"Aku sayang sama kamu, Lip. Sayang lebih dari sekedar adik. Aku mau kamu jadi milik aku!"
Kalimat itu terngiang dan terus berulang dalam ingatan. Tulip menjadi tidak bisa fokus dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler hari ini. Beruntung ia sudah presentasi hasil tugasnya minggu lalu, hingga hari ini ia hanya tinggal melihat hasil kerja temannya yang lain.
"Lip, kamu gak apa-apa?" tanya Tasya yang tampak khawatir karena melihat perilaku Tulip berbeda dari biasanya.
"Hm?" Tulip kaget ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh Tasya, ternyata ia melamun sejak tadi.
"Kamu kenapa? Lagi sakit? Atau ada masalah?" tanya Tasya lagi.
"Mmm… enggak, enggak kok! Aku baik-baik aja," bantah Tulip dan kemudian ia tersenyum tipis untuk membuktikan kalau dirinya baik-baik saja.
Tasya melirik tak percaya. "Bohong ih! Kamu gak biasanya kaya gini tau!" tukas Tasya.
Kemudian Tulip mendekat, lalu berbisik, "Aku laper. Kita ke kantin bentar, mau gak? Kan, kita udah maju," ajak Tulip. Ia tidak berbohong, ia sedikit merasa lapar.
"Sebenernya aku juga laper," tambah Tasya seraya melihat sekeliling dan memperhatikan seniornya. "Tapi aku gak berani untuk bolos ke kantin," ujarnya lagi.
"Sama aja sih kalo itu," balas Tulip. Kemudian ia menyembunyikan kepalanya di antara lipatan tangan.
Tasya kembali melihat ke depan. Lapar dan kantuk mulai menyerangnya karena hari sudah menjelang sore. Sedangkan Tulip masih terus memikirkan ucapan Diaz. Hatinya kini menjadi tak karuan. Rasa tidak nyaman di perutnya bukan karena lapar, melainkan karena pikirannya yang sedang tidak tenang.
'Bahkan aku gak tau apa yang aku rasain sekarang,' gumam Tulip dalam batinnya.
***
Diaz berbaring di ujung lapangan; di belakang teman-temannya yang sedang menunggu giliran untuk latihan di tengah lapangan. Berkali-kali ia menghirup napas panjang untuk menenangkan diri. Matanya terpejam dan ditutupi dengan lengan kanannya.
Flashback on.
"Aku sayang sama kamu, Lip. Sayang lebih dari sekedar adik. Aku mau kamu jadi milik aku!"
Ungkapan itu diucapkan dengan begitu lembut, namun tegas. Diaz juga mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyuman. Namun perempuan yang ada di depannya itu seketika menatapnya dengan ekspresi yang tak disangka. Tak hanya itu, ia juga langsung menarik tangan yang sedari tadi digenggam oleh Diaz.
"Maaf, Kak. Aku… gak bisa," jawab Tulip seraya memalingkan wajahnya.
Glek! Diaz menelan salivanya dengan paksa. Ia ditolak mentah-mentah.
"Ah, eng… sorry! Sebenernya aku juga gak maksa kok, serius! Aku cuma pengen kamu tau apa yang aku rasain. Aku harap kamu gak menghindar karena pernyataanku hari ini," ujar Diaz.
Tulip hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus bicara apa. Suasana menjadi sangat dingin dan canggung. Nada dering dari sebuah notifikasi di ponsel Tulip berbunyi, ia mendapatkan pesan dari Tasya yang mengabarkan kalau dirinya sudah ada di kelas.
"Udah… mau ke… kelas, ya?" tanya Diaz ragu-ragu. Ia benar-benar canggung.
"Hm, iya," jawab Tulip yang tak kalah pelan.
"Ya udah, sana ke kelas! Anggep aja– Ah, maaf aku malah bikin keadaan jadi gak baik gini," ujar Diaz.
"Gak apa-apa, Kak."
Tulip ingin bicara lebih banyak, namun rasanya kata-kata itu tak mampu keluar dari mulutnya. Ia langsung berdiri dan pamit untuk masuk ke kelas. Tinggallah Diaz yang duduk sendiri di halaman belakang.
"Bod*h kamu Diaz! Bod*h banget!" umpat Diaz pada dirinya sendiri.
Flashback off.
"Woy, Yaz! Buruan main!" teriak Chandra dari tengah lapangan. Memang sudah waktunya ia bermain.
Sebenarnya ia enggan, namun tak ada cara lain untuk melampiaskan perasannya yang sedang tak karuan. Ia pun bangun dan beranjak ke tengah lapangan menghampiri si bundar yang siap untuk menjadi bahan pelarian emosi Diaz.
***
Malam pukul 20.12, Tulip masih duduk di lantai kamar Aaron sembari memeluk guling–yang juga milik Aaron. Awalnya Aaron tak peduli, ia masih terfokus pada buku PR-nya di atas meja belajar. Tulip ia biarkan untuk menatap layar TV yang sedang memutar acara hunting makanan, karena hal itu memang sering Tulip lakukan.
Sampai akhirnya, Tulip beranjak dan meletakkan sebuah barang di dekat tangan Aaron yang sedang menulis.
"Apa ini? Kalung siapa?" tanya Aaron bingung seraya mengambil kalung itu. Selama ini Tulip memang menyembunyikan kalungnya di balik kerah pakaian yang ia kenakan.
"Punya aku," jawab Tulip seraya berpindah duduk di atas ranjang Aaron.
"Bagus kok kalungnya, kenapa dilepas?" puji Aaron yang belum mengetahui kebenarannya.
"Itu… dari Kak Diaz," jawab Tulip ragu.
Seketika Aaron langsung menatap wajah Tulip. "Diaz? Kapan dia ngasihnya? Kok kamu gak bilang?" tanya Aaron bertubi-tubi.
"Udah agak lama, mungkin sebulan? Pokoknya sebelum kasus Kak Meli."
"Dia ngasih ini dalam rangka apa?"
Tulip hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahunya sembari menggeleng.
"Terus, kenapa dilepas?" tanya Aaron lagi.
"Kak Diaz… dia… mmm... nembak aku," ujar Tulip dengan suara yang begitu pelan, sebab ia tahu kalau Aaron akan mengamuk.
Aaron tak langsung menjawab, ia menatap mata Tulip seolah tak percaya. "Kapan dia nembak kamu?"
Bahkan nada bicaranya terdengar seperti polisi yang sedang mengintrogasi pelaku kejahatan.
"Tadi sebelum ekskul."
"Dan kamu terima dia?"
Tulip menggeleng. "Aku gak ada pikiran untuk pacaran, apalagi sama Kak Diaz. Memang aku kasih perlakuan yang salah, ya, Kak?"
Aaron kembali mendelik ketika mendengar pertanyaan bod*h dari Tulip.
"Kamu gak salah! Jadi, tolong stop untuk menyalahkan diri sendiri, oke! Anak itu memang gak bisa diajak ngomong baik-baik," ujar Diaz seraya mengambil ponselnya.
"Kakak mau ngapain?" tanya Tulip takut.
"Telpon anak itu lah! Mau ajak ketemuan sekarang," jawab Aaron yang mulai tersulut emosi.
"Jangan, Kak! Aku mohon, jangan!"
"Dia udah ingkar janji!"
"Janji? Janji apa?"
"Dia punya janji untuk jagain kamu, dan sekarang kenapa dia ngelakuin itu?"
"Aku… aku gak ngerti apa hubungannya jagain aku sama masalah ini. Bukannya kalo kami pacaran, Kak Diaz jadi punya kuasa lebih untuk jagain aku? Meskipun aku juga gak mau sih," ujar Tulip.
"Masalahnya, memang kamu mau jadi pacarnya?" tanya Aaron lagi.
Tentu Tulip menggeleng lagi, jawabannya sudah sangat jelas. Bukan karena siapa yang mengajaknya berpacaran, namun memang Tulip masih enggan untuk berurusan dengan hal itu.
"Dia udah banyak tau tentang kamu, Lip. Harusnya dia juga tau kalo dia cuma dianggap kakak, gak lebih. Kalo dia memaksakan keadaan kaya gini, apa hal itu bikin kamu nyaman?"
Lagi-lagi jawaban Tulip hanyalah sebuah gelengan kepala saja.
"Sekarang yang kamu rasain apa?" Aaron menurunkan sedikit nada bicaranya, kali ini terdengar lebih lembut.
"Aku gak tau, Kak. Aku bingung," jawab Tulip dengan kepala yang tertunduk.
"Kamu suka sama dia? Ada niat untuk nerima dia?" tanya Aaron lagi.
Dengan cepat Tulip membantah pertanyaan itu sembari menatap wajah Aaron, "Enggak! Sekali jadi kakak, ya tetep kakak! Bahkan aku lebih sayang sama Kak Aaron, untuk apa aku malah memprioritaskan orang lain?"
Jawaban Tulip membuat Aaron seketika tersenyum dan mengusap puncak kepala Tulip. Ia bisa merasakan ketulusan yang begitu dalam dari adik kesayangannya itu.
"Apa kalo jadi pacar, orang itu otomatis diprioritaskan?" Pertanyaan Aaron kini berbelok dari bahasan utama.
"Iya, kan? Bukannya orang kalo pacaran tu pada jadi bucin? Apa-apa pacar, dikit-dikit pacar, bahkan waktu yang seharusnya bisa untuk main sama temen, eh habis buat pacar semua," jawab Tulip dengan semangat. Aaron tertawa dibuatnya.
"Aku gak membantah itu, tapi… gak semua orang yang berpacaran berakhir dengan hubungan toxic kaya gitu. Kalo ketemu orang yang tepat, hal itu mungkin gak akan terjadi," balas Aaron dengan sabar memberikan pengertian kepada Tulip.
"Jadi, Kakak nyuruh aku pacaran nih sekarang?" Tulip salah dalam mengartikan ucapan Aaron.
"Enggak!" bantah Aaron cepat. "Em… maksudnya belum. Pacaran itu gak semudah yang biasa kita liat," ujar Aaron lagi.
"Bahkan aku belum liat sisi mudahnya pacaran," balas Tulip.
"Yah, intinya kamu jangan pacaran dulu! Kamu harus benar-benar siap secara mental. Karena ketika kamu mulai menjatuhkan hari untuk seseorang, tandanya kamu udah siap untuk tersakiti."
"Sakit? Karena banyak aturan?"
"Namanya juga 'jatuh cinta', dimana-mana 'jatuh' itu sakit."
"Oh, iya juga, ya? Jadi, gak usah pacaran aja dong?"
"Iya, lebih bagus kalo langsung nikah."
"Hmm… aku setuju. Tapi… nikah juga kan harus berlandaskan cinta, Kak. Memang gak sakit?"
"Setidaknya orang yang udah siap menikah itu usianya lebih matang. Udah, ah! Kalo dijelasin sekarang gak akan ada habisnya. Kamu juga pasti susah paham karena belum ada pengalaman," ujar Aaron.
Tenyata kalimat Aaron yang terakhir menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
"Memang Kakak udah pengalaman pacaran?"
Aaron membeku mendengar pertanyaan itu, namun tentu saja ia membantah, "Ada dong! Pacaran sama buku!"
Tulip menghela napas dan menyipitkan matanya. "Setidaknya Kakak pacaran sama buku ada hasilnya, ya. Jadi bisa banyak pengetahuan, walaupun tanpa pengalaman."
Jleb! Ucapan Tulip menghujam tepat pada sasaran.