39. Kakak-adik Zone

1224 Kata
Dengan bantuan Chandra, tugas kali ini bisa berjalan dengan lancar. Sepanjang Tulip mengerjakan tugasnya, Diaz tak sedikitpun mengalihkan pandangannya. Beruntung dia sedang bukan waktunya untuk bermain, maka ia bisa lebih leluasa untuk mengawasi Tulip. Juan yang baru saja bermain satu babak, terlihat kaget setelah mengetahui ada Tulip di sana. "Sejak kapan dia di sana?" tanya Juan pada Dirga, salah satu anggota ekskul basket yang juga adalah teman kelasnya. "Tulip? Belum lama kok. Tadi abis pada heboh, masa kamu gak tau?" jawab Dirga. "Enggak, kan aku fokus main. Memang heboh kenapa?" "Kak Diaz ngerangkul Tulip, makanya pada heboh. Apalagi yang cewek-cewek tuh, pada ngeluh semua. Mereka patah hati," balas Dirga seraya berdiri, kini giliran dia yang turun ke lapangan. "Ohh, gitu doang. Kirain rame kenapa," ujar Juan sembari membuka botol air mineralnya. Ia melihat ke arah Diaz, kemudian ke arah Tulip. Dari situ ia menyadari kalau ada hal tak biasa di antara keduanya. 'Bener kata Naya, Tulip terlalu polos. Bahkan dia gak sadar kalo orang yang dia anggep kakak itu gak menganggap dia adik. Aku yakin, Kak Diaz pasti ada perasaan lebih ke Tulip,' batin Juan. Tak hanya Tulip dan Tasya yang mendapat undian meliput kegiatan di ekstrakurikuler basket, namun masih ada dua pasang lainnya. Mereka mewawancarai anggota lain, namun tentu saja bukan Diaz. Diaz tidak turun tangan langsung, ia tak ingin konsentrasinya terbagi dari Tulip. "Makasih banyak ya, Kak, udah bantu kami," ucap Tasya pada Chandra. "Sama-sama. Tahun lalu juga ada sih tugas begini, jadi kami udah gak heran," jawabnya santai. "Ah gitu," jawab Tasya, Tulip ikut mengangguk. "Oh iya, makasih juga ya Kak, udah bantu buat ngajarin pengambilan gambar yang bagus." Kini giliran Tulip yang mengucapkan terima kasih. "Sama-sama. Selagi tau cara yang baik, kenapa harus disimpen sendiri? Iya, kan?" jawabnya lagi. Ia begitu ramah, apakah semua anggota basket sama ramahnya seperti Chandra dan Diaz? Setelah dirasa cukup, mereka berdua pamit untuk kembali ke kelas ekskulnya lagi. Sebelum itu, Juan menghampiri Tulip, kebetulan ia belum dapat bagian untuk main lagi. "Hei, ngapain di sini?" tanya Juan. "Loh, iya? Aku sampe lupa kalo kamu juga ekskul basket," jawab Tulip jujur. Ia terlalu gugup pada awalnya, sampai lupa rencananya harus bertemu siapa. Kemudian ia menunjukkan kertas tugasnya. "Ini loh, aku ada tugas buat liputan," tambahnya lagi. "Kalian saling kenal?" tanya Chandra. "Iya, Kak. Kami satu kelas," jawab Juan lebih dulu. "Hm, ya-ya-ya," ujar Chandra sambil mengangguk-angguk. Mereka berbincang sebentar, Tulip juga memperkenalkan Tasya pada Juan. Chandra kembali pada kelompoknya dan giliran Diaz yang kembali menghampiri Tulip. "Gimana, ada kendala, gak?" tanya Diaz basa-basi. "Aman kok, Kak. Makasih banyak, ya!" jawab Tulip. "Sama-sama," jawab Diaz seraya tersenyum, lalu tangannya kembali mengusap puncak kepala Tulip dengan mudahnya. Tulip tersenyum tipis. Sejujurnya ia tidak nyaman menerima perlakuan tersebut, apalagi di muka umum. Kurang lebih sama seperti Aaron, ia tak suka menjadi sorotan banyak mata. Sementara itu, Juan dan Tasya juga menjadi sama canggungnya, seperti orang yang sedang menjadi obat nyamuk. "Mmm… mungkin kami harus ke kelas sekarang, Kak," ujar Tulip memberikan diri untuk pamit. "Oh, silakan! Next kalo mau nonton yang latihan, tinggal ke sini aja!" tawar Diaz. "Iya, Kak," jawab Tulip. "Tasya juga boleh!" tambah Diaz lagi seraya tersenyum. "Hehe, makasih banyak, Kak," jawab Tasya. Kemudian mereka pergi dari sana. Ya, kali ini benar-benar pergi, tidak ada yang menahan mereka lagi. Sejenak mereka saling diam. Sampai ketika posisi mereka sudah jauh dari lapangan, akhirnya Tasya kembali membuka suara. "Lip, kamu yakin Kak Diaz itu kakakmu?" "Yah, secara biologis memang bukan," jawab Tulip, ia diam sejenak. Ia menimbang untuk menceritakan secara singkat, namun ia urungkan. "Ceritanya panjang pokoknya!" "Dia perhatiannya begitu banget loh, rasanya kalo sebagai kakak gak bakal segitunya." Tasya masih terus meragukan status mereka. "Aku punya kakak satu lagi. Perlakuan dia juga kurang lebih sama, bedanya kalo di tempat umum kami terkesan malah kaya jaga jarak." "Kakak kandung?" tanya Tasya lagi. Bukan bermaksud ikut campur dalam urusan keluarganya, namun ia hanya memastikan kalau 'kakak' yang dimaksud bukan 'kakak' seperti Diaz. "Mmmm… kakak angkat sih, tapi aku udah diadopsi keluarganya dari aku kecil," jawab Tulip ragu. "Eh? Sorry!" Seketika Tasya merasa bersalah sudah bertanya akan hal itu. "Maaf! Maaf banget! Aku gak bermaksud untuk ikut campur kok, serius deh! Maaf!" Tulip tertawa kecil mendengar permintaan maaf dari Tasya. "Santai! Kamu bukan orang pertama yang tanya ini kok." "T–tapi tetep aja gak sopan. Ya ampun, beneran niatku cuma mastiin aja. Kirain kamu bilang 'kakak' tadi tuh cuma 'kakak-kakakan' aja, kaya anak-anak lain gitu. Semacam kakak-adik-zone gitu deh. Sekali lagi maaf!" "Hihi! Iya! Udah ah, aku gak apa-apa. Jangan minta maaf terus! Btw, kakak-adik-zone itu apa?" tanya Tulip penasaran. "Sama aja kaya friendzone. Ketika orang yang katanya cuma kakak-beradik, padahal salah satunya punya perasaan, atau dua-duanya punya perasaan juga bisa sih." "Ah, iya paham, tapi rasanya aku sama Kak Diaz gak begitu kok. Terutama dari aku sih, soalnya aku murni anggep dia kakak," jawab Tulip seraya mengangguk menyakinkan. "Tapi dia gak gitu, Lip. Aku merasa ada yang beda," balas Tasya yakin. Tulip hanya tertawa sambil menggeleng. "Enggak! Kamu belum tau aja kisah kami. Next deh aku ceritain, ya!" "Aku jadi penasaran. Ayo cerita sekarang!" pinta Tasya sembari memegang lengan Tulip. "Sabar! Kita masih ada tugas loh! Ini aja belum kita susun," ujar Tulip seraya menunjukkan lembaran kertas yang ada di tangannya. "Habis nyusun, kamu harus ceritain ke aku!" paksa Tasya. "Tergantung," jawab Tulip dengan kedua bahu yang terangkat. "Gak mau tau! Pokoknya harus cerita!" Tasya terus memaksa, bahkan kini ia menarik tangan Tulip. "Ayo jalannya cepet! Kita harus cepetan selesaiin ini, biar bisa cepet cerita!" "Heu! Dasar! Giliran ada maunya aja semangat ngerjain tugas, coba hari biasanya?" canda Tulip dengan nada mengejek. "Makanya, jadi manusia jangan sok misterius, jadi bikin penasaran, kan!" gerutu Tasya. Mereka pun mempercepat langkah untuk kembali ke ruangan, sesuai dengan permintaan Tasya. Ternyata ia cukup kuat untuk menarik tubuh Tulip meski badannya sama-sama kecil; tinggi dan berat badan mereka kurang lebih sama. Meski berharap 'cepat', namun mereka berdua tetap pelan-pelan dalam menyelesaikan laporan tersebut. Kata demi kata mereka susun agar membentuk laporan yang mudah diterima dan tentu saja sesuai dengan aturan yang ada. Sembari Tulip menyusun laporan, Tasya mencetak foto hasil liputan mereka menggunakan printer yang sudah disediakan. Tidak menggunakan kertas foto, hanya kertas HVS A4, yang di dalamnya dibagi menjadi dua bagian lagi. Laporan singkat akhirnya selesai dibuat. Dua lembar tulisan tangan dan dua lembar lampiran foto. "Oke, sekarang kamu harus cer–" Baru saja Tasya meminta Tulip untuk bercerita, Hana, Daniel, dah Mita sudah kembali ke kelas. "Kamu utang cerita sama aku!" bisik Tasya. Tulip hanya menahan tawanya melihat rasa penasaran temannya itu. "Wah, udah banyak yang selesai ternyata," ujar Daniel ketika ia memasuki kelas. Benar, tak hanya Tasya dan Tulip yang sudah menyelesaikan tugas liputannya. Ada empat pasang lainnya yang juga sudah duduk di kelas sembari menyusun laporan. "Ada yang laporannya udah selesai?" tanya Mita. Dia adalah wakil dari Daniel. "Kami udah!" seru Tasya dari bangkunya. "Wah, cepet juga!" puji Mita yang langsung menghampiri meja mereka. Tasya memberikan laporan yang sudah mereka buat, lalu Mita membacanya sekilas. "Bagus nih bagus! Udah rapi," ujar Mita menilai laporan itu. Namun kemudian eskpresi wajahnya tampak heran. "Kok sama Chandra? Memang Diaz gak ada?" tanyanya kemudian. Tulip dan Tasya saling pandang. "Apa kami harus wawancara ulang?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN