17. Elzia Gina

1647 Kata
"Valery cerita sama Juan, katanya Jia berhenti sekolah," bisik Naya di telinga Tulip. "HAH? SUMPAH?" Untung saja curah hujan cukup deras, sehingga suara Tulip cukup samar untuk didengar orang-orang di sekitarnya. "Tapi kamu percaya, gak?" tanya Naya lagi, hal itu membuat Tulip menjadi ragu. "Lah, gimana? Memang Juan gak bisa dipercaya?" "Aku sih gak percaya sama Valery, bukan Juan." Tulip diam sejenak. Selama ia kenal dengan Valery, ia belum pernah mendapati temannya itu berbohong. Valery selalu jujur, meski itu menyakitkan–perihal alasan ia tak mau berteman dengan Tulip salah satunya. "Valery gak pernah bohong kok, jadi kemungkinan besar berita itu bener," ujar Tulip. Mereka pun perlahan melangkah masuk. "Yakin? Terus, apa tujuannya cerita masalah itu ke Juan?" "Mungkin kalo cerita ke aku langsung, dia belum sempet," jawab Tulip tanpa ada pikiran buruk. "Lip, tidurmu nyenyak, kan?" tanya Juan ketika Tulip dan Naya baru saja duduk di kursi masing-masing. "Nyenyak kok, kenapa memangnya?" tanya Tulip tak mengerti. "Kamu semalem mimpiin Tulip, ya? Ngaku!" sergah Naya. "Apaan! Ngapain juga mimpiin Tulip?" bantah Juan. "Terus kenapa sampe nanya begitu? Kan, pasti ada tujuannya." "Mau mastiin aja. Soalnya kakak perempuanku kalo lagi ada masalah sering susah tidur. Kali aja Tulip juga gitu," jelas Juan. Meski sangat nyablak, ternyata Juan sosok lelaki yang perhatian. "Ah, tenang aja! Aku aman kok, bahkan aku tadi kesiangan. Hehe," jawab Tulip malu-malu. "Syukurlah kalo gitu," jawab Juan tenang. "Si Valent mana?" tanya Tulip, tidak biasanya sampai siang begini Valent masih belum menempati kursinya. "Gak tau, dia gak ada kasih kabar apa-apa," jawab Juan seraya memeriksa pesan masuk, barangkali ada pesan baru dari Valent. "Mungkin terlambat. Ujannya makin deres soalnya," tambah Naya. "Eh, yang dikasih tau Valery tadi gimana?" tanya Tulip lagi, ia masih penasaran akan kelanjutan ceritanya. "Oh, iya. Jadi kemaren aku iseng chat si Val, tumben banget langsung dibales. Niatnya mau mancing–dijawab ya syukur, enggak ya gak bakal kupaksa. Eh, ternyata dia malah cerita duluan," ungkap Juan. "Gimana-gimana? Ayo cerita mumpung belum masuk!" pinta Naya penuh semangat. Juan pun mulai bercerita sesuai dengan apa yang Valery ceritakan. Tidak ada yang dikurang apalagi ditambah. Selepas dari kasus tahun lalu, Jia pindah ke sebuah sekolah swasta yang tak kalah terkenal dari sekolah sebelumnya. Namun karena perangainya yang kurang baik, dia justru menjadi korban bully. Entah bagaimana konsepnya, yang pasti Jia tak bertahan lama bersekolah di sana. Kenyataan yang terjadi, ternyata Jia di-bully di sekolah barunya karena sebuah alasan. Yakni, ia dengan sengaja membuang buku catatan seorang siswi yang tidak sengaja menjatuhkan kotak pensilnya. Padahal, siswi tersebut adalah seorang anak yang baru saja kembali dari rumah sakit dan masih dalam masa pemulihan pasca operasi. Menurut cerita Valery, Jia mengatakan kalau ia berencana untuk pindah ke luar negeri untuk menghilangkan jejak akibat ulah kakaknya. Sayangnya, rencana itu ternyata hanya bualan saja. Faktanya, Jia dikirim ke desa tempat neneknya tinggal. Desa tersebut jauh dari keramaian kota, bahkan listrik pun belum lama tersedia di sana. "Serius sampe dikirim ke desa terpencil gitu? Valery tau dari siapa?" tanya Naya yang terlihat jauh lebih antusias daripada Tulip. "Dari sepupunya si Jia. Kamu kenal yang namanya Adis, kan, Lip?" "Hm, iya. Dia salah satu temen kelasku dulu." "Dia jahat juga?" tanya Naya lagi. "Enggak, Adis baik. Cuma ya itu, dia gak bisa berkutik karena juga takut sama si Jia." "Ckckck! Seganas itu, ya, si Jia? Heran, makhluk tukang bully gitu sebenernya tujuannya apa sih? Di mana titik bahagianya menindas orang lain kaya gitu?" gumam Naya tak mengerti. "Gitu deh kalo pas pembagian nurani gak ikutan antre, jadi kebagian akal doang tapi gak punya hati," balas Juan. "Kalo mereka di-bully balik, sakit hati gak, ya?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di pikiran Tulip. "Jelas sakit hati. Sayangnya, mereka bukannya jadi sadar, tapi malah makin menjadi. Korbannya bisa makin beragam," jelas Naya. "Bener banget." Juan menyetujui kemungkinan tersebut. Tak lama kemudian, Bu Astri masuk ke kelas mereka. Satu mata pelajaran berlangsung tanpa Valent. Hujan juga tak kunjung reda. Kini suara gemuruh ikut meramaikan suasana kelas. Udara yang dingin, ditambah pelajaran sejarah dan suara Bu Astri yang super lembut, jadilah perpaduan yang sangat lengkap sebuah pengantar tidur. Mengatasi masalah itu, Tulip dan Naya saling mencubit satu sama lain. Tujuannya untuk menghasilkan efek 'kaget', supaya mereka bisa tetap terjaga hingga pelajaran berakhir. "Valent ke mana, ya? Kok gak muncul-muncul?" bisik Naya. "Hm, entahlah. Mungkin memang gak muncul." Jawaban Tulip mulai sedikit ngawur. Menyadari teman sebangkunya hampir kehilangan kesadaran, Naya mencubit lengan Tulip lagi. "Aakh! Pelan dikit dong!" gerutu Tulip sembari mengusap bekas cubitan Naya. "Kalo pelan, namanya dielus bukan cubit. Bukannya melek, malah makin tidur kamu entar!" omel Naya. "Tulip, Naya, udah selesai?" tegur Bu Astri. "Belum, Bu. Maaf," jawab mereka kompak. "Makanya jangan ngobrol!" "Baik, Bu. Maaf." Bu Astri lanjut berkeliling. Mereka sedang diberikan tugas untuk mengerjakan soal. Namun sayangnya, tugas tersebut tidak berhasil membuat mata mereka kembali segar. Empat puluh lima menit berlalu. Akhirnya Bu Astri mengakhiri pelajaran sejarah pagi ini. Naya langsung membuka ponselnya, ia mengecek grup yang isinya adalah mereka berempat–Naya, Tulip, Juan, dan Valent. "Oh, dia gak masuk," ujar Naya. "Hm, Valent? Kenapa?" tanya Tulip yang tingkat kesadarannya sudah kurang dari 70%. "Kesiangan katanya. Maklum sih tinggal sendirian." "Hm, ya-ya-ya. Aku mau tidur bentar. Entar bangunin, ya, kalo ada guru!" pinta Tulip yang sudah tidak kuat lagi. "Hu! Dasar kang molor!" celetuk Naya. Tulip tidak menjawab, ia sudah mulai memasuki alam mimpi. *** Hari yang ditunggu tiba. Sesuai dengan perkiraan cuaca, hari ini hujan juga turun dengan lebatnya. Diaz terpaksa menunda rencana jalan-jalannya dengan Tulip. Namun ia tak bisa menahan diri lagi. Hingga akhirnya ia datang ke rumah Aaron–dan Tulip–diantar supir pribadinya. "Sumpah, niat banget!" ujar Aaron ketika membuka pintu kamar dan mendapati Diaz ada di sana. "Sorry, namanya juga kangen," balas Diaz. "Untung Tulip anggep kamu kakak, kalo bukan, gak bakal kamu boleh bertamu lagi di sini!" jawab Aaron kesal. "Tulip ada di kamarnya?" tanya Diaz tanpa mengindahkan ucapan Aaron. "Iya. Tunggu aja di ruang tengah, biar aku yang panggil Tulip." "Aku aja! Aku mau kasih kejutan," pinta Diaz, namun langsung ditolak Aaron. "Gak! Enak aja!" "Pelit banget! Pantes jomblo!" "Bodo!" Aaron pun menutup pintu kamarnya dan mengusir Diaz ke ruang tengah. Ternyata yang dipanggil sama semangatnya dengan orang yang baru saja datang. Hal itu berhasil membuat Aaron semakin terbakar cemburu. "Aku kira kita gak jadi jalan-jalan," ujar Tulip. "Kan, memang gak jadi," celetuk Aaron sinis. "Dia kenapa sih?" tanya Diaz. "Biarin aja, mungkin kebelet pup," jawab Tulip sekenanya, Aaron hanya melirik sinis dan memukul Tulip pelan dengan sebuah bantal sofa. "Utututu, kakakku cemburu!" goda Tulip. "Bisa cemburu juga, ya, dia ternyata," tambah Diaz. "Berisik!" tukas Aaron seraya menyibukkan diri dengan ponselnya. Diaz dan Tulip pun lanjut mengobrol, Aaron sudah seperti obat nyamuk di sana. Ditemani segelas teh hangat dan beberapa camilan ringan, obrolan mereka mengalir tanpa arah. Kini pembahasan mereka menyenggol masalah pem-bully-an Tulip di SMP. "Oh, jadi namanya Jia?" tanya Aaron yang juga baru tahu. "Jia? Namanya gak asing," ujar Diaz. "Jia siapa lengkapnya?" "Elzia Gina," jawab Tulip. "Kamu simpen fotonya, gak? Serius aku merasa gak asing sama nama itu." Seketika obrolan mereka menjadi serius. Tulip membuka folder foto lama di ponselnya. Ia tak pernah foto berdua dengan Jia, namun ada satu foto kelas yang Tulip miliki. "Ini, yang rambutnya agak cokelat," ujar Tulip sembari menunjukkan foto itu pada Aaron dan Diaz. "Agak burem sih, tapi aku yakin itu dia," ungkap Diaz. "Siapa? Kamu kenal?" tanya Aaron penasaran. "Tulip juga harusnya kenal." Pernyataan Diaz membuat Tulip bingung. "Aku? Ya… kenal, kan, kami satu kelas." Jawaban yang sangat-sangat khas dengan Tulip si tulalit. "Bukan itu maksudnya, adikku!" ujar Diaz dengan gemas. "Maksudnya itu kenal di luar sekolah–dulu misalnya. Kamu beneran gak inget?" "Eng… enggak tuh. Memang dia siapa?" "Aku beneran orang spesial, ya, ternyata," ujar Diaz dengan tersenyum bangga. "Gak usah mulai!" tegur Aaron yang sudah paham akan alur pembahasan kali ini. "Kenapa Kak Diaz spesial?" tanya Tulip lagi yang masih belum mengerti. "Skip-skip-skip!" sela Aaron. Namun bukan Diaz namanya jika ia mudah mengalah. "Ya... aku merasa spesial karena kamu inget sama aku tapi gak inget sama Jia." "Memang siapa Jia?" tanya Tulip lagi. "Udah, jelasin aja jelasin! Makin panjang intronya, makin dia gak paham," ujar Aaron yang mulai tidak sabar. Bukan tidak sabar pada Tulip, tapi ia penasaran akan orang yang sudah menyakiti adik kesayangannya. Menurut pengamatan Diaz, Jia adalah salah satu anak yang tinggal di panti asuhan yang sama dengan mereka. Namun ia lebih dulu diadopsi sebelum Diaz. Wajar saja kalau Tulip tidak begitu mengingatnya, karena Jia termasuk anak yang pendiam dan tak mau berteman. Dan lagi, usia mereka baru 4-5 tahun waktu itu. "Masa iya sih, Kak?" tanya Tulip untuk kesekian kalinya. Ia masih belum bisa mengingat tentang Jia di masa kecilnya. "Memang ada yang namanya Jia di panti?" "Iya ada. Seandainya panti gak ditutup, kita pasti bisa lebih gampang buat cari infonya." "Jadi, si Jia ini juga cuma anak angkat?" Aaron memastikan lagi. "Mungkin, tapi bisa juga dia anak yang dititipin dan diambil lagi, kan?" "Iya, bisa jadi." Tulip masih diam, namun dalam pikirannya nama Jia kembali mengacau. 'Mengapa ia jahat pada Tulip kalau mereka memang teman lama? Mengapa ia jahat kalau sama-sama anak angkat?' Dan masih banyak lagi pertanyaan 'mengapa-mengapa' lainnya. "Tulip!" panggil Diaz. "Ya?" "Jangan terlalu dipikirin! Apapun alasan dia nge-bully kamu, itu bukan kesalahanmu! Memang tabiatnya dari awal yang gak bagus. Pelan-pelan maafin dia, ya!" "Iya, aku udah lama maafin dia kok." "Pinter!" puji Diaz seraya mengusap puncak kepala Tulip. Aaron tidak cemburu, karena ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Dendam sudah pasti, namun mendengar Jia sudah mendapatkan banyak ganjaran, ia menjadi sedikit lebih senang. Kemudian Aaron mendapatkan sebuah jawaban atas pertanyaannya beberapa hari terakhir. Cara terbaik untuk melindungi Tulip bukanlah melarangnya bergaul, melainkan waspada terhadap siapapun orang yang dekat dengannya. Termasuk orang yang sudah lama ia kenal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN