Tidak berlangsung lama, hanya tiga puluh detik saja Tulip bisa mendengar suara 'ganteng' idamannya. Senyumnya mengembang tanpa diminta, meskipun si empunya suara tak mengetahui keberadaannya. Jantungnya berdegup kencang ketika siswa itu mengakhiri penampilannya dan membungkuk hormat sebelum turun dari panggung. Felix, begitulah nama yang dikenalkan oleh kakak MC.
Penampilan tadi merupakan penampilan terakhir pada acara penutupan MPLS kali ini. Setelah MC mengucapkan salam, semua peserta MPLS turut bubar. Tulip masih berdiri di tempatnya, Naya menghampiri dengan tingkah hebohnya dengan membawakan ransel milik Tulip
"Tulip! Sayang banget kamu ngelewatin penampilan kakak kelas yang ganteng banget!" seru Naya.
"Aku nemuin dia, Nay," jawab Tulip disertai dengan ekspresi yang sangat cerah.
"Nemuin siapa? Apakah kamu liat penampilan Kak Felix? Suaranya bagus, mukanya ganteng banget, bahkan tadi ada yang naik ke atas panggung untuk ngasih dia bunga."
"Beneran? Wow, keren! Aku nyesel cuma liat penampilannya di detik terakhir aja," keluh Tulip, namun ia masih bisa merasakan hatinya berbunga-bunga.
"Kamu, sih! Sayang banget kamu ngelewatin penampilan terbaik."
Tulip hanya tersenyum merespon setiap ucapan Naya yang sangat antusias menceritakan setiap detail yang ada pada Felix. Tulip menyadari kalau Felix adalah orang yang sama dengan anak lelaki yang ia temui sebelum ke toilet tadi.
Merasa bodoh, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Seharusnya ia cepat kembali setelah bertemu dengan Felix. Suaranya yang berbeda ketika ia bicara dan bernyanyi, membuat Tulip sama sekali tidak menyadari kalau suara yang ia cari ternyata sudah menemuinya lebih dulu.
"Lip, kamu mau langsung pulang?" tanya Naya, kini mereka sedang berjalan menuju gerbang.
"Iya, aku udah dijemput," jawabnya seraya menunjuk sebuah mobil Mazda CX-8 berwarna hitam yang terparkir cantik tepat di sisi kiri gerbang.
"Hm, padahal aku mau ajak kamu jalan-jalan."
"Aku gak boleh kemana-mana kalo baru pulang sekolah, tapi kalo pulang dulu dan izin biasanya boleh."
"Ah gitu, ya udah. Mungkin lain waktu kita bisa main bareng."
"Oke, kabarin aja! Nomorku udah kamu simpen, kan?"
"Udah dong!" jawab Naya semangat. "Aku bakal rajin mengirim chat. Jangan bosen, ya!"
"Yah, semoga. Kalo kamu nyebelin, kayanya fitur blokir bakal berguna." Tentu saja Tulip hanya bercanda. Senyuman jahilnya ia lemparkan pada teman barunya itu.
"Ish-ish-ish! Macam tak betul b***k satu ni," ujar Naya dengan logat khas animasi dari negara tetangga.
Mereka pun tertawa bersama dan berpisah ke kendaraan masing-masing. Senyum Tulip tak memudar sedikit pun. Masih terngiang dengan jelas lembutnya suara Felix melantunkan lagu yang sama seperti yang ia dengar lebih dari seminggu lalu. Setelah masuk ke mobil, Tulip menyandarkan kepalanya, memejamkan mata dan terus memutar ingatan akan suara 'ganteng' itu. Berharap suara itu tidak akan hilang, karena tidak tahu kapan ia bisa mendengar suara indah itu lagi.
Kurang lebih lima belas menit, sampailah Tulip ke rumahnya. Terlihat Aaron sedang duduk di ayunan yang terletak di bawah pohon di samping garasi mobil. Tak pernah ketinggalan, earphone abu-abu dengan eartip hitam turut menemaninya berkencan dengan sebuah buku tebal. Tulip menggeleng mendapati kakak tersayangnya yang semakin gila pada buku. Ia menghampiri dan duduk di sebelah Aaron.
"Belum putus?" tanya Tulip ketika tubuhnya telah bersandar dengan nyaman di ayunan yang sama dengan Aaron.
"Hah?" Aaron melepaskan earphone-nya yang terpasang di telinga sebelah kanan.
"Belum putus?" Tulip mengulang pertanyaannya.
"Belum dong, aku baru aja beli buku ini. Bagus, kan?" jawabnya semangat seraya menunjukkan sampul buku berwarna ungu terang dengan gradasi silver, dan judulnya berbahasa Inggris.
"Hmm, iya bagus. Walaupun aku gak tau apa isi dari buku itu," jawab Tulip ogah-ogahan.
"Gimana hari penutupannya? Berkesan?" tanya Aaron mengalihkan topik pembicaraan.
"Oh jelas!" Kini gantian Tulip yang bersemangat.
Ia menceritakan bagaimana suasana hatinya yang berbunga-bunga setelah mengetahui siapa pemilik suara emas yang selama ini ia cari. Aaron cukup kesal mendengarnya, karena menurutnya Tulip cukup berlebihan.
"Apa cewek selalu gitu, sih?" ucap Aaron merespon cerita Tulip.
"Apa yang salah?" tanya Tulip tak mengerti.
"Ngeliat cowok ganteng yang suaranya bagus, langsung jatuh cinta dan, yah … kaya kamu sekarang."
"Apa yang salah? Suaranya memang sebagus itu kok. Ya, jangan dibandingin sama suara Kakak!"
"Bukankah suaraku juga bagus? Dulu kamu sering minta aku nyanyi setiap kita selesai belajar," jawab Aaron tidak terima.
"Ya… bagus, sih, tapi–"
"Tapi apa? Kamu pasti gengsi mengakui kalo suaraku gak kalah bagus dari Felix. Iya, kan?"
"Anda memang terlahir untuk menjadi manusia super PD, ya? Udahlah, aku mau masuk. Aku mau membayangkan yang indah-indah. Kalo liat Kakak, keindahan itu menjadi suram. Pantas aja Kakak masih jomblo!" ucap Tulip seraya berlari ke dalam rumah.
"Bener-bener adik durhaka!" Aaron pun turun dari ayunan dan berlari mengejar Tulip.
***
Sembari memandangi hiasan dinding dari ranjang, Tulip masih belum bisa melunturkan senyuman dari bibirnya. Persis seperti orang yang sedang kasmaran. Bukan wajah tampan Felix yang ia bayangkan, melainkan hanya suaranya saja. Iya, lelaki tertampan baginya saat ini masih dimenangkan oleh Aaron. Sayang, suara Aaron masih kalah jika dibandingkan dengan Felix.
'Apa kamu udah tidur?' tanya Naya lewat pesan singkat yang ia kirimkan.
'Belum, ada apa?' balas Tulip.
'Perutku mules, pengen pup.'
Tulip mengerjap beberapa kali setelah membaca pesan itu. Ia masih tidak percaya dengan isi pesan yang Naya kirimkan.
'Terus aku harus ngapain, hey!' balas Tulip dengan kesal.
Sepersekian detik kemudian, pesan masuk kembali ke ponsel Tulip. 'Hahahaa! Temenin aku lewat chat, ya? Ya, ya, ya?'
Bisa dibayangkan bagaimana ekspresi Naya ketika bicara seperti itu. Tulip hanya menggeleng sendiri. Teman teraneh yang pernah ia temukan selama 16 tahun.
'Tulip, bales dong!'
'Iya, iya, iya! Udah sana cepet ke kamar mandi!'
'Apa mau sekalian telepon? Atau video call?' Pesan masuk kali ini berhasil membuat Tulip kesal sekaligus gemas.
'JANGAN BERCANDA, NAY!'
Tulip sengaja menggunakan capslock untuk menandakan kalau ia bicara dengan keras. Mana mungkin ia menemani lewat video call sedangkan yang Naya lakukan itu sedang membuang hajatnya?
Naya hanya membalas dengan emoticon tertawa lebar dengan air mata yang menetes sebanyak 5 buah. Meski menyebalkan, namun Naya adalah teman yang menyenangkan. Tak ada bosannya menghabiskan waktu untuk mengobrol meskipun hanya melalui pesan singkat. Selalu ada topik bahasan yang Naya bawa. Hal itu sangat membantu Tulip sebagai orang yang sulit mencari bahan pembicaraan.
Obrolan malam ini terasa jauh lebih banyak daripada hari sebelumnya. Naya membicarakan apapun yang menurutnya menarik di kegiatan MPLS. Namun, tidak sedikit juga keluhan yang ia utarakan. Salah satunya snack box yang dibagikan. Ia mengeluh hanya karena kue cokelatnya tidak seenak kue cokelat yang biasa ia beli di toko. Air mineralnya juga rasanya aneh. Tulip hanya menjawab seperlunya, karena ia tidak merasa keberatan dengan snack box yang ia dapatkan.
Sampai akhirnya mereka sampai pada topik pembicaraan yang paling inti dan paling seru, yakni membahas 'laki-laki'. Usia mereka baru memasuki masa puber, wajar saja kalau pandangan mereka mulai terfokus pada lawan jenis. Obrolan mereka dilanjut lewat telepon, tentu saja setelah Naya kembali dari kamar mandi.
"Kamu percaya, kan, sama yang aku bilang? Sekolah kita itu gudangnya cowok ganteng. Liat aja tadi, hampir 80% yang tampil di panggung, visualnya udah kaya artis-artis di film layar lebar," ujar Naya memulai bahasan bab lawan jenis.
"Iya, aku percaya kok. Tapi, gimana sama temen-temen seangkatan kita? Apa ada yang ganteng menurutmu?" tanya Tulip sembari mengusap-usap punggung boneka beruangnya.
"Mungkin ada, tapi belum keliatan. Mereka harus lebih glow up lagi kalau mau masuk predikat ganteng."
"Hmmm, setuju-setuju-setuju!" jawab Tulip sembari mengangguk-anggukkan kepalanya meski ia tahu Naya tidak akan melihatnya.
"Oh iya, apa kamu inget Kak Felix? Menurutmu, apa dia itu orang yang ramah?" tanya Naya lagi.
"Mungkin iya, tapi mungkin juga enggak."
Ingatan Tulip akan pertemuannya di depan ruang kelas dengan Felix siang tadi mulai kembali terputar. Bagi Tulip, tidak bisa dikatakan kalau Felix itu sombong karena ia tadi meminta tolong dengan sopan bahkan juga tersenyum meskipun sangat tipis. Yah, memang lebih baik tidak menilai orang lain hanya lewat penampilan saja, apalagi baru pertama kali bertemu. Mungkin saja dia tidak seburuk yang terlihat, atau bisa juga tidak sebaik yang terlihat. Siapa yang tahu?