14. Siapa Diaz Sebenarnya?

1613 Kata
Untuk menghindari banyaknya pertanyaan, akhirnya Naya mengajak Tulip untuk pergi ke ruang UKS. Juan dan Valent mereka tugaskan untuk bicara pada Kiran dan Isabel agar tidak menceritakan hal tadi kepada banyak orang, termasuk anak-anak kelas. Meski merasa jauh lebih tenang, namun rasa takut tidak bisa hilang secepat itu. Tulip masih berdiam diri di atas kasur yang tersedia di UKS. "Lip, kamu mikirin apa?" tanya Naya. "Sorry, ya, aku masih ngerasa sedikit takut." "Kamu di-bully separah apa, sih? Maaf gak bermaksud menyepelekan, aku cuma pengen tau aja. Rasanya kalo pem-bully-annya gak parah, kamu gak akan sampe segininya." Ruang UKS sangat sepi, hanya ada mereka berdua. Kebetulan petugas UKS sedang keluar. "Sepele kok. Kayanya memang aku aja yang terlalu lemah, terlalu overthinking." "Hei, jangan gitu! Ayo cerita, jangan simpen bebanmu sendirian! Aku bisa kamu percaya kok. Serius deh!" ujar Naya meyakinkan. "Dulu itu, Valery–" Naya memotong ucapan Tulip, "Jadi Valery biangnya? Wah, kecurigaan Valent ternyata bener!" "Bukan, bukan gitu!" Tulip cepat-cepat meluruskan kecurigaan Naya. "Oh, dia bukan biangnya?" "Bukan! Em… jadi gini…." Tulip mulai menceritakan masalahnya pada Naya. Memang bukan Valery yang terang-terangan merundung Tulip, namun Valery-lah orang pertama yang mengetahui fakta bahwa Tulip bukan anak kandung keluarga Arkin. Mereka adalah teman dekat sejak awal masa orientasi, namun semua berubah ketika Valery mengetahui fakta tersebut. "Terus-terus-terus?" "Yah, kamu masih inget, kan, cerita Juan? Valery itu anak keluarga ternama, katanya dia gak mau mencoreng nama baik keluarganya dengan berteman sama aku." "Iya, terus?" Naya masih menyimak dengan serius. "Gak lama dari situ, beberapa temen mulai menjauh dan buat 'geng' sendiri. Valery pernah bilang ke aku, jangan mau kalo diajak temenan sama Jia–salah satu temen kelasku. Kupikir, dia ngomong gitu biar aku gak punya temen lain di kelas, tapi ternyata aku salah." "Dan ternyata Jia itu cuma ngejebak kamu?" "Iya. Jia satu geng sama Valery, tapi dia terkenal sebagai ketua geng gitu. Entah gak paham juga. Siang itu, selesai les Bahasa Inggris, Jia minta temenin aku ke kamar mandi, aku iya aja karena kebetulan aku juga pengen pipis." Tulip berhenti sejenak, ia berusaha meyakinkan diri bahwa ia harus menceritakan masalah ini, tidak perlu disembunyikan lagi. "Terus? Setelah ke kamar mandi?" tanya Naya tidak sabaran. "Ah, itu… Jia ngomong baik-baik ke aku, dia minta aku untuk pindah sekolah. Dia tau panti asuhan tempat aku tinggal dulu, ternyata orang tuanya donatur di sana. Tapi, uang itu ternyata disalahgunakan sama pengurus panti dan bikin panti kami terpaksa ditutup." "Waktu panti ditutup, apa kamu masih di sana?" "Enggak, aku udah sama keluargaku yang sekarang. Jadi aku sama sekali gak tau masalah itu." "Ah, seharusnya masalah panti asuhan gak perlu dibawa-bawa. Kan, kamu gak tau apa-apa." "Iya, aku juga udah bilang gitu ke Jia. Aku pun gak ambil pusing omongan dia yang nyuruh aku pindah sekolah. Ternyata, itu awal dari semuanya." Tulip tertunduk, ia merasa air matanya hampir menetes lagi. "Kalo kamu gak mau cerita, aku gak maksa kok. Maaf aku terlalu kepo," ujar Naya lembut sembari memberikan kotak tisu. "Gak apa-apa, aku kayanya harus cerita biar lega. Selama ini yang tau masalahku cuma orang tuaku, bahkan kakakku tau masalah ini belum lama." "Aku seneng kalo kamu mau terbuka sama aku. Aku gak sama kaya temen-temen SMP-mu kok." "Iya, makasih banyak, ya! Aku seneng banget bisa temenan sama kamu." "Sama-sama. Aku juga seneng kok." "Eh tapi, kamu gak ke kelas? Aku gak apa-apa kok sendirian." Tulip mulai menyadari kalau tidak seharusnya Naya juga berada di UKS bersamanya. "Enggak, sesekali bolos bareng gak masalah, kan?" "Jangan gitu, aku jadi gak enak!" "Sssttt! Jangan bawel deh! Aku dulu sering bolos kok, tenang aja!" jawab Naya dengan santainya, seolah bolos sudah menjadi kebiasaannya. "Ayo ceritain semuanya! Biar bolos kita gak sia-sia!" "Alasan macem apa itu?" tanya Tulip seraya memicingkan mata. "Apa aja! Ayolah cerita!" ajak Naya setengah memohon. "Iya-iya-iya! Jadi, ya itu tadi. Karena aku gak keluar dari sekolah, dia mulai sering ganggu aku. Coret-coret buku tugasku, sembunyiin setelan olahraga, dan yang paling parah… mereka bawa aku ke gudang sekolah, dan aku di kunci dari pagi sampe jam pulang les. Itu sekitar jam 8 malem." "Sumpah? Kamu nerima semua perlakuan itu, orang tuamu gimana? Gak mungkin dong diem aja?" "Iya, Jia yang akhirnya keluar dari sekolah. Bukan dikeluarkan, tapi dia yang mengajukan pindah." "Gitu doang? Ah gak asik! Masa dia gak dapet balesan apa-apa?" ujar Naya dengan nada kecewa. "Dampaknya lebih ke keluarga dia sih. Papaku, kan, pengacara. Ternyata, kakaknya Jia pernah mau pake jasa Papa. Dia kena kasus n*****a, tapi udah bebas. Yah, gitu. Karena Papa pernah pegang kasusnya, jadi gak susah untuk menyelidiki lagi. Dan bener, kakaknya bukan pemakai, tapi juga salah satu pengedar narkoba." "Jadi dipenjara lagi? Dan hukumannya lebih berat?" "Yap! Awalnya dia bisa bebas karena berdalih kalo dia cuma dijebak, bukan bener-bener pemakai, tapi nyatanya bukti berkata lain." "Ah, aku lumayan puas denger balesan yang dia dapet. Yah, walaupun balesannya bukan ke dia sendiri, tapi dia pasti terdampak juga karena keluarganya sendiri yang kena masalah. Kaya gitu kok sok nge-bully orang, dih! Padahal keluarganya sendiri gak beres." Kini nada bicara Naya semakin terdengar sangat sengit. "Sebenernya aku gak tega, tapi mau gimana lagi? Meskipun di badanku gak ada bekas luka, tapi semua kata-k********r dari mereka kadang masih sering bikin hatiku sakit." "Itu wajar kok. Dan sekarang kamu udah punya aku, Valent, Juan juga. Jadi kamu gak perlu simpen semuanya sendirian lagi. Aku yakin mereka temen yang bisa dipercaya juga, tapi gak tau sih kalo si Juan." "Sorry aku sempet meragukan kalian." "It's ok! Wajar kok. Kita juga, kan, kenal belum lama," ucap Naya seraya tersenyum. "Oh iya, si Valery ikut nge-bully kamu, gak?" Mereka kembali lagi pada pokok pembicaraan. "Kayanya sih enggak, dia banyak diem–" Naya langsung memotong ucapan Tulip lagi. "Dia banyak diem di depanmu, tapi di belakang pasti dia juga kompornya. Soalnya dia yang tau semua tentang kamu." "Bisa iya, tapi bisa juga enggak. Soalnya dia juga gak pernah ada di tempat waktu aku di-bully." "Ah, bener-bener deh! Masih ada lagi yang mereka lakuin ke kamu, gak?" "Udah gak ada kok." "Ya udah, sekarang kamu fokus bahagia aja, ya! Yang udah lewat, biarin aja. Kamu gak perlu takut lagi," ujar Naya seraya tersenyum. "Iya, thanks, Nay!" Bersamaan dengan cerita itu selesai, terdengar suara heboh dari luar UKS. Dua orang siswa berseragam basket datang dan salah satunya terluka dibagian lutut. Darahnya cukup banyak, ia juga berjalan sedikit pincang. "Kamu sih banyak gaya!" ujar temannya yang tidak terluka. "Ya mana aku sadar kalo di situ ada batu," sanggah yang lain. Siswa itu membersihkan lukanya dengan air, yang satunya lagi sibuk menghubungi seseorang. Kemudian mereka duduk di ranjang sebelah Tulip. Tulip dan Naya yang berada di bilik lain hanya diam di tempatnya, tidak bersuara lagi. Untungnya setiap ranjang dibatasi dengan tirai. "Tadi liat si Felix sama Sherina, gak? Kayanya akhir-akhir ini mereka makin deket." "Gak liat sih. Lagian, udah lama Sherina deketin Felix. Dianya aja yang batu. Susah banget lupain mantannya." Mendengar nama Felix disebut, Naya dan Tulip saling lirik. Lidah mereka sudah gatal ingin bicara, namun mereka sepertinya sepakat untuk 'menguping' dahulu. Belum sempat mereka bergosip lagi, seseorang siswi masuk lagi ke ruang UKS. "Akhirnya dateng juga!" "Hobi banget jatoh kayanya," ujar siswi yang baru saja masuk. "Udah dibersihin nih, lukanya?" "Udah kok, Shen." "Ya udah, bentar aku ambilin alkohol sama lainnya dulu." "Iya, Shen. Thanks, ya!" "Hmm." Gadis itu adalah Shendy, seorang siswi yang kemarin mencalonkan diri sebagai ketua OSIS, namun kalah dari saudara kembarnya sendiri. "Shen, si Sherina udah jadian sama Felix?" tanya Rexa, siswa yang terluka. "Oh iya? Aku gak tau tuh," jawabnya sembari membersihkan luka Rexa dengan alkohol. "Aku nanya, bukan ngasih tau," ujar Rexa lagi. "Oh, kirain ngasih tau. Aku gak tau apa-apa, tapi kayanya mustahil bisa dapetin hatinya Felix." "Diaz gimana Diaz?" tanya Fariz, siswa yang tidak terluka. "Gak usah bahas Diaz deh!" hardik Shendy, nada bicaranya terdengar kesal. "Loh, kenapa? Kirain kalian sempet jadian." "Enggak. Dia PHP memang." "Aaakh! Sakit woy!" pekik Rexa karena Shendy menekan lukanya terlalu kuat. "Sorry! Udah tuh, jangan jatoh lagi! Bosen pasien UKS gak pernah ganti, kamu terus," ujar Shendy yang kemudian beranjak dan menyimpan kembali peralatan P3K yang baru ia gunakan. Kemudian ia menyadari kalau ada orang lain di sana, tentu mereka adalah Tulip dan Naya. "Thanks, Shen! Kita balik ke kelas duluan," ucap Rexa, dan Fariz pun keluar dari UKS bersamanya. "Iya," jawab Shendy singkat. Lalu ia menghampiri Naya dan Tulip. "Kalian kenapa di sini?" Naya dan Tulip saling pandang, mereka belum menyiapkan jawaban. Namun Naya dengan cepat mendapatkan ide, "Temen saya maag-nya kambuh, Kak. Tapi tadi udah dikasih obat kok." "Ah gitu? Sekarang gimana, masih sakit?" "Anu… udah mendingan kok, Kak," jawab Tulip ragu. Ia tidak terbiasa berbohong. "Syukurlah kalo gitu. Namaku Shendy, salah satu petugas di UKS ini. Kalo ada apa-apa, hubungin aja aku gak apa-apa. Di sana juga ada kontak petugas-petugas yang piket UKS," ujarnya seraya menunjuk sebuah kertas di dekat pintu masuk. "Hubungin aja salah satunya!" tambahnya lagi. "Siap, Kak. Makasih, banyak," balas Naya. Tulip hanya mengangguk-angguk tanpa mengucapkan apapun. "Aku tinggal ke kelas lagi, ya!" ujarnya dengan ramah lalu kemudian keluar. Memastikan pintunya sudah ditutup, Naya mulai bicara lagi. "Dia ternyata baik banget, ya! Kasian kemarin kalah, mana di PHP sama cowok pula." "Kayanya 'Diaz' yang dimaksud tadi itu kakakku deh," ujar Tulip. Ia mulai memikirkan ucapan Aaron yang mengatakan kalau Diaz adalah seorang playboy. "Oh iya? Beneran?" sahut Naya, "Kakak yang mana? Bukannya kakakmu namanya Aaron?" "Yang tadi. Kan, berdua yang dateng pas kita di taman belakang." "Dua-duanya kakakmu?" "Ah, ceritanya panjang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN