40. Jadilah Milikku!

1099 Kata
"Apa kami harus wawancara ulang?" tanya Tulip dan Tasya bersamaan. Awalnya mereka sempat merasa kesal, karena tak ada perintah untuk mewawancarai ketua ekskulnya. Jika memang hal ini dipermasalahkan, Tasya sudah berniat untuk membantah. Mita menggeleng dan meletakkan laporan itu kembali ke meja. "Gak harus kok, cuma heran aja. Padahal Tulip deket sama Diaz, tapi lebih pilih sama orang lain. Memang kalian kenal sama Chandra sebelumnya?" tanya Mita lagi. Kedua junior itu kompak menggeleng. "Kami gak kenal, Kak," jawab Tulip mewakili. "Bagus!" puji Mita lagi. Kemudian ia membungkukkan badan dan berbicara dengan suara pelan, "Kalian dapet nilai plus dari saya," ujarnya kemudian pergi. Tulip dan Tasya pun saling lirik kemudian tersenyum senang, lalu melakukan high five (tos) dengan senangnya. "Kayanya Kak Diaz tau deh, makanya dia nyuruh orang lain," tebak Tasya. "Tau apa?" Tulip masih belum mengerti. "Ya dia tau, kalo kita wawancaranya sama dia nilai kita bakal beda," jawab Tasya. "Ah, ya-ya-ya. Mungkin aja sih," balas Tulip sambil mengangguk. Mereka pun mengumpulkan laporan hasil liputan hari ini, tak lupa menyimpan salinannya juga sebagai bahan belajar. Sementara itu di lapangan basket, mereka baru mulai beristirahat. Sebagian pergi ke kantin, sebagian lainnya masih berada di lapangan. Chandra dan Diaz termasuk orang yang tinggal di lapangan. "Sama Tulip beneran jadian?" tanya Chandra. Diaz baru saja membuka botol minumnya. "Belum," jawabnya singkat, lalu meminum airnya beberapa teguk. "Kenapa? Kan, kamu suka banget sama dia. Kayanya juga anaknya baik," ujar Chandra lagi. "Bukan karena itu." Ekspresi wajah Diaz menyiratkan perasaannya yang sedang suram. "Karena Aaron?" Chandra masih terus bertanya, ia sangat penasaran mengapa cowok yang terkenal playboy ini justru memiliki kepribadian yang sangat berkebalikan dengan image-nya di luaran. "Dia cuma anggep aku sebagai kakak," ungkap Diaz. "Ya wajar dong, selama ini memang gitu, kan? Kalo kamu gak coba maju, gimana anggapannya mau berubah?" Mendengar itu, Diaz langsung menengok dan menatap wajah Chandra. "Kalo dia malah jadi menjauh, siapa yang bisa tanggung jawab?" tandas Diaz. Sontak Chandra menarik napasnya dan mengembuskan lagi perlahan. "Ya itu memang konsekuensinya, tapi kurasa gak masalah. Dia nunggu kamu udah lama banget, rasanya gak mungkin dia bakal ngilang lagi cuma karena ungkapan perasaan dari kamu." "Iya, aku sempet mikir gitu, tapi aku gak berani ambil resiko," jawab Diaz sembari melihat ke sekeliling lapangan, berharap ada sosok Tulip di sana. "Saranku, mending ungkapin! Kamu gak akan bisa nyaman dengan perasaan kaya sekarang, belum lagi misal suatu saat dia pacaran. Memang kamu ikhlas?" Diaz menggeleng. "Mungkin enggak." "Nah itu, bener apa yang dilakuin Shendy–" "Kok jadi ke Shendy?" potong Diaz. "Makanya dengerin dulu!" omel Chandra. Diaz hanya mengangguk malas. Dia kurang nyaman mendengar nama Shendy karena rasa bersalahnya yang belum memudar. "Shendy berani ungkapin perasannya ke kamu, jarang-jarang loh cewek mau begitu! Apalagi alasannya kalo bukan demi kepastian? Memang kamu gak butuh kepastian? Memang cukup cuma terus-terusan cari makna tersirat dari semua perlakuan Tulip tanpa tau gimana perasaan dia yang sebenernya?" Ucapan Chandra ada benarnya, Diaz mulai goyah. "Ketika kamu udah ungkapin perasaan ke dia, kamu bakal punya dua kemungkinan jawaban; diterima atau ditolak. Misal ditolak pun kamu bisa tetep bujukin dia, kan, kalian kakak adik. Misal diterima, ya itu rejeki," jelas Chandra lagi. Diaz hanya diam dan mengamati ujung sepatunya. "Nanti aku pertimbangin lagi," jawabnya. Berkat obrolan kali ini, perasaan Diaz kembali bimbang. Padahal sebelumnya ia sudah mulai nyaman dengan ikatan yang seperti ini saja. *** Satu minggu berlalu, keputusan Diaz sudah bulat. Ia memberanikan diri untuk mengajak Tulip ke halaman belakang sembari menunggu kegiatan ekstrakurikuler dimulai. "Ada apa, Kak? Kok tumben ngajak ngobrol di sini?" tanya Tulip dengan lugunya. "Gak apa-apa, cuma lagi pengen ngobrol aja," jawab Diaz. Sebenarnya jantungnya kini sedang berdebar cukup kencang, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Tulip hanya mengangguk, dia tak menaruh curiga sama sekali. Sebab Diaz memang sering menghampirinya di waktu yang tidak bisa diprediksi. "Aku mau tanya dong, kamu… em, antara aku sama Aaron, apa ada tempat yang istimewa buat kami?" Begitu gugupnya Diaz, sampai-sampai pertanyaannya berbelit seperti itu. Untung saja Tulip paham maksudnya. "Tempat istimewa udah pasti ada dong!" jawab Tulip yakin. "Yang gimana itu?" tanya Diaz yang membutuhkan penjelasan lebih. "Ya… intinya Kakak sama Kak Aaron sama-sama istimewa." Tulip tak bisa menjelaskan, hanya dia yang bisa merasakan keistimewaan itu. Diaz kembali bertanya dengan pertanyaan yang lebih menjurus, "Kamu… pernah ngerasain suka sama seseorang, gak?" "Suka? Belum. Kakak lagi suka sama seseorang?" Pertanyaan Tulip membuat debaran jantung Diaz semakin kuat. Bahkan Diaz sudah berkali-kali mengatur napas agar rasa gugupnya samar di mata Tulip. "Iya," jawab Diaz. Tulip sedikit merasakan perasaan yang tak biasa. Tak ikhlas sudah pasti, karena ia tak ingin kasih sayang Diaz terbagi. "Ah, gitu. Siapa orangnya?" tanya Tulip dengan lesu. Diaz bisa menangkap perbedaan cara bicara Tulip itu. 'Kenapa dia tiba-tiba lesu? Apa dia cemburu?' batin Diaz. Respon Tulip membuatnya sedikit senang, karena ia mengira kalau Tulip memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Keberaniannya semakin meningkat setelah itu. Ia bahkan berani untuk menggenggam tangan kanan Tulip. Tulip cukup kaget, semakin hari ia makin tidak nyaman dengan perlakuan Diaz yang seperti ini. Jujur saja, ia lebih nyaman cara Aaron memperlakukannya, meski terkesan sangat cuek. "Lip, aku mau ngomong sama kamu, tapi tolong jangan benci aku setelah ini, ya!" ujar Diaz. "Kenapa aku harus benci sama Kakak? Kakak lagi suka sama siapa memangnya?" tanya Tulip dengan jujur. Diaz kembali diam, namun tangannya masih menggenggam tangan Tulip. Jantungnya berdebar kencang, keberaniannya kembali menciut, namun ia merasa sudah kepalang. Kalau ia mundur, maka hatinya akan semakin tak karuan. "Kak? Kok malah diem," tanya Tulip lagi. "Kamu tau, kan, gimana sayangnya aku ke kamu?" tanya Diaz dengan keberanian yang ia paksakan. "I…ya, memang kenapa?" "Aku… mmm… aku gak mau kehilangan kamu, Lip." Ucapan Diaz semakin membuat Tulip bingung. "Kenapa Kakak bilang gitu? Apa Kakak takut aku bakal benci sama Kakak kalo kakak pacaran?" Tulip bertanya seolah ia membaca ketakutan Diaz, namun sebenarnya ia hanya mengucapkan ketakutannya sendiri yang tak ingin Diaz diambil siapapun. "Enggak! Bukan itu. Ah, aku…." Diaz tak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia terlalu takut kehilangan Tulip. "Cerita aja, gak apa-apa! Aku gak akan marah kok. Kakak suka sama siapa? Kak Shendy, kah? Atau siapa?" tebak Tulip. "Kamu, Lip! Kamu yang aku mau, bukan mereka." Akhirnya Diaz mengutarakan isi hatinya. Apakah rasanya lega? Belum. Debaran jantungnya masih belum mereda. Tulip menatapnya dengan bingung. "Aku? Kakak mau aku? Maksudnya?" Meski tak tahu apa maksud ucapan Diaz, namun ia juga berasa jantungnya berdebar. Diaz menatap mata Tulip lekat, kali ini ia menyatakan perasaannya dengan lebih baik dan tenang. "Aku sayang sama kamu, Lip. Sayang lebih dari sekedar kakak. Aku mau kamu jadi milik aku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN