09. Diaz Harvey (5)

1231 Kata
Mereka berempat hening untuk beberapa saat. Tulip sebisa mungkin menahan air mata yang sudah memaksa untuk keluar dari kantungnya. Tanpa membuka suara, Aaron mengusap bahu Tulip untuk menenangkannya. Diaz juga langsung menundukkan kepalanya setelah mendengar ucapan Tulip yang terdengar sangat menyakitkan. Diaz merasa sangat bersalah pernah berjanji pada Tulip. Seharusnya ia tak pernah menjanjikan apapun. Dalam hatinya, Diaz mengutuk dirinya sendiri seandainya Tulip tak bisa memaafkannya. Sama seperti yang Tulip lakukan, bertahun-tahun ia ingin sekali bertemu lagi dengan Tulip. Sayangnya, ia pindah ke luar negeri sebulan setelah ia resmi bergabung dengan keluarga Harvey. Dua tahun terakhir ia baru kembali ke Indonesia dan mendapati panti asuhan tempat ia kecil bersama Tulip hanyalah tinggal kenangan. Panti asuhan itu sudah ditutup karena penyalahgunaan aliran dana dari para donatur. Entah bagaimana nasib anak-anak panti lainnya. Yang pasti, Diaz tidak bisa mendapatkan informasi apapun tentang Tulip karena itu. "Aku ngerti, aku bakal susah untuk dimaafkan dan sulit dipercaya. Tapi, aku punya ini…." Diaz mengeluarkan sebuah foto berukuran 4x6 yang ia simpan di dompetnya. Meski terlihat sangat lawas, namun masih terlihat jelas siapa orang yang gambarnya terabadikan di sana. Gadis kecil berbaju kuning dan seorang anak laki-laki bertopi merah sedang tertawa memperlihatkan jajaran gigi yang sudah tanggal beberapa. Tulip menerima selembar foto itu dari tangan Diaz. Air matanya tak mampu lagi ditahan. Foto ini cukup menjadi bukti yang kuat. Untuk apa seseorang masih menyimpan foto lama jikalau ia tak menyimpan kenangannya? "Kak Diaz–" Suara Tulip tercekat, tangisnya pecah. "Iya, ini aku," ujar Diaz seraya mendekat dan memeluk Tulip dengan erat. Tanpa ragu, Tulip juga membalas pelukan Diaz. Keduanya larut dalam tangis. Antara senang dan haru menjadi satu. Penantian selama sebelas tahun akhirnya terbayar. Tak ada yang melupakan, semakin lama hanya ada rasa rindu yang semakin mencuat. Syukurlah, keduanya memang sudah terikat sejak awal, bahkan mungkin melebihi mereka yang terhubung akan ikatan darah. Aaron dan Rafael yang ada di sana juga ikut terharu akan adegan yang kini sedang mereka saksikan. Keduanya sama-sama tahu bagaimana tersiksanya mereka berdua yang sudah seperti saudara yang terpisah. Rafael adalah saudara angkat Diaz. Ia juga diadopsi keluarga Harvey, satu tahun setelah Diaz dan usianya tiga tahun di bawah Diaz. "Apa kalian bakal berpelukan sampe malem?" tanya Aaron. Ia sedikit risih melihat ada lelaki lain yang memeluk Tulip selain dirinya. Tulip dan Diaz langsung saling melepaskan pelukan. Tulip menyeka sisa air mata dengan ujung lengan bajunya. Diaz pun sama, ia langsung membuang pandangannya dan berpura-pura tidak menangis. Bisa terlihat kini Tulip sudah bisa tersenyum. Ia tidak perlu lagi menunggu Diaz. Doanya pun sepertinya terjawab. Diaz dan Aaron bisa berteman sesuai harapan Tulip selama ini. "Apa kita boleh tukeran adik?" tanya Diaz kemudian. "Kamu kira aku ini barang?" sungut Rafael. Usia mereka cukup berjarak, namun perilakunya seperti seumuran. "Jangan harap aku bakal nyerahin Tulip buat kamu!" balas Aaron, hal itu membuat Tulip tertawa kecil. "Kalian tau, Diaz itu kadang nangis kalo lewat toko boneka," ujar Rafael membuka aib Diaz. Mendengar itu, mata Diaz langsung melotot. "Adik durhaka! Beraninya kamu buka aib kakakmu?" ujar Diaz dengan nada menantang. "Yah, aku cuma berusaha meyakinkan Tulip kalo kamu bener-bener Diaz yang dia cari," jawabnya membela diri. "Iya-iya, aku udah percaya kok," jawab Tulip dengan tawanya yang masih tersisa. Penantian Tulip resmi berakhir. Ia tak perlu bertanya-tanya lagi setiap malam. Orang yang ia cari dan ia tunggu sekarang sudah ada di depan matanya. Kini ia mengerti alasan mengapa jantungnya berdebar setelah Diaz melempar senyum padanya, yakni karena hatinya sudah memberikan kode bahwa 'Diaz' adalah orang yang selama ini ia cari. *** Keesokan harinya sepulang sekolah, Diaz menghampiri kelas Tulip. Tentu saja ia juga bersama Aaron. Betapa bahagianya Tulip, keluar dari kelas langsung disambut oleh kedua kakak yang sangat ia sayangi. "Gimana belajarnya?" tanya Diaz dengan penuh perhatian. "Lancar kok," jawab Tulip dengan senyum sumringahnya. "Jangan bikin aku geli! Ayo cepet pulang, sebelum Mama marah!" ujar Aaron seraya berjalan mendahului Tulip dan Diaz. "Kakak pasti udah kenal Kak Aaron, kan?" tanya Tulip pada Diaz. "Jelas! Dia manusia es, makanya dia gak punya temen selain aku," jawab Diaz seraya tersenyum. Tulip membenarkan itu, bahkan selama ini ia belum pernah melihat Aaron mengajak temannya ke rumah. Pergi pun jarang, kecuali memang ada tugas kelompok. Entah bagaimana caranya ia bersosialisasi, sifatnya sangat berbanding terbalik dengan Diaz. "Kamu mau jalan-jalan, gak?" tanya Diaz sembari mereka berjalan ke arah parkiran. "Sebenernya aku gak pengen nolak, tapi aku gak tau Mama bakal kasih izin apa enggak," jawab Tulip jujur. "Kalo pergi sama Aaron juga, pasti diizinin, kan?" tanya Diaz lagi. "Emm… kayanya justru Kak Aaron yang gak akan ngasih izin," jawab Tulip ragu. "Yah, aku udah paham kalo itu." Diaz mengantar Tulip sampai depan mobil, Aaron sudah masuk lebih dulu. "Kakak pulang naik apa?" tanya Tulip sebelum masuk ke dalam mobil. "Aku bawa motor, masih ada di parkiran," jawab Diaz. "Ah, gitu. Ya udah, ati-ati ya, Kak!" "Kamu juga," jawab Diaz yang diakhiri dengan senyuman. Tangan kanannya mengusap puncak kepala Tulip, hal itu membuat Tulip dan Aaron sama-sama terkejut. "Jangan mengundang kecurigaan orang-orang, Yas!" ucap Aaron pedas. Bahkan ia saja tidak pernah semanis itu pada Tulip di depan banyak orang. "Tenang aja! Ini salah satu caraku untuk melindungi Tulip," jawab Diaz dengan santai. Tulip masih mematung, ia juga tidak mengerti apa hubungannya mengusap kepala dengan melindungi. Lagi pula, mengapa ia harus dilindungi? Tentu saja ungkapan Diaz tadi membuat otak Tulip berpikir keras. Belum sempat Tulip bertanya, Aaron sudah kembali mengomel. Ia terus menyuruh Tulip agar segera masuk ke dalam mobil dengan alasan takut dimarah Freya jika pulang telat. Namun sebenarnya, itu hanyalah akal-akalan Aaron saja. Ia tidak suka melihat Diaz yang terlalu dekat dengan adiknya. Image Diaz di sekolahlah yang membuat Aaron tidak nyaman. "Aku duluan ya, Kak," pamit Tulip seraya masuk ke dalam mobil. "Iya, kalau Aaron nakal, langsung kasih tau aku! Oke?" "Oke!" seru Tulip penuh semangat. Satu hal yang membuat Aaron sedikit terganggu, kini ada orang lain yang bisa membuat Tulip terlihat ceria selain dirinya. Ketakutannya semakin besar, ia takut Tulip menjadi lebih dekat pada Diaz dan akhirnya tak membutuhkannya lagi. "Kakak laper?" tanya Tulip pada Aaron. Kini mobil mereka sudah meninggalkan lingkungan sekolah. "Enggak, kenapa kamu tanya gitu?" "Abisnya Kakak keliatan sensi banget dari tadi," ujar Tulip jujur sembari mengusap-usap telinga boneka kelincinya yang selalu tersedia di mobil. "Iya, aku laper," jawab Aaron, tentu saja ia berbohong. "Plin-plan, ih! Tadi bilang enggak, sekarang laper. Kakak cemburu, ya?" Pertanyaan Tulip membuat Aaron menengok dengan cepat, bahkan Pak Andra–supir mereka–terlihat sedang menahan tawanya. Hal itu membuat Aaron semakin kesal. "Ngapain aku cemburu? Memang kalian pacaran?" jawab Aaron kesal. "Memang cemburu cuma untuk orang pacaran aja? Aku juga cemburu tuh kalau Kakak lebih banyak ngabisin waktu sama buku daripada sama aku. Apa itu artinya Kakak pacaran sama buku?" Pernyataan Tulip membuat alis Aaron bertaut. Ia tak mungkin mengakui kalau ia merasa cemburu karena Diaz bebas mengekspresikan rasa sayangnya pada Tulip di tempat umum, berbeda dengan dirinya. Ia juga cemburu karena banyak ketakutan yang menggangu pikirannya. Tanpa menjawab apapun, Aaron memasangkan earphone di telinganya dan membuang pandangannya ke luar jendela. Tulip yang masih bahagia, tentu tidak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi pada Aaron. Karena baginya, rasa sayangnya tetap lebih besar untuk Aaron. Meskipun ia sangat menantikan kehadiran Diaz, namun posisi Diaz dengan Aaron memiliki porsinya sendiri-sendiri, dan tentu saja Aaron lebih spesial daripada siapapun–untuk saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN