16. Jalan Pikiran Tulip

1203 Kata
Hujan deras menyambut hari Jumat pagi ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.15 pagi; alarm sudah berdering entah berapa kali; namun si empunya gawai masih melalang buana di alam mimpi. "Tulip, bangun, sayang! Jam enam lewat loh!" ujar Freya sembari menepuk-nepuk lengan Tulip. "Hmmm." "Hadeh, anak ini kalo suruh bangun susah bener deh!" keluh Freya. "Lip, Tulip! Bangun!" "Hnggg! Masih ngantuk, Ma! Di luar juga masih gelap tuh," racau Tulip dengan mata yang masih terpejam. "Ya gimana gak gelap kalo kamu masih merem begitu? Ayo bangun cepet! Ada Diaz tuh!" "Hm? Apa?" Tulip mulai memfokuskan pendengarannya. "Ada Diaz, makanya cepetan bangun!" "Ihh! Ngapain coba subuh-subuh ke rumah? Apa dia mau bantu Mbak Yuni ngepel? Apa bantu Mas Maul nyiram taneman? Apa–" "Makanya melek dulu!" ujar Freya seraya mencubit tangan Tulip. "Aakh! Sakit, Ma!" pekik Tulip. Kini matanya sudah terbuka dengan sempurna. "Anak gadis suruh bangun aja susah! Buruan mandi!" "Ini, kan, masih jam–" "Jam berapa?" tantang Freya. "Memang jam berapa?" tanya Tulip linglung. Freya menarik napasnya dalam-dalam untuk meredam kekesalannya. "Liat, ini jam berapa?" tanya Freya sembari menunjukkan lock screen ponselnya yang menampilkan deretan angka penunjuk jam. "Hngg, kok Mama tumben telat bangunin aku?" tanyanya polos tanpa rasa bersalah. "Apa Mama harus rekam gimana susahnya bangunin kamu?" "Mungki…n–" "Udah-udah-udah! Buruan mandi! Mama ada janji sama pasien jam delapan. Gak ada waktu buat ngeladenin kamu," Freya mulai geram, ia menarik tubuh Tulip dan membuatnya terduduk. "Kak Diaz ada–" Dengan cepat Freya memotong ucapan Tulip, "Ada! Buruan mandi, dandan yang cantik! Mama tunggu di ruang makan. Gak pake lama!" "Hm, iya, Ma." "Buruan, jangan cuma iya-iya aja!" "Iya bentar, aku ngumpulin nyawa dulu!" Tulip meregangkan otot-ototnya dan Freya pun keluar dari kamar Tulip. Ia juga butuh bersiap untuk berangkat kerja. "Kak Diaz? Dia mau ngapain pagi-pagi ke rumah?" Tulip mengerjap beberapa kali sembari berpikir keras. "Ah, terserah! Dasar kurang kerjaan!" umpat Tulip entah pada siapa. Ia mulai turun dari ranjang dan merapikan selimutnya. Diliriknya suhu ruangan dari remote AC, derajat angka menunjukkan kalau udara lebih hangat daripada biasanya. Tulip masih belum menyadari kalau di luar sedang hujan lebat. Tanpa membuka gorden kamarnya, ia berlalu ke kamar mandi dan segera membersihkan diri. Ia masih punya waktu lebih-kurang tiga puluh menit untuk bersiap-siap. Rentetan ritual pagi satu persatu ia lakukan. Terakhir, ia berdiri di depan cermin untuk memastikan tidak ada satu langkah pun yang terlewat. Mulai dari rambut, wajah, seragam sampai pada tali sepatu–satu lagi, parfum jangan sampai terlewat! "Loh, Kak Diaz mana?" tanya Tulip ketika ia turun dan tidak mendapati Diaz di ruang makan. "Memang Diaz nginep di sini?" tanya Richard seraya menengok ke arah Aaron. "Enggak tuh. Kamu mimpi, ya, Lip?" Giliran Aaron yang bertanya. "Tadi Mama bilang, Kak Diaz dateng ke sini," ujar Tulip dengan polosnya. "Niatnya bohongin kamu biar cepet bangun. Eh, ternyata sama aja–gak ngaruh," ujar Freya sembari menyusun makanan di atas meja. "Memang kamu tidur jam berapa, sih? Kok sering banget susah bangun gitu?" "Normal kok, Pa. Jam sepuluhan, atau malah kurang," jawab Tulip seraya meminum sedikit air putihnya. "Dasarnya kebo mah kebo aja, Pa!" timpal Aaron. "Dih, gak sadar diri!" balas Tulip. "Udah-udah-udah! Kalian ini, sama-sama bangun siang, masih pake berantem pula. Gak pada mau sarapan?" Akhirnya kakak-beradik itu pun diam, tak ada yang berdebat lagi. Mereka mulai menyantap sarapannya masing-masing. Hujan sudah reda. Meski demikian, matahari masih enggan untuk menampakkan wujudnya. Udara dingin masih terus berhembus. Menurut perkiraan cuaca, sampai tiga hari kedepan keadaan langit akan terus seperti ini. "Kak, memang Kak Diaz itu beneran playboy, ya?" tanya Tulip pada Aaron. Kini mereka sudah dalam perjalanan menuju sekolah. "Ya gitulah. Memang kenapa? Kamu mulai suka?" tandas Aaron tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Pikirannya, ih! Gitu mulu!" gerutu Tulip seraya membuang pandangannya ke luar jendela, mereka baru saja melewati gedung rumah sakit tempat Freya bekerja. "Ya terus kenapa kamu tanya-tanya itu?" "Waktu aku di UKS kemaren, aku denger Kak Shendy ngobrol sama temennya." "Hmm, terus?" "Kak Shendy bilang, katanya Kak Diaz itu PHP." "Memang iya," jawab Aaron santai. "Serius? Kok Kakak gak negur Kak Diaz?" tanya Tulip yang semakin antusias. Aaron mematikan layar ponselnya dan memasukkan ke dalam saku kemejanya. "Gimana jelasinnya, ya?" Ia terdiam sejenak, lalu bicara kembali, "Diaz itu bukan playboy, karena dia gak pernah pacaran. Cuma masalahnya, dia itu gak tegas. Dia gak mau negur cewek yang deketin dia dengan alasan takut cewek-cewek itu tersinggung. Alhasil, dia yang dicap PHP." "Ah… gitu, berarti Kak Diaz hatinya lembut ya, gak kaya Kakak." "Bisa-bisanya kamu ambil kesimpulan gitu?" tanya Aaron yang tak mengerti dengan jalan pikiran Tulip. "Bener, kan? Kalo Kakak, kan, jutek. Jangankan cewek mau nempel, ngelirik aja udah takut duluan." "Oh, jadi kamu maunya aku juga deket sama banyak cewek kaya si Diaz?" Tak langsung menjawab, Tulip memandang Aaron sesaat. Ia menyadari kakak tersayangnya itu memiliki wajah yang sangat mumpuni untuk menjadi seorang idola. Ia pun mengangguk pelan. "Gampang sih kalo Kakak mau kaya Kak Diaz." "Nah!" jawab Aaron dengan bangganya. Tulip kembali menghadap ke depan, raut wajahnya pun berubah masam. "Jangan deh, aku belum siap dijadiin tukang pos." "Kok tukang pos?" "Kan, biasanya gitu. Kalo tau siapa adiknya atau sodaranya, pasti bakal dititipin surat atau makanan atau apalah itu," ujar Tulip sembari menggelengkan kepalanya. "Jangan, pokoknya Kakak jangan famous! Aku gak mau repot!" "Ahelah! Bocah satu ini, mikirnya malah kejauhan!" Tulip larut dalam pikirannya sendiri. Kedua manik matanya memandang keluar jendela mobil. Hujan kembali turun meski tidak deras, para pengendara motor dan sepeda mulai kebingungan mencari pemberhentian untuk sekedar memakai mantel. Tak sedikit juga mereka yang berjalan kaki mulai mengambil payung mereka lagi dari dalam tas. Betapa bersyukurnya Tulip, seandainya keluarga Arkin tidak mengadopsinya, entah bagaimana nasibnya kini. Bahkan hingga detik ini, ia belum menemukan kabar terkait teman-teman lamanya. Mungkinkah mereka semua sudah mendapatkan keluarga yang layak? Atau mereka pindah ke panti asuhan lain? Atau parahnya, mungkinkah mereka terpaksa tinggal di jalanan? Semoga opsi terakhir tidak pernah terjadi. "Kak, kapan-kapan kita ke panti, yuk!" ajak Tulip tiba-tiba. "Ngapain? Bukannya kata Diaz pantinya udah tutup?" "Iya, sih," gumam Tulip. "Kenapa tiba-tiba?" "Gak apa-apa, cuma keinget aja." "Tenang, mereka pasti dapet hidup yang layak kok. Gak perlu terlalu khawatir!" "Iya, Kak." Aaron memperhatikan adik semata wayangnya melalui sudut mata. Terlihat ekspresinya kini sedang sedih. Pikirannya pasti sedang penuh dengan orang-orang yang bahkan entah masih mengingatnya atau tidak. 'Anak ini, selalu aja mikirin orang lain! Gak salah dulu Mama angkat dia jadi anak, dia gak bakal jadi orang yang sombong. Semoga kamu bisa jadi kebanggaan Mama-Papa ya, Lip!' batin Aaron. Sesampainya di sekolah, hujan masih belum juga reda. Terpaksa mereka menggunakan payung sampai ke depan gedung. Kekhawatiran Tulip kembali mencuat, ia takut pusat perhatian mengingat kejadian buruk yang terjadi kemarin. Namun, ia tak bisa menghindar. Ia sudah meyakinkan diri bahwa ia pasti bisa melewati semuanya. "Tuliiiipp!!" seru Naya dari pintu kelasnya. Ia memang anak yang heboh sejak awal, seperti tidak memiliki urat malu lagi. "Kenapa sih heboh banget?" tanya Tulip sembari meletakkan payungnya di gantungan yang tersedia. "Ada berita bagus!" "Apa itu?" Naya pun menarik tubuh Tulip agar jarak mereka semakin rapat, lalu ia membisikkan sesuatu di telinga Tulip. "HAH, SERIUS?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN