18. Bunga-bunga Bermekaran

1205 Kata
Semakin hari, kedekatan Tulip dengan Diaz seolah bukan lagi rahasia. Dengan santainya Diaz menghampiri Tulip di beberapa kesempatan. Berkali-kali Aaron memberi peringatan, namun tidak diacuhkan. Aaron hanya bisa mengikuti kemanapun Diaz pergi. Seolah terlihat seperti Diaz-lah yang sedang dijaganya. Nama Diaz yang cukup populer, membuat Tulip ikut tersorot. Tak banyak yang tahu tentang Aaron, hal itu membuat identitas Tulip tidak langsung terungkap. Banyak yang mengira kalau Tulip adalah pacar baru Diaz, namun tak sedikit juga yang berpendapat bahwa Tulip mendekati sepasang sahabat itu. Pasalnya, Tulip selalu berangkat dan pulang naik mobil yang sama dengan siswa yang dikenal sebagai kutu buku. Aaron sudah menduga kalau gosip tersebut pasti akan muncul. Namun Diaz tidak peduli, ia begitu santai dan mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Ketika perkumpulan pertama anggota ekstrakurikuler, dengan mudahnya Tulip mendapatkan teman–terutama dari kalangan kakak kelas. Mereka tahu bahwa Tulip dekat dengan Diaz dan tak sedikit siswi yang berlomba untuk mendapatkan hati Diaz. Tulip menyadari itu, namun ia justru merasa hal ini baik baginya. Tak ada yang berani mengganggu ketika ada 'bodyguard' di belakangnya. "Jadi sebenernya kamu itu adiknya si Aaron?" tanya Mita, salah satu senior di ekstrakurikuler jurnalistik. "Wah, baru tau kalo si kutu itu punya adik cantik!" tambah Hana. Kini mereka sedang berbincang sembari berjalan ke arah parkiran. Tentu saja bukan Tulip yang menghampiri mereka lebih dulu. Tulip yang berjalan sendirian menjadi sebuah ruang untuk mengorek informasi tentang gosip yang beredar. "Terus kalo sama Diaz gimana?" tanya Hana yang tidak sabaran. Tidak mungkin menceritakan masalah pribadinya, Tulip memilih jawaban yang mudah diterima saja. "Kak Diaz sering ke rumah, jadi kami udah kenal cukup lama." "Oh, cuma temen aja? Gak lebih?" "Enggak, Kak. Saya gak kepikiran sejauh itu," jawab Tulip jujur. "Syukurlah kalo gosip yang beredar itu gak bener," ujar Mita. "Gosip apa, Kak?" Tulip yang cukup kuper–kurang pergaulan–membuatnya tidak up to date dengan gosip-gosip yang berkeliaran di sekolah. Kecuali ada yang memberitahunya secara langsung. "Ya itu, intinya banyak yang ngira kalo kamu pacaran sama Diaz," jawab Mita. "Eh, tapi ati-ati loh! Karena gak banyak yang tau tentang fakta kalian, takutnya kamu dilabrak," ujar Hana mengingatkan. "Dilabrak? Apa itu?" "Ya intinya kamu ditegur, tapi dengan cara yang kurang pantas. Ya semacam bullying juga sih." Deg! Mendengar kata 'bully', seketika jantung Tulip kembali berdebar kencang. "Anu, apa di sekolah ini masih ada kasus pembullyan juga?" tanya Tulip ragu. "Jarang denger sih, tapi gak ada salahnya ati-ati, kan?" jawab Mita. "Ah, iya, Kak." "Jangan takut! Kalo ada apa-apa, langsung kasih tau aja ke Diaz. Pasti langsung diberesin sama dia," jawab Hana dengan yakin. "Hehe, iya, Kak." Sesampainya di parkiran, mereka mulai berpencar ke kendaraan masing-masing. Hana dan Mita tak melepaskannya begitu saja, mereka memperhatikan dari jauh untuk memastikan siapa yang ada di dalam mobil Tulip. "Beneran adiknya si kutu?" tanya Hana. "Ya itu nyatanya," jawab Mita. "Hoki banget tu anak, dikelilingin cowok ganteng! Yah, walaupun yang satu kaya kulkas berjalan." "Dia harus dapet perhatian khusus, kalo ada apa-apa entar kita yang kena masalah sama si Diaz," gerutu Hana. "Semoga aja tu anak gak nyusahin, biar kita gak perlu pilih kasih." Mereka pun mulai mengambil motor dan pulang bersama. Kebetulan rumah mereka searah, jadi mereka mengendarai satu kendaraan yang sama. Sepanjang perjalanan pulang, Tulip sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia sedikit takut akan ancaman bullying yang mungkin terjadi. Tidak seburuk sebelumnya, karena ada sedikit rasa tenang mengingat ada Diaz dan Aaron bersamanya. Namun, apa yang akan terjadi jikalau ia lengah seperti dulu? Si pelaku tentu bisa berkamuflase menjadi siapapun. "Macet, ya, Pak?" tanya Aaron pada Pak Andra. "Iya, Den. Ada ambulance yang mau lewat." "Ambulance?" tanya Tulip seraya melihat ke depan. Suara sirine semakin keras, tandanya posisi ambulance semakin dekat. "Itu ambulance dari rumah sakit Mama, kan?" "Iya, Non. Kayanya ada kecelakaan," sahut Pak Andra. Aaron tak banyak bicara, ingatannya seketika kembali ke masa lalu. Ia pun memakai earphone dan menutup matanya. "Kakak ngantuk?" tanya Tulip. "Hm." "Tunggu sebentar, ya, Den! Sebentar lagi kita bisa jalan kok," ujar Pak Andra. Aaron hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bayangan wajah Irina kembali muncul. Perempuan yang sudah hampir dua tahun tak ada kabarnya. Entah di mana dan bagaimana keadaannya. Sebuah alasan membuat Aaron tak ingin mengingat lagi apapun tentang Irina. 'Gak ada yang mengingatkan aku ke kamu selain ambulance itu, Rin. Kenapa kamu gak bisa pergi dari pikiranku?' Batin Aaron menangis dan terluka sudah sejak lama. Entah kapan luka itu bisa sembuh. Irina adalah salah satu alasan yang membuat Aaron begitu menjaga Tulip. Ia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. "Pak, nanti mampir ke toko kue yang biasanya, ya!" pinta Tulip. "Baik, Non." Tak memakan waktu lama, lalu lintas kembali berjalan lancar. Perlahan mobil mereka mulai melaju. Tanpa mereka sadari, keduanya sama-sama sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Ketika mobil masuk ke area parkir toko, manik mata Tulip menangkap sosok yang cukup ia kenal sedang berdiri di depan toko. Ia menjadi ragu untuk membuka pintu mobil. "Kenapa gak turun, gak berani?" tanya Aaron. "Hm?" Tulip langsung menengok ke arah Aaron. "Berani kok! Kan, udah biasa." "Ya udah, tunggu apa lagi?" Nada bicara Aaron cukup dingin, sehingga membuat Tulip semakin tegang. Mau-tidak mau, Tulip pun membuka pintu mobil dan melangkah perlahan. Sebisa mungkin ia menghindari kontak mata dari orang itu. Sayangnya, orang itu justru melakukan sebaliknya. "Kamu, yang kemarin di UKS, kan?" tanya Felix. Tulip pun menengok ke sumber suara seolah ia tidak terjadi apapun pada dirinya. "Hehe, iya, Kak," jawab Tulip. "Kayanya kita sering banget gak sengaja ketemu, mungkin sebaiknya kita kenalan," ujar Felix. "Em… boleh. Kakak… Kak Felix, kan?" Tulip cukup tegang saat ini, jantungnya berdebar kencang. Rasanya seperti jantungnya sudah berpindah tempat. "Ah, kukira kamu gak tau namaku karena hari itu kamu gak ada di lapangan." Image Felix begitu berbeda dengan yang selama ini Tulip dengar. Ia begitu ramah dan bersahabat, meski tidak seceria Diaz. "Hehe, sempet denger kok pas MC sebut nama Kakak." "Oh gitu, baguslah. Terus, namamu siapa?" tanya Felix seraya mengulurkan tangannya. "Namaku Tulip, Kak," jawab Tulip. Ia cukup ragu untuk membalas jabat tangan Felix, namun jika ia tak membalas tentu akan membuatnya tersinggung. "Nama yang unik," ujarnya seraya tersenyum begitu manis. Jantung Tulip bereaksi semakin tak karuan. Ia hanya bisa membalas dengan senyuman karena lidahnya begitu kaku, sama seperti tubuhnya yang membeku. "Masuk gih, mau beli kue, kan?" ujar Felix lagi dan membuyarkan lamunan Tulip. "Ah, iya. Kakak… udah?" Tulip terlalu sulit untuk mengontrol dirinya agar tak terlihat salah tingkah. "Udah kok." "Ya… udah kalo gitu. Mmm… aku masuk, ya, Kak." "Iya, silakan." Tulip pun melangkah masuk dengan perasaan yang bercampur aduk. Melihat tingkah Tulip, Felix hanya tersenyum dan menggeleng. Ia seperti melihat anak SMP. Sesampainya di dalam, Tulip menjadi bingung harus membeli apa. Semuanya terlihat enak karena suasana hatinya sedang sangat bahagia. "Hai, Kak! Hari ini mau beli yang rasa apa?" tanya seorang pelayan toko. "Yang paling laris hari ini apa, Mbak?" tanya Tulip. "Yang durian sama cokelat, Kak." "Ya udah, masing-masing tiga ya, Kak!" "Baik, ditunggu, ya!" Tulip mengangguk. Pelayan pun memasukkan kue-kue pesanan Tulip ke dalam kotak. Tulip senyam-senyum sendiri tanpa alasan yang jelas. 'Senyumnya manis banget! Gak kalah sama suaranya yang ganteng itu,' batin Tulip yang kini penuh dengan bunga-bunga bermekaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN