08. Diaz Harvey (4)

1107 Kata
"Tulip, kamu lagi gak enak badan, ya?" tanya Freya khawatir. Sejak bangun tidur, Tulip terlihat kehilangan semangat. Padahal hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana ia bebas dari tugas belajar dan bebas menonton TV seharian. "Tulip baik-baik aja kok, Ma. Cuma, entah kenapa rasanya agak meriang. Mungkin cuma butuh tidur siang untuk pemulihan," jawab Tulip dengan lemas namun masih berpura-pura kuat. Freya langsung memeriksa kening Tulip yang memang agak hangat. Tulip bersandar di bahu mamanya, ia berharap mendapatkan sedikit ketenangan dan keyakinan kalau semuanya baik-baik saja. Kini mereka sedang duduk bersama di ruang keluarga. "Kak Aaron mana, Ma?" tanya Tulip lagi. "Pergi sama temennya. Katanya mau nginep sih," jawab Freya dengan pandangan lurus ke layar TV dan tangan kanannya mengusap rambut Tulip. "Ah pergi, ya," keluh Tulip. Ia membutuhkan Aaron saat ini. Ia beranjak dari sofa dan masuk ke kamar. Dibukanya pintu dan menyandarkan tubuhnya di pagar balkon. Cuaca sangat cerah, namun belum terlalu panas. Udara yang berhembus masih cukup segar karena matahari belum tinggi. Dihirupnya napas dalam-dalam, dalam hati ia bersyukur bisa menemukan keluarga yang luar biasa. Tak ada yang ia lakukan kecuali melihat mobil yang berlalu lalang. Kemudian, manik matanya menangkap dua anak kecil yang sedang bermain masak-masakan di depan rumah. Anak perempuan itu mungkin berusia enam tahun, sedangkan adik lelakinya berusia dua tahun di bawahnya. Mereka terlihat asyik mengaduk bahan makanan yang sepertinya berasal dari dedaunan. "Hah... dulu aku lebih banyak nonton waktu yang lain main masak-masakan. Mereka gak kasih izin aku buat nyentuh mainan-mainan itu. Padahal udah jelas mainan itu milik bersama, toh Bunda gak beliin itu untuk satu orang aja." Tulip terbayang akan masa kecilnya yang banyak mendapat perlakuan tidak adil, terutama dari teman sebayanya di panti. Bersyukur di usianya ke-8, keluarga Arkin mengambilnya sebagai anak. Ia tak lagi merasakan ketidakadilan, kecuali di tahun terakhir masa SMP-nya. 'Apa aku anak yang kurang baik? Jadi masih ada cela untuk mereka ganggu aku?' tanya Tulip pada dirinya sendiri. 'Kamu itu cuma anak pungut, jangan pernah merasa setara dengan kami!' Salah satu kalimat yang paling menusuk dan sering berputar dalam ingatan Tulip. Kini ia hanya bisa tersenyum meski rasa sakitnya tetap masih bersarang di dadanya. 'Kalo temen SMA-ku tau aku cuma anak angkat, apa mereka bakal ngebully aku kaya temen-temen SMP-ku dulu?' batin Tulip lagi. Tulip kemudian duduk di lantai dengan kaki yang ia keluarkan melalui sela pagar balkon, sehingga membuat kakinya tergantung dengan bebas. Ditariknya napas dalam-dalam sembari menikmati hembusan angin yang lembut membelai pipinya. "Untuk bisa menghirup napas dengan tenang kaya gini aja aku harusnya udah bersyukur banget. Terserah mereka mau bilang apa, gak ada sedikitpun niatku untuk menyombongkan apapun yang aku punya sekarang," gumam Tulip dengan mata tertutup dan wajah mungilnya yang menghadap ke langit. Cuaca terkadang suka bercanda. Langit yang baru saja cerah, kini berubah mendung. Awan gelap perlahan bergerak ke wilayah tempat Tulip tinggal. Nampaknya hujan akan segera turun, angin yang berhembus juga semakin kencang. Tulip segera beranjak dan masuk ke kamar. Tak lupa ia juga menutup pintu dan menguncinya. 'Bahkan awan pun seolah gak mengizinkan aku untuk menikmati udara yang sejuk,' batin Tulip seraya menyembunyikan dirinya dalam selimut. Bagi Tulip, tidur adalah salah satu pilihan terbaik ketika keadaan sedang tidak baik-baik saja. *** Suara berisik mengganggu tidur Tulip. Ia tahu suara itu jelas berasal dari kamar sebelahnya, kamar siapa lagi kalau bukan milik Aaron. Dengan wajah bantalnya, Tulip berjalan ke luar kamar dan mengetuk pintu kamar Aaron. Ia merasa kepalanya lumayan pusing karena bangun tidur bukan atas kemauan tubuhnya sendiri. "Kak, buka pintunya!" seru Tulip dari luar sembari mengetuk pintu kamar Aaron dengan energinya yang belum sepenuhnya kembali. Ceklek! "Hai, Aaronnya lagi main tuh!" ujar seseorang yang membuka pintu kamar Aaron. Terlihat Aaron dengan seseorang sedang asyik dengan joystick mereka. "Kami berisik, ya?" tanya orang itu lagi. "Hmm, iya," jawab Tulip. Berhubung bukan Aaron yang membuka pintu, ia jadi tidak bisa meluapkan rasa kesalnya. "Ron, adikmu nih!" seru orang itu pada Aaron. "Sebentar ya, Lip! Sedikit lagi aku bisa ngalahin Diaz," ujar Aaron tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitor. Deg! Jantung Tulip serasa dipukul setelah mendengar nama Diaz. Beberapa detik kemudian, Aaron juga berhenti bermain dan langsung menghadap ke arah Tulip. Mereka saling tatap, Aaron terkejut pada ucapannya sendiri. Ia sudah keceplosan. "Kalian lanjutin aja mainnya!" ujar Aaron pada teman-temannya dan langsung meninggalkan permainan yang masih terus berjalan. Tulip berjalan meninggalkan kamar Aaron dan Aaron pun menyusulnya. Mereka masuk ke dalam kamar Tulip dan menutupnya lagi. "Kata Mama, Kakak bakal nginep. Kenapa main gimnya di rumah?" tanya Tulip berusaha mengalihkan fokus Aaron. "Ah, iya. Niatnya gitu, tapi gak jadi," jawab Aaron. Lalu ia bicara lagi, "Emm… maaf tadi aku udah nyebut nama itu," ujar Aaron. "Gak perlu minta maaf, Kak. Kalo memang itu nama mereka, ya untuk apa Kakak sembunyikan?" jawab Tulip lagi. Ia melanjutkan langkahnya dan duduk di kursi belajarnya. "Sebenernya, mereka dateng ke sini bukan tanpa alasan," ujar Aaron dengan suara yang tampak ragu. "Maaf aku terlalu lambat, jadinya malah bikin kamu dapet mimpi buruk." "Apa hubungannya sama mimpi burukku?" tanya Tulip tak mengerti. "Ayo, ikut ke kamarku sebentar!" ajak Aaron dengan lembut. Tulip pun mengikutinya karena penasaran. Setelah Aaron membuka pintu kamarnya, kedua temannya itu langsung meletakkan joystick dari tangan mereka dan permainannya dijeda. 'Apa yang mau mereka bahas? Apa aku seharusnya sekarang aku takut? Masuk ke kamar cowok dan ditemenin sama tiga orang yang semuanya adalah cowok,' batin Tulip yang semakin kacau. "Aku belum kenalin temen-temenku ke kamu," ujar Aaron pada Tulip. "Dia ini Rafael sama Diaz." Aaron memperkenalkan temannya satu persatu pada Tulip. Usai Aaron memperkenalkan teman-temannya, seseorang yang memiliki nama Diaz mulai angkat bicara. Sebelum mulai, ia menghela napas yang cukup panjang. Ekspresinya tak bisa dideskripsikan, begitu juga Tulip. Mereka saling tatap beberapa saat. Tanpa disadari, jantung keduanya kini berdebar begitu kuat. "Tulip, ini aku... Diaz," ujar Diaz pelan. Mendengar itu, Tulip masih mematung. Ia tidak tahu harus bagaimana. Dalam mimpi, ia sudah bertemu dengan Diaz yang ia tunggu selama ini. Namun, penantiannya tak berarti apapun karena 'Diaz-nya' sudah sangat berubah. Melihat Tulip yang masih bergeming, Diaz kembali bicara dan meyakinkan kalau ia adalah seseorang yang selama ini Tulip tunggu. Berbeda dengan yang ada dalam mimpi Tulip, Diaz yang kini ada dihadapannya mengaku kalau ia juga sangat merindukan Tulip dan berharap bisa bertemu kembali. "Gimana aku bisa percaya kalau Kakak adalah Kak Diaz yang aku cari? Bukannya Kak Aaron pasti udah banyak cerita tentang aku? Jangan pura-pura jadi Kak Diaz cuma untuk menghibur aku!" ujar Tulip dengan tegas. Ia tak bisa mempercayai begitu saja setelah mimpi buruk yang sangat mengganggu pikirannya beberapa hari terakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN