Bolos bukanlah hal yang baik, namun Tulip dan Naya kini sedang melakukannya. Waktu empat puluh lima menit mereka habiskan untuk berbagi cerita, lebih tepatnya Tulip-lah yang menceritakan tentang siapa dirinya dan bagaimana kehidupannya. Naya berperan sebagai pendengar yang baik; yang tak hanya sekedar mendengarkan tetapi juga memberikan respon atas cerita Tulip.
"Ya udahlah, ya. Semuanya udah lewat, sekarang aku udah punya kalian; gak perlu nunggu Kak Diaz lagi; gak ada yang perlu aku khawatirkan lagi, kan?" ujar Tulip setelah semua kisahnya ia ceritakan.
"Kamu hebat, ya! Di umur kita yang masih muda, udah banyak pengalaman yang kamu dapet. Aku gak ada apa-apanya. Kamu hebat bisa bertahan sampe sejauh ini," balas Naya. Ia begitu terharu juga kagum mendengar semua cerita Tulip.
"Haha, ya… beginilah. Makasih, ya, udah mau jadi temenku."
"Jangan makasih ter–"
"Hei, gimana?" tanya Juan yang tiba-tiba masuk ke dalam UKS dan memotong pembicaraan mereka.
"Kok kamu kesini, memang Pak Sam udah keluar?" tanya Naya.
Juan duduk di ranjang yang ada di sebelah Tulip. Sejenak ia diam–mengamati ruangan yang belum pernah masuki itu, lalu ia menjawab, "Udah kok, baru aja."
"Nanyain kita, gak?" tanya Naya lagi.
"Iya."
"Terus kamu jawab apa?"
"Valent yang jawab, aku lupa tadi dia jawab apa."
"Lah, gimana sih?" omel Naya.
"Ya intinya Pak Sam gak banyak tanya, langsung lanjut belajar aja gitu."
"Syukurlah kalo gitu." Kali ini giliran Tulip yang menjawab.
"Kalian gak mau masuk kelas?" tanya Juan sembari mengamati ekspresi kedua teman perempuannya itu.
"Gimana, Lip?" Keputusan Naya tergantung pada jawaban Tulip.
"Sebenernya aku malu mau masuk kelas."
"Kenapa harus malu?" tanya Naya bingung.
"Malu aja, masa udah SMA masih nangis?" jawab Tulip seraya menundukkan kepalanya, ia merasa tidak punya nyali untuk menjawab banyak pertanyaan yang mungkin terlontar dari teman kelasnya.
"Wajar kali, kalo cewek nangis tuh! Kakakku yang udah nikah aja masih sering nangis kok," balas Juan dengan santainya.
"Gak ada yang salah dari nangis, Lip. Siapa yang berani ngejek kamu? Sini biar aku yang pukulin satu-satu!" ujar Naya, hal itu membuat Tulip terkekeh.
"Apaan sih, Nay! Malah bercanda deh!"
"Loh, aku serius. Kamu juga bakal lakuin hal yang sama, kan, Juan?"
"Jelas! Enak aja bikin temenku nangis!" Juan dan Naya pun melakukan high five.
"Iya deh iya. Makasih banyak loh! Tapi… kalo aku mau di sini dulu, boleh, gak? Cuma hari ini aja kok. Toh mata pelajaran tinggal satu lagi, kan?"
"Beneran? Sendirian gak apa-apa?" tanya Naya lagi.
"Temenin aja kenapa, Nay?" ujar Juan kemudian.
"Jangan! Naya biar masuk ke kelas aja! Aku sendirian berani kok," tolak Tulip. Ia tak ingin menyita waktu orang lain lagi.
Akhirnya Naya pun menurut, ia kembali ke kelas bersama Juan. Tinggallah Tulip sendirian di ruang UKS. Suasana begitu hening, tak terdengar suara seorang pun. Ia membaringkan tubuhnya dan menggunakan selimut untuk menutupi kakinya.
Ingatan masa lalunya kembali terputar, bagaimana kata-k********r keluar dari mulut Jia; catatan yang harus ditulis ulang karena banyak yang disobek; pakaian olahraga yang tiba-tiba sudah ada di dalam ember berisi air bekas mengepel lantai, semua itu adalah ingatan yang buruk–terburuk dalam 16 tahun terakhir. Biasanya Tulip akan menangis ketika mengingat pengalaman buruk tersebut, namun kini tidak lagi. Perlahan lukanya mulai sembuh, Naya berhasil membuat Tulip merasa lebih tenang.
Karena suasananya terlalu hening, Tulip mulai mengantuk. Namun baru saja matanya terpejam, seseorang membuka pintu UKS dan berjalan ke arah ranjangnya. Ia pun langsung bangkit dan terjaga. Tak hanya itu, Tulip dibuat semakin kaget ketika melihat yang masuk adalah siswa laki-laki. Bukan hanya dirinya, ternyata siswa laki-laki tersebut juga tak kalah terkejut. Mereka saling menatap untuk beberapa saat dengan kondisi yang sama, yakni kaget.
Tulip mengerjap beberapa kali. Posisinya ia masih duduk di atas kasur dengan menggenggam selimutnya.
"Anu… sorry! Sorry, gak tau kalo ada orang di dalem," ujar siswa itu.
"I–iya, Kak. Gak apa-apa," jawab Tulip tak kalah gugup.
"Kamu… yang cari kamar mandi waktu itu, kan?" tanyanya lagi.
"Iya, Kak. Itu aku."
Suasana sedikit mencair, setidaknya untuk Felix–namun tidak untuk Tulip, jantungnya kini berdebar semakin kuat.
"Kamu sakit apa? Udah ketemu petugas UKS?" tanya Felix lagi.
"Udah kok, Kak. Tadi ada Kak Shendy."
"Ah, baguslah. Sorry, ya, aku ganggu."
"Ng… enggak kok, Kakak gak ganggu. Aku tadi cuma kaget aja."
"Ya udah kalo gitu, aku cuma mau ambil sesuatu aja kok. Silakan lanjut istirahat!" ujarnya.
Tulip tak menjawab, ia hanya mengangguk. Kemudian Felix membuka lemari kecil dan mengambil sebuah salep. Tanpa bicara apapun lagi, ia langsung pergi dan tak lupa menutup pintu. Tulip menghela napas panjang dan berusaha menetralkan degup jantungnya.
'Bener kok kata Kak Aaron, aku deg-degan karena kaget. Duh, kenapa aku jadi kagetan gini sih?' batin Tulip.
***
Usai makan malam, Aaron masuk ke kamar Tulip. Ia duduk di sudut ranjang Tulip tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pikirannya cukup kacau setelah melihat adik kesayangannya dibuat menangis oleh orang lain. Ia sangat ingin menjaga Tulip, namun ia juga tidak tahu harus bagaimana.
"Kakak ngapain diem aja? Biasanya kalo masuk langsung cerewet," celetuk Tulip.
"Hm? Enggak kok. Cuma pengen liat kamu aja."
"Kangen?"
"Ngapain kangen sama kamu? PD banget!" Kemudian Aaron membaringkan tubuhnya sembari memainkan ponsel.
"Kakak, kan, memang tipe-tipe cowok yang gengsian," ledek Tulip.
"Sok tau! Aku tuh di sini cuma mastiin, kamu beneran belajar apa malah nonton drama."
"Masaaaaa?" Tulip masih belum berhenti meledek kakaknya.
"Suka-suka kamulah!" jawab Aaron kesal.
Tak lama kemudian terdengar sebuah deringan di ponsel Tulip, Diaz meneleponnya. Senyum Tulip seketika mengembang. Di belakangnya, Aaron melirik dengan sinis.
"Siapa yang telpon?" tanya Aaron tanpa basa-basi.
"Kak Diaz."
"Sini aku yang angkat!"
"Jangan, enak aja! Sana Kakak keluar!"
"Gak mau, aku mau ngomong!"
"Huuh! Dasar nyebelin!" gerutu Tulip.
Ia tak ingin berdebat lagi dan menerima panggilan masuk tersebut. Sedangkan Aaron kini berada pada posisi duduk dengan telinga yang sudah dipasang.
"Halo, Kak," jawab Tulip.
"Hai, lagi ngapain?" tanya Diaz dari seberang sana.
"Tulip lagi belajar, jangan ganggu!" seru Aaron dari belakang.
"Ih, sana pergi! Kakak tuh yang jangan ganggu!" seru Tulip sembari mendorong tubuh Aaron agar turun dari ranjangnya. Namun yang didorong malah semakin memperkuat posisinya agar tidak tergeser.
"Aaron di kamarmu?" tanya Diaz.
"Iya, nih. Kebiasaan dia mah, padahal punya kamar sendiri."
"Ya udah deh, kita ngobrol lusa aja sambil jalan-jalan. Sekarang males diganggu sama Aaron."
"Ah, iya, Kak. Gak apa-apa."
"Kamu juga lagi belajar, kan?"
"Heem."
"Belajar yang bener, ya! Jangan sampe kecapekan!"
"Iya, Kak. Makasih, ya!"
"Inget, lusa kita ada kencan!"
"Ih, Kakak apa sih! Bukan kencan tau!" protes Tulip. Ia benar-benar menghindari hal-hal yang berhubungan dengan urusan perasaan.
"Haha, iya-iya! Makanya, tidur yang cukup! Biar gak kecapekan pas jalan-jalan nanti."
"Iya, Kak. Iya."
"Ya udah, sampe ketemu besok di sekolah, ya!
"Oke!"
Panggilan tersebut pun diputus. Tulip menengok ke arah Aaron dan mendapati ekspresinya sudah seperti seorang ibu yang hendak menerkam anaknya karena telah menghilangkan tutup botol Tupp*rwar* koleksinya.
"Kak, gak kesurupan, kan?" tanya Tulip.
"Kalian sering telponan?" balas Aaron tanpa menjawab pertanyaan Tulip.
"Emm… enggak sih, mungkin baru dua atau tiga kali ini."
"Jangan terlalu sering, nanti kamu jadi lupa belajar!" ujar Aaron seraya menurunkan kedua kakinya ke lantai, ia hendak kembali ke kamarnya sendiri.
"Cie, cemburu!"
"Apaan, ngapain cemburu sama Diaz? Kan, udah jelas aku yang menang," jawab Aaron dengan percaya diri.
"Dih manusia satu in– Eh, Kakak mau ke mana?" tanya Tulip ketika Aaron mulai berdiri.
"Balik ke kamarlah, kenapa? Kamu masih kangen?" balas Aaron.
"PEDEEE!" hardik Tulip yang mulai kesal.
"Memang! Apa gunanya kegantenganku kalo aku gak pede?"
"Percuma ganteng kalo pacaran sama buku!" balas Tulip.
"Males pacaran sama manusia, entar ada yang cemburu," balas Aaron tak mau kalah.
"Ish! Udahlah sana keluar!"
"Yakin? Nanti kangen gimana?"
"Bodo amat! Cepet keluar sana!" usir Tulip seraya mengangkat bantal yang hendak ia lempar.
"Haha, good night big baby bear!"
"KAKAAAKKKKK!!!!"
Segera Aaron keluar dari kamar Tulip dan menutup pintu, sebelum bantal empuk itu mendarat di kepalanya. Tulip kesal, tapi juga gemas. Ia tidak marah, karena memang mereka sudah terbiasa bercanda seperti itu.
Sesampainya di kamar, Aaron langsung menuju ke balkon kamarnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia nikmati deru angin yang membelai wajahnya dengan lembut. Langit malam ini cerah, bintang-bintang bertaburan begitu indah. Sayang, tidak bisa diabadikan dengan kamera ponsel biasa.
"Apa ada cara khusus buat jagain Tulip? Selama ini aku ngapain aja, sih? Kenapa aku merasa gak bisa apa-apa untuk melindungi dia?" keluh Aaron pada dirinya sendiri.
Namun di sisi lain, gadis yang dikhawatirkan justru sibuk mengingat suara indah Felix. Dengan tangan kanannya yang menumpu dagu; tangan kiri memainkan pulpen di atas meja; dan pandangan lurus ke luar jendela yang masih belum ditutup gordennya, Tulip memutar otak untuk mencari memori tentang Felix. Berharap ia bisa menemukan rekaman suara Felix dalam otaknya. Namun sayang, sepertinya slot penyimpanan untuk suara Felix mulai memudar. Ia hanya bisa melihat wajah Felix, tidak dengan suaranya.
'Ganteng sih, senyumnya juga bagus,' batin Tulip. Tanpa sadar senyumnya mulai mengembang seiring dengan terputarnya bayangan Felix dalam ingatan.
'Orang kaya Kak Felix dibilang batu? Masa sih? Padahal dia ramah sama aku. Entah kenapa, aku berharap dia bisa jadi kakakku juga. Sayang, kayanya Kak Aaron benci banget sama dia. Karena apa, ya? Apa mereka pernah rebutan cewek?' batin Tulip penuh praduga.
Tak lagi menumpu dagu, ia mulai membuka kembali buku paketnya. "Besok tanya aja sama Kak Aaron deh! Kalo kepo sendirian gak bakal ketemu jawabannya," gumamnya pada diri sendiri lalu ia mengesampingkan pikiran-pikiran itu dan kembali fokus belajar.