Ya… iya, kan, kami semua perempuan," jawab Tulip dengan yakin. Benar-benar bukan jawaban yang diharapkan.
"Tapi, di sana masih ada senioritas gitu gak, sih? Pernah denger katanya banyak kejadian pembullyan di sana, jadi banyak yang keluar sekolah di tengah jalan. Kamu gak pernah jadi korbannya, kan?" ujar Naya.
Untung saja Tulip tidak sedang mengunyah. Mendengar ucapan Naya, ia sontak menelan salivanya dan mengatur napas. Ia hampir tersedak.
"Aman kok, aman. Aku gak pernah jadi korban," jawab Tulip. Tentu saja ia berbohong. Tulip memaksakan senyumnya dan kemudian lanjut makan. Ia tidak ingin diinterogasi lebih jauh.
"Di sekolah ini kamu gak perlu takut lagi, kan, Tulip?" tanya Valent. Mendengar itu, otak Tulip seolah diajak berpikir keras.
'Apa maksudnya? Apa dia tahu kalo aku lagi bohong?' batin Tulip.
"Iya, sekolah ini aman kok. Ya, setidaknya aku belum pernah denger cerita buruk dari sini," tambah Naya.
Tulip mengangguk setuju. Ia hanya bisa berharap sekolah ini bisa aman untuknya. Ia ingin punya banyak teman dan bergaul tanpa rasa takut. Sesuatu yang sulit ia dapatkan di sekolah yang lama.
***
"Ya namaku memang Diaz, tapi apa maksudnya adikmu mencari aku?" tanya Diaz pada Aaron.
"Apa kamu sama sekali gak pernah ketemu sama adikku?" tanya Aaron lagi.
Diaz memperhatikan Tulip dengan seksama. Meski dari jauh, ia masih bisa melihat wajah Tulip dengan jelas. Wajahnya tampak sedang mengingat sesuatu.
"Enggak tuh, aku gak inget apapun. Memang kenapa dia cari aku?" tanya Diaz lagi.
"Mungkin lebih baik kalo dia yang jelasin langsung," jawab Aaron.
Aaron dilema. Di satu sisi, ia ingin sekali membantu Tulip. Ia tahu bagaimana adik kecilnya itu selalu bersemangat ketika bercerita tentang Diaz. Namun di sisi lain, ia tidak ingin kasih sayang Tulip pada kakaknya terbagi. Cukup sekali miliknya direbut orang lain, kali ini jangan.
"Kamu tau, Felix lagi-lagi mencuri banyak perhatian anak baru. Orang sedingin dia, apa bagusnya, sih?" ujar Diaz mengalihkan pembicaraan.
"Ya, adikku pun berlaku sama," jawab Aaron yang lebih seperti bergumam.
"Oh ya? Dia bilang apa?"
"Sama kaya cewek-cewek lainnya yang memuja-muja keindahan suara seorang Felix."
"Dan kamu gak suka?" tanya Diaz lagi.
Aaron hanya meliriknya dengan tatapan sinis. Tanpa perlu meminta penjelasan, tentu Diaz sudah paham maksud dari lirikan tajam Aaron. Ia hanya mengangguk-angguk mengerti dan tak memperpanjang bahasan lagi. Karena sebuah alasan, Aaron dan Diaz adalah salah satu kubu yang menolak keberadaan Felix.
Sebenarnya kini mereka sedang ada di kantin kelas X. Memang tidak ada blok-blok yang membagi kantin per-angkatan. Hanya saja, karena kantin ini letaknya paling mudah ditemukan dan paling luas. Tentu anak baru akan lebih memilih makan di kantin ini. Namun, karena ini masih hari pertama, tentu anak baru tidak akan menyadari kalau kantin ini tidak seharusnya dimasuki kakak kelas mereka.
***
Di sisi lain.
"Tulip, itu kakakmu bukan? Kayanya mirip sama yang tadi pagi kita liat," tanya Naya sembari menunjuk bangku Aaron dan Diaz.
"Huss! Jangan kebiasaan nunjuk orang pake jari gitu!" ujar Tulip mengingatkan. Tulip memperhatikan orang yang Naya maksud dan menjawab lagi, "Iya, dia kakakku. Kalo sebelahnya, aku gak tau."
"Sungguh pemandangan yang sangat indah! Kayanya aku harus rajin main ke rumahmu," gumam Naya.
"Kalo aku gimana?" tanya Juan.
"Gimana apanya?" tanya Naya tanpa mengalihkan pandangannya.
"Apa aku gak terlihat seperti pemandangan?"
"Gak, kamu belum masuk kriteria!" jawab Naya dengan tegas. Tulip dan Valent sontak tertawa.
"Cih, liat aja kalo nanti aku bisa lebih ganteng! Bakal kucoret namamu dari daftar temen," ujar Juan yang mencoba terlihat serius.
Tulip kembali menatap bangku Aaron dan Diaz. Ia mengakui kalau pemandangan ini memang begitu indah. Kemudian, tidak sengaja manik mata Tulip dan Diaz bertemu.
Deg!
Jantung Tulip seperti tersentil. Ia merasakan hal yang tidak biasa. Ditambah lagi Diaz justru melemparkan senyum padanya. Tulip langsung membuang pandangan dan menetralkan degup jantungnya.
'Eh, kenapa gini? Kenapa jantungku jadi deg-degan?' batin Tulip.
Lonceng tanda istirahat berakhir sudah berbunyi. Seisi kantin berhamburan untuk kembali ke ruang kelas, tak terkecuali Tulip dan teman-temannya. Sembari berjalan, sesekali Tulip kembali melirik ke arah Aaron. Lelaki tadi tak lagi menatap Tulip, kini giliran Aaron yang melihatnya dan melambaikan tangan seolah mengusir Tulip agar segera pergi dari sana.
'Manusia ini, gak bisa gak nyebelin sehari aja,' gerutu Tulip dalam hati.
'Oke, tenang! Bukan apa-apa. Kamu gak kenal siapa cowok itu. Kamu cuma kaget karena kebetulan saling bertatapan. Tenang, tenang, tenang!' batin Tulip lagi berusaha menenangkan dirinya.
***
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Tulip dan Aaron saling diam. Tulip masih merasa bahagia dengan teman-teman barunya. Lain halnya dengan Aaron, ia masih bingung harus mengenalkan Tulip pada Diaz atau tidak. Meski ia tidak yakin apakah Diaz adalah 'Diaz' yang selama ini Tulip cari, namun ia sudah terlalu takut akan kehilangan Tulip.
"Kak."
"Ya?" jawab Aaron cepat. Ia sedikit terkejut.
"Kakak ngelamun, ya?"
"Gak kok, ngelamunin apa juga?" jawab Aaron berdalih.
"Jangan bohong! Aku tau Kakak lagi ngelamun." Tulip masih bersikeras.
"Aku lagi mikir."
"Mikirin tentang apa?"
"Apa Tulip kecil sekarang udah dewasa?"
"Maksudnya?"
"Oke kamu belum dewasa," jawab Aaron lagi dan kemudian menatap lurus ke depan.
"Ish! Kakak ini! Cepet jelasin apa maksudnya!" Tulip memaksa Aaron untuk menjawab dengan mengguncang lengan Aaron.
Aaron masih bergeming, namun ia menahan tawa. Semakin Tulip memaksa, semakin membuatnya gemas. Aaron melepaskan tangan Tulip dari lengannya dan langsung merangkul Tulip dengan kuat. Bukan romantis, ia mengacak rambut Tulip dengan asal. Tentu itu membuat Tulip semakin kesal.
"Kakaaaak!!!! Nanti aku lapor ke Mama, loh!" ancam Tulip dengan tubuh yang masih berada dalam dekapan Aaron.
"Lapor aja! Aku gak takut!" ujar Aaron yang sudah tidak mempan lagi dengan ancaman Tulip.