Kembali membahas tentang Jia, sejujurnya sampai saat ini Tulip masih belum bisa mengingatnya. Ia tidak merasa memiliki teman bernama Jia di panti asuhan.
"Jangan dipaksa buat inget, wajar kok kalo kamu gak inget. Dia cuma sebentar di panti, gak kayak kita yang dari baru lahir," ujar Diaz.
"Iya deh, Kak. Mmm… by the way, orang tua Kakak baik, kan?" tanya Tulip kemudian.
"Baik kok, baik banget malah. Ya kamu bisa liat, aku sekarang bisa sesehat ini," jawab Diaz seraya memamerkan otot di kedua tangannya yang sebenarnya belum terbentuk.
"Haha, iya percaya kok. Kakak sekarang jadi orang hebat, jadi idola banyak cewek." Nada bicara Tulip terdengar sedikit berbeda, namun Diaz tak menyadarinya.
"Jadi orang hebat sih belum, tapi kalo idola banyak cewek, aku setuju," jawabnya seraya tertawa. Terkesan ia begitu bangga dikelilingi banyak perempuan yang menggilainya.
"Dasar! Memang gak ada satupun yang Kakak suka gitu?"
"Hm? Gak ada. Memang harus, ya?"
"Ya… enggak sih. Cuma daripada jadi rebutan gitu. Kalo Kakak ada yang punya, kan, mereka berhenti deketin Kakak."
Sebenarnya Tulip enggan mengatakan hal ini, sebab ia pun tidak berharap hal itu terjadi. Dia belum siap kalau harus berbagi, meskipun statusnya hanyalah seorang adik.
"Kalo gak suka, apa harus dipaksain? Sama aja aku PHP dong?" jawab Diaz dengan pertanyaan retoris.
Tulip memandang wajah Diaz, begitu juga sebaliknya. Biasanya, jika saling bertatapan seperti ini maka si perempuanlah yang akan salah tingkah, namun kini berlaku sebaliknya.
"K–kenapa liatinnya kayak gitu?" tanya Diaz yang langsung mengalihkan dengan membuka botol tehnya.
"Kakak udah jadi PHP, inget kan, yang pernah aku bilang?"
"Ah iya, tapi sekarang aku pelan-pelan lagi belajar buat nolak mereka kok."
"Bagus! Karena memang harus gitu!" Tulip mengacungkan jempol, lalu membuka bungkus keripik kentang.
Diaz menyandarkan punggungnya, lalu menatap ke langit. Sesekali matanya melirik ke arah Tulip yang sibuk memakan keripik kentangnya.
"Kamu sendiri gimana? Ada cowok yang kamu suka, gak?" Giliran Diaz yang mengorek informasi.
Tulip menghentikan aktivitasnya dalam mengunyah, lalu menelan sisanya. "Gak ada, gak minat," jawab Tulip tegas.
"Kenapa?" tanya Diaz penasaran. Entah mengapa Diaz merasa jawaban itu seperti menyiratkan sebuah harapan untuknya.
"Gak mau aja."
"Kalo sama aku?" Diaz memberanikan diri untuk bertanya bukan berarti ia sudah yakin, melainkan hanya 'tes ombak' saja.
"Kakak sama Kak Aaron itu sama, sama-sama kakak aku. Aku gak pernah berpikiran kita bisa sejauh itu."
Jleb! Ditolak sebelum berjuang.
Diaz menghela napas untuk menetralkan perasaannya. Ia tak ingin membentangkan jarak dengan Tulip, maka dari itu lebih baik menahan diri. Ia tahu, jalan pikiran Tulip saat ini masih sangat sederhana. Tak perlu membuatnya menjadi suatu hal yang rumit.
"Terus, kalo kamu liat aku deket sama cewek lain, perasaanmu gimana?" selidik Diaz lagi.
Pandangan Tulip fokus ke bawah, sedang memperhatikan ujung sepatunya yang berwarna hitam itu. "Kalo boleh jujur, sebenernya aku juga gak ikhlas ada cewek yang deket sama Kakak melebihi deketnya Kakak sama aku. Kayaknya bakal berlaku ke Kak Aaron juga. Tapi berhubung Kak Aaron gak deket sama cewek manapun, jadinya ya… entahlah."
"Hm, gitu. Aaron memang gitu sih. Gak sama cewek doang, sama cowok pun kadang masih kaku," ujar Diaz membenarkan.
Diaz mengambil sedikit keripik kentang dari kemasan yang masih Tulip pegang, lalu memakannya. Ia berusaha mencerna kalimat yang baru saja Tulip katakan.
'Jawabannya dari tadi gak ada yang meyakinkan, dia gak punya alasan pasti buat nolak aku karena memang dia masih polos. Untuk ungkapin perasaan ini, aku harus nunggu momen yang tepat. Dan itu bukan sekarang,' gumam Diaz dalam batinnya.
"Kak." Panggilan Tulip membuyarkan lamunan Diaz.
"Iya?"
Tulip terdiam sebentar, ia tampak seperti sedang menimbang pertanyaannya. "Selama ini, gimana cara Kakak biar terus inget sama aku?"
"Selama sebelas tahun ini?" tanya Diaz meyakinkan. Tulip mengangguk.
"Gak ada cara khusus. Aku cuma pajang fotomu di tempat yang gampang aku liat; di loker sekolah, meja belajar, dan terutama dalem dompet. Jadi aku inget sama kamu setiap saat," jawab Diaz seraya menyunggingkan senyum.
"Ah, aku malah sama sekali gak punya foto Kakak. Jadi, setiap beberapa hari sekali aku tulis sesuatu di diary-ku, aku anggep itu sama kayak ngobrol sama Kakak."
Diaz memandang wajah Tulip. Meski ia merasa bersalah karena sudah membuat seorang gadis kecil menunggu terlalu lama, namun ia juga merasa senang karena ia tak menunggu sendirian. Sebab itulah dia merasa yakin bahwa mereka berjodoh. Mungkin ada saatnya nanti Tulip bisa menerimanya.
"Kayaknya di sini makin panas," ujar Diaz sembari melihat ke langit. Matahari terlihat begitu cerah, padahal beberapa hari terakhir hujan selalu saja turun. "Mau ke dalem lagi gak?"
"Tapi ke dalem mau ngapain?" tanya Tulip bingung.
"Kita ke game center aja! Sering ke sana, kan?"
"Dulu sering sih sama Kak Aaron, tapi udah lama enggak."
"Nah, berarti sekarang wajib sama aku. Ayo ke sana!"
"Beneran? Tapi kita udah gede."
"Memang di sana buat balita? Buat orang tua aja boleh, apalagi kita. Ayo!"
Akhirnya Tulip mengabulkan ajakan Diaz, tak lupa jajanan tadi juga mereka bawa. Lagi-lagi, Diaz menggenggam tangan Tulip sembari berjalan ke dalam mall. Game center itu terletak di lantai 3, dekat dengan bioskop.
Diaz sempat goyah sebentar, ia tiba-tiba mengajak untuk menonton film. Namun Tulip menolak dengan alasan ia mudah mengantuk, padahal ia hanya menuruti larangan Aaron. Yah, Tulip masih mengingat semua syarat yang Aaron ajukan jika ingin pergi berdua bersama Diaz. Salah satunya, tidak boleh menonton berdua di bioskop.
Lagi-lagi Diaz berusaha mengerti. "Ya udah, ngegame aja biar lebih seru," jawab Diaz seraya tersenyum.
Dan benar, memilih game center jauh lebih tepat daripada bioskop. Mereka berdua memainkan apapun yang terlihat menyenangkan. Bahkan mereka bersorak kegirangan ketika Diaz bisa mengambil boneka dengan mesin capit di percobaan ke-empat. Pasalnya, keduanya selama ini belum pernah bisa mendapatkan dengan tangan mereka sendiri. Boneka itu berbentuk seperti kucing kecil yang bulat dan berwarna coklat. Tentu saja boneka itu Diaz berikan pada Tulip.
Terakhir, Diaz berinisiatif untuk mengajak Tulip untuk berfoto di dalam photobox.
"Jangan, Kak! Aku malu!" tolak Tulip lagi. Kali ini bukan larangan dari Aaron, melainkan dirinya sendiri.
"Kenapa? Jarang-jarang loh kita bisa jalan berdua gini. Ayolah! Kita belum punya foto bareng lagi selain yang kecil itu. Mana udah pudar," ujar Diaz dengan nada memelas.
"Tapi… aku malu."
"Kenapa harus malu? Kita kenal udah berapa tahun coba?"
"Mmm…."
"Udah, ayo coba dulu!" Diaz menarik Tulip ke dalam bilik photobox.
Sesampainya mereka di dalam, Diaz langsung memilih background. Tulip hanya memperhatikannya sembari sesekali melihat pantulan dirinya di cermin yang ada di depan mereka–untuk memastikan apakah penampilan kali ini masih baik atau tidak. Ia menghela napas lega ketika mengetahui kalau penampilannya masih sama baiknya seperti awal berangkat.
"Mulai foto sekarang?" tanya Diaz.
Bisa dirasakan saat ini jantung Tulip sedang berdebar karena gugup. Diaz mencoba beberapa pose sebelum mengambil gambarnya. Tulip mengatur napasnya lagi.
"Ayo mulai, Kak!" ajak Tulip.
Karena sudah terbiasa berfoto–berkat paksaan Freya–maka hal seperti ini bukanlah hal yang sulit bagi Tulip. Awalnya saja menolak, padahal setelah dicoba mereka justru menjadi ketagihan. Ia senang karena memiliki partner foto yang tepat. Tidak seperti Aaron yang sering malu-malu.
Tak cukup 1 lembar foto yang tercetak, mereka bahkan mengambilnya sampai 3 lembar. Yang mana masing-masing terdapat 6 potong foto mereka berdua.
"Tuh, kan, jadi ketagihan!" ledek Diaz.
"Ya maaf. Tadi, kan, aku gugup," jawab Tulip jujur.
"Dasar!" ujar Diaz seraya mengusap puncak kepala Tulip. "Aku minta satu, sisanya kamu aja."
"Iya, makasih!" jawan Tulip senang.
Hari ini dia sangat bahagia karena bisa bersenang-senang dengan orang yang selama ini sudah ia tunggu. Begitu juga Diaz. Akhirnya saudara yang terpisah kini bisa kembali bersama seperti dulu–dengan keadaan yang jauh lebih baik.