26. Nostalgia Masa Kecil

1245 Kata
Akhirnya hari yang sangat ditunggu pun tiba. Diaz memiliki waktu untuk pergi berdua dengan Tulip. Kebetulan Aaron harus menemani Freya pergi ke suatu tempat, akhirnya ia harus mengikhlaskan Tulip untuk pergi berdua dengan Diaz. Bukan Aaron jika tidak cerewet pada Tulip. Begitu mengetahui kalau Tulip akan pergi, ia langsung menasehati banyak hal dan juga memberikan banyak peringatan. Hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan Diaz–bahkan Aaron bertindak melebihi kedua orang tuanya. "Kita mau jalan ke mana?" tanya Diaz ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil. "Kemana aja. Tempat yang bisa cerita-cerita mungkin." "Ah, aku tau," ujar Diaz kemudian. Mereka pun menuju suatu tempat yang juga sebenarnya sering Tulip kunjungi, yakni Mall Daisy. Mall tersebut masih satu kepemilikan dengan sebuah apartemen yang cukup terkenal, yakni Apartemen Daisy–tempat dimana Valent tinggal. "Memang di sini kita bisa ngobrol?" tanya Tulip bingung. Biasanya ia ke tempat itu untuk menemani Freya berbelanja, atau hanya sekedar untuk makan. Memang ada beberapa restoran yang cocok untuk mengobrol, namun Tulip belum pernah mencobanya. "Bisa kok. Di sebelahnya ada taman. Atau kalo mau di lantai 3 juga bisa. Dari sana kita bisa liat pemandangan. Cuma mandangin mobil lalu lalang sih," ujar Diaz seraya tertawa kecil. "Bosen liatin mobil doang mah." "Tapi, kalo pas waktunya matahari terbenam, di sana bagus untuk foto. Mau coba?" "Kayaknya aku lebih tertarik duduk di tamannya aja deh, Kak." "Oh, ya gak masalah. Ayo kita beli cemilan dulu, nanti baru kita ngobrol." "Oke." Mobil mulai memasuki area parkir di basement. Sesuai permintaan Aaron, mereka boleh pergi asalkan diantar oleh supir pribadi keluarga Arkin. Sepertinya Aaron lebih cocok menjadi seorang ayah daripada seorang kakak. Sadar udara di luar kini sering dingin, Tulip tak lupa menggunakan pakaian yang hangat. Ia mengenakan sweater turtleneck berwarna baby blue dan dipadukan dengan skinny jeans hitam. Sangat sederhana, namun sangat cocok di tubuh Tulip yang mungil. Pakaian yang ia gunakan kali ini juga merupakan anjuran dari Aaron. "Kamu gak boleh pake baju yang pendek-pendek kalo gak lagi sama aku!" Begitu ucap Aaron. Tulip tidak masalah, toh koleksi baju minimnya juga tidak banyak. Bahkan ia hampir tak pernah menggunakannya. Tulip dan Diaz keluar dari mobil. Mobil mereka terparkir tepat di depan pintu masuk di basement gedung mall, sehingga mereka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Tanpa meminta persetujuan, Diaz menggenggam tangan Tulip sembari berjalan. "Kak, jangan pegangan ih! Malu!" ujar Tulip pelan. "Aku jalannya cepet, kalo gak gandengan nanti kamu ketinggalan," dalih Diaz. "Alasan aja!" "Hehe, sorry. Pokoknya gak akan aku lepasin!" "Ya-ya-ya! Terserah Kakak aja," jawab Tulip pasrah. Diaz sengaja tidak memilih lift, karena tujuan mereka adalah untuk menghabiskan banyak waktu berdua. Sehingga untuk bisa sampai ke lantai 2 mereka hanya menggunakan eskalator. "Kamu pasti udah sering ke sini, kan?" tanya Diaz. "Iya, Mama sering belanja di sini. Soalnya barangnya lebih lengkap. Jadi gak perlu pindah ke mall lain." "Ah gitu, bener juga sih. Mana ibu-ibu, kan, pasti belanjanya macem-macem." "Iya, gitu," jawab Tulip membenarkan. Kini mereka sudah sampai di lantai 2, tujuan mereka adalah Days Mart, sebuah supermarket besar dan sudah memiliki banyak cabang–salah satunya ada di mall ini. Jika orang mengira belanja di mall itu semua mahal, maka opini tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena pada kenyataannya, barang-barang yang dijual di Days Mart ini harganya cukup bersaing dengan minimarket di luaran sana. Bahkan ada beberapa barang yang harganya lebih murah daripada harga pasaran. Diaz mengambil keranjang belanja dan mengajak Tulip ke rak penjualan makanan ringan. "Kenapa bawa keranjang? Memang mau jajan banyak?" tanya Tulip bingung. "Iya, kita mau ngobrol banyak soalnya," jawab Diaz disertai dengan senyuman. Terlihat Diaz begitu bahagia saat ini. Tak peduli cintanya akan terbalas atau tidak, bisa berada di dekat Tulip saja sudah menjadi kebahagiaan tersendiri dalam dirinya. Mereka mengambil makanan yang memang disukai. Mulai dari keripik kentang rasa sapi panggang, keripik singkong balado, biskuit keju, wafer rasa vanilla, minuman rasa jeruk, teh dengan gula yang rendah, dan juga minuman wajibnya adalah air mineral. Tulip melongo ketika Diaz memasukkan semua itu ke dalam keranjangnya. "Kakak serius? Ini mau dimakan sekarang apa untuk persediaan di rumah?" "Haha! Udah, tenang aja! Inget, kita ngobrol gak sebentar." "Tapi… itu terlalu banyak." "Ya kalo gak abis, kan bisa dibawa pulang." "Iya juga sih." "Makanya, udah nurut aja!" "Iya-iya." Setelah dirasa cukup, mereka pergi ke kasir untuk membayar. Diaz yang membayar semuanya. Ia tak mengizinkan Tulip untuk membayar sepeserpun. Melihat perlakuan Diaz yang kurang lebih sama seperti Aaron, ia hanya bisa menggelengkan kepala. Mau berbeda seperti apapun juga, jika orang itu sudah bersahabat pasti mereka memiliki kesamaan. Usai membayar, mereka kembali ke lantai dasar. Sebenarnya Diaz ingin mengajak Tulip ke restoran yang ada di lantai 3, yang mana view dari restoran tersebut cukup bagus dan juga romantis. Sayangnya, Tulip tidak menghendaki itu. Sampailah mereka di taman yang letaknya tak jauh dari pintu samping mall. Taman tersebut tidak luas, tapi lumayan nyaman dan hijau. Enak dipandang mata. Di sana juga disediakan beberapa kursi yang memiliki sandaran, sehingga pengunjungnya akan lebih betah dalam memanfaatkan salah satu fasilitas mall tersebut. Diaz memilih kursi yang terletak di bawah pohon yang rindang, lalu ia membuka wafer vanilla. "Kamu tau gak kenapa aku ambil ini?" tanya Diaz. "Gak tau, memang kenapa?" "Ah… dulu waktu kita masih kecil, Bunda sering beliin kita makanan. Pernah waktu itu, Bunda beli wafer ini. Kamu baru makan sedikit, eh direbut sama Mona. Mana sisa wafernya udah gak ada, udah abis semua." "Oh iya? Aku malah gak inget," jawab Tulip jujur. "Wajar, kamu masih kecil banget soalnya. Jadi, karena aku liat wafermu diambil Mona, aku bertekad suatu saat nanti, aku pasti bisa kasih wafer yang lebih banyak buat kamu." "Iih, Kakak malah bikin aku terharu!" ujar Tulip yang langsung mengeluarkan tisu dari dalam tasnya, air matanya mulai memberontak untuk keluar. "Jangan nangis dong! Wajar, kan, sebagai Kakak, aku pengen kasih yang terbaik buat kamu." "Iya aku paham, Kak. Tapi umur kita dulu, kan, masih terlalu kecil. Masa Kakak udah mikir gitu? tanya Tulip yang masih tidak percaya. "Iya, serius deh! Pokoknya ketika kamu dapet perlakuan gak adil, rasanya aku pengen pukulin mereka semua. Tapi aku juga sadar, dibanding yang lain badanku gak ada apa-apanya. Ngelawan dikit, yang ada aku juga yang kena gebuk. Makanya, aku bener-bener seneng kita bisa ketemu lagi, setidaknya aku pengen kasih apapun yang gak bisa kamu dapetin dulu." Ucapan Diaz terdengar begitu tulus. Ia benar-benar menyayangi Tulip, bahkan sebelum ia tahu apa artinya menyayangi. "Aku juga seneng, penantianku gak sia-sia. Aneh sih kalo dipikir, bisa-bisanya percaya sama anak kecil. Tapi, ya, ini kenyataannya. Gak selamanya omongan anak kecil itu cuma omong kosong, kadang mereka juga bisa berpikir lebih jernih dan sederhana daripada kita." "Setuju banget sih!" Mereka mulai bernostalgia dengan ingatan yang masih tersisa. Mulai dari yang haru sampai yang paling lucu. Meski masa kecilnya lumayan tidak menyenangkan, namun jika diingat kembali mereka justru tertawa sendiri. "Kenapa dulu aku lemah banget, ya? Padahal lawan aja bisa tuh!" ujar Tulip yang gemas pada dirinya di masa lalu. "Jangankan kamu, aku pun sama. Bisa-bisanya takut cuma karena kalah ukuran badan. Padahal kalo berantem, kayanya aku menang." "Pede banget!" hardik Tulip. "Haha, abisnya mereka sombong, tapi giliran suruh lawan belum tentu menang. Ah jadi kepikiran, mereka semua sekarang di mana, ya? "Hm, entahlah. Ketemu Jia aja malah jadi banyak pengalaman gak enak, bahkan sampe dia dikeluarin dari sekolah. Rasanya mungkin lebih baik gak usah ketemu lagi daripada ketemu tapi kelakuannya malah kaya musuh. Mending gak kenal sekalian." balas Tulip kemudian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN