'Gak boleh telat, harus wangi, harus cantik! Oke, selesai!'
Kalimat tadi terus berputar dalam pikiran Tulip. Kini ia sudah selesai merapikan rambutnya. Ia tak pernah menggunakan make-up berlebihan; ia hanya menggunakan bedak bayi dan sebuah lip balm yang dibelikan paksa oleh Freya.
"Hmm, Mama bener. Aku keliatan lebih seger setelah pake lip balm ini," gumam Tulip di depan cermin yang kemudian melangkah keluar dari kamarnya.
Mood-nya sangat baik pagi ini. Sudah lama ia lingkari tanggal hari ini di kalender duduk bergambar dirinya dan Aaron. Tentu saja lagi-lagi ini adalah perbuatan Freya. Setiap tahun ia membuat kalendernya sendiri, bergambar satu keluarga kecil tersebut. Namun, tentu saja paling banyak adalah gambar Tulip, Aaron lumayan susah jika diminta untuk diambil gambar dirinya.
Usai sarapan, mereka juga berangkat bersama–Richard sebagai supirnya. Mereka menganggap hari ini adalah hari spesial, hari dimana Tulip pertama kalinya belajar sebagai siswi SMA. Semua tampak bahagia, namun tidak dengan Aaron. Wajahnya jarang berekspresi, kecuali ketika ia sedang berdua bersama adik kesayangannya dan juga teman terdekat.
"Aaron, jaga adikmu baik-baik! Jangan asyik sendiri!" pesan Freya sebelum Tulip dan Aaron turun dari mobil.
"Iya, Mama. Udah berapa kali Mama bilang itu pagi ini?" jawab Aaron.
"Mama cuma ngingetin kok," jawab Freya lagi.
"Udah-udah! Tulip udah gede loh, gak perlu sampe segitunya!" Tulip berusaha melerai mereka.
"Tulip!" panggil Richard.
"Ya, Pa?"
"Kalo cari pacar, cari yang lebih ganteng dari Aaron, ya!" pesan Richard berhasil membuat bibir Tulip maju seperti bebek.
"Pffttt!" Aaron pun turut menahan tawa. Mereka semua tahu kalau Tulip paling anti jika membahas tentang pacar-pacaran.
"Berangkat!" ujar Tulip kesal seraya mencium tangan kedua orang tuanya dan turun dari mobil.
Dengan tawa yang masih ditahan, Aaron ikut turun dari mobil dan mengikuti langkah Tulip. Ia mulai menyadari kalau adik kecilnya itu sudah menginjak masa remaja, ia bisa kapan saja jatuh cinta dengan lawan jenisnya. Kini Tulip sedang dirangkul oleh Naya, ia bisa melihat tawa yang begitu renyah dari wajah Tulip. Ia juga menyadari kalau adiknya lumayan cantik jika dibandingkan dengan teman sebayanya. Sebagai kakak, tentu Aaron tidak bisa berleha-leha apalagi membiarkan sembarangan lelaki bisa mendekati adiknya.
"Hei! Akhirnya kita ketemu lagi!" sapa seorang siswa yang tiba-tiba muncul dan langsung menepuk bahu Aaron.
"Hmm," jawab Aaron tanpa sepatah kata pun.
"Mana adikmu? Katanya dia masuk SMA kita juga?" tanyanya lagi.
"Jangan coba-coba untuk deketin adikku!" sergah Aaron dengan cepat. Ia tahu temannya itu adalah magnet bagi wanita. Siapapun yang melihatnya bisa langsung jatuh cinta. Ia tak ingin Tulip menjadi korbannya entah yang keberapa.
"Wooo, santai dong! Aku gak bakal ganggu adikmu. Kalo aku pengen ikut jaga dia, apa itu salah?"
"Gak, aku gak percaya!" jawab Aaron seraya mempercepat langkahnya dan mendahului Tulip.
Di sisi lain.
"Eh, liat! Kakak itu ganteng!" seru Naya.
"Yang mana?" tanya Tulip yang tak kalah semangat.
Naya menunjuk dua orang lelaki yang baru saja melewati mereka. Satu orang berjalan lurus ke depan, yang satunya lagi seolah ingin mengajak bicara namun tidak mendapatkan respon.
"Oh, itu kakakku," jawab Tulip dengan santai.
"Serius dia kakakmu? Yang mana? Yang tas item apa merah?"
"Yang item."
"Wow, dari samping tadi keliatan ganteng, apalagi dari depan, ya?" ujar Naya memuji Aaron.
"Sebenernya gak ganteng, tapi bagiku dia ganteng banget," jawab Tulip sesuai dengan apa yang ada di dalam benaknya.
"Kenalin aku sama kakakmu, please!"
"No! Dia orangnya dingin banget, kamu gak bakal betah kalo deket-deket sama dia." Tentu saja Tulip tidak membual, karakter Aaron memang seperti itu.
"Jangan bohong! Kamu cuma gak pengen dia lebih deket sama aku, kan?" ujar Naya yang masih mengeyel.
"Buktiin aja kalo gak percaya!"
Mereka pun menuju mading untuk melihat denah kelas. Karena mereka hanya mengetahui kelas masing-masing tanpa tahu di mana letaknya. Yang pasti, kelas XII sebagian besar ada di lantai paling atas, dan paling bawah ditempati oleh kelas X.
Setelah menemukan di mana letak kelasnya, Tulip dan Naya langsung masuk ke dalam kelas. Karena hari pertama sekolah, tentu hampir seluruhnya datang lebih pagi dari jadwal yang sudah diberikan. Bangku yang kosong juga tinggal tersisa beberapa.
"Kamu mau duduk di mana?" tanya Naya.
"Di mana aja, asal jangan paling belakang! Takutnya aku sering ketiduran," jawab Tulip. Ia sadar kalau dirinya mudah mengantuk dan sulit fokus. Jadi, bangku paling depan adalah pilihannya sejak SMP.
"Oke, paling depan, ya?" ujar Naya menentukan pilihan dan langsung duduk di kursi paling depan yang semuanya masih kosong. Mereka duduk di bangku paling depan dan kedua dari pintu masuk.
Kesan pertama masuk kelas ini adalah nyaman. Tulip menyukai ruang kelasnya yang warnanya adalah biru pastel. Lembut dan menenangkan, namun satu yang Tulip takutkan, ia bisa lebih mudah tertidur jika suasananya terlalu nyaman.
Kelas mulai penuh, suara para siswa mendominasi ruang kelas. Sedangkan para siswi masih tenang di bangkunya, sepertinya banyak yang belum saling kenal. Dibanding memperhatikan siswa laki-laki, Tulip lebih terkesan melihat teman-teman perempuannya. Mereka semua sudah pandai bersolek. Tak hanya bibir, pipi dan kelopak mata mereka terlihat kemerah-merahan seperti orang yang sedang demam.
"Hai, boleh kenalan?" ucap seseorang yang kini berdiri di depan meja Tulip dan Naya.
"Boleh, namaku Naya," ucap Naya seraya mengulurkan tangan kanannya.
"Aku Valent," jawab anak lelaki itu membalas uluran tangan Naya sembari memperkenalkan dirinya.
"Aku Tulip." Tulip ikut memperkenalkan diri sembari tersenyum tanpa memberikan tangannya.
"Ah, seneng bisa kenal sama kalian," jawab Valent seraya membalas senyuman Tulip. "Aku duduk di belakang kalian dan belum dapet temen sebangku, jadi kupikir gak ada salahnya kenalan sama kalian berdua dulu."
"Iya, gak masalah kok," jawab Naya.
Kemudian mereka mulai mengobrol beberapa hal. Mulai dari saling bertanya asal sekolah, sampai hal-hal menarik lainnya. Dari cara mereka berbincang, sepertinya mereka bisa menjadi teman baik. Sekilas Tulip menengok ke arah pintu, sepertinya seseorang baru saja melihat ke arahnya. Sayang orang itu sudah berlalu dari sana. Sehingga Tulip tidak mengenalinya dengan jelas.
"Ada apa, Lip?" tanya Naya.
"Bukan apa-apa, ada orang lewat," jawab Tulip santai.
Bel masuk mulai berbunyi, semua kembali ke tempat duduk masing-masing. Seperti yang sudah disampaikan melalui edaran, jam pertama adalah penentuan pengurus kelas. Wali kelas Tulip seorang perempuan, Bu Danastri yang minta dipanggil Bu Astri saja. Beliau masih muda dan cantik, tak heran jika ketika ia masuk ke kelas banyak siswa yang bersorak menyambutnya.
"Apa kamu udah nentuin mau ikut ekskul yang mana?" tanya Naya setelah pemilihan pengurus kelas selesai. Kini mereka sedang dibagikan form untuk memilih ekstrakurikuler.
"Sebenernya belum, mungkin aku bakal ikut…." Ucapannya terhenti sembari melihat satu persatu daftar ekstrakurikuler yang kini ada di tangannya.
"Cheerleaders aja! Ayolah!" bujuk Naya.
Tulip menggeleng dan menjawab, "Udah kubilang itu bukan ide yang bagus." Ia diam sejenak, lalu menentukan pilihan. "Aku pilih jurnalistik."
"Yakin?" tanya Naya meragukan.
"Yakin gak yakin sih, tapi aku harus yakin," jawab Tulip sembari mengangguk-angguk.
Naya pun pasrah, ia tidak mungkin memaksakan kehendaknya. Terlebih alasan Tulip adalah kondisi fisiknya yang kurang memungkinkan untuk mengikuti ekskul cheerleaders.
***
"Kamu tau, adikmu itu lebih cocok jadi adikku," ujar teman Aaron. Kini mereka sedang memakan bakso di kantin sembari memperhatikan Tulip dari jauh.
"Sembarangan!" sergah Aaron.
"Dia keliatannya ceria banget dan aktif, gak kaya kamu yang kaku dan cuma temenan sama buku."
"Iya, dan kamu bukan temenku," jawab Aaron menyetujui.
"Ralat, temenmu semuanya buku, kecuali aku," jawabnya lagi.
"Aku pengen ngenalin adikku ke kamu," jawab Aaron.
"See? Hmm, bahkan seorang kakak pun akan menyerahkan adiknya padaku," jawabnya dengan penuh percaya diri.
"Bukan, dia selama ini lagi nyari seseorang. Dan kayanya seseorang yang dia cari itu kamu."
"Aku? Kenapa bisa?" jawabnya lagi.
"Karena namamu Diaz," jawab Aaron datar dengan tatapan mata yang tak berpindah sedikitpun dari Tulip.