FLASHBACK …
Di sebuah rumah tua bergaya Victoria di pinggiran kota, seorang gadis bernama Nixie Hart tampak bermain bola basket di halaman rumah mewahnya.
Rumah itu memang penuh dengan tawa dan kebahagiaan, namun bukan Nixie yang merasakannya melainkan Tina, saudara tirinya.
Nixie, seorang gadis remaja berusia tujuh belas tahun, memiliki rambut cokelat gelap yang selalu terurai dengan bebas dan mata hijau yang tajam.
Meskipun penampilannya menarik dan berusaha melakukan yang terbaik, namun Nixie merasa tidak terlihat oleh orang yang paling ia harapkan, ibunya.
Sejak kematian ayah kandungnya, ibu Nixie menikah lagi dengan seorang pria bernama Alan Wildart.
Bersama dengan Alan, datanglah Tina, anak perempuannya dari pernikahan sebelumnya.
Tina, dengan rambut pirang dan sikap anggun, selalu menjadi pusat perhatian. Dalam keluarga ini, Tina adalah permata yang bersinar terang, sementara Nixie merasa dirinya hanyalah bayangan yang terlupakan.
Di meja makan keluarga yang panjang, Nixie seringkali mendapati dirinya duduk dalam diam, menyaksikan ibunya dengan penuh perhatian melayani Tina.
Ibu Nixie, seorang wanita yang dulunya penuh cinta dan kelembutan, kini seolah berubah menjadi orang yang dingin dan hanya memusatkan perhatiannya pada Tina.
"Nixie, ambilkan buah itu, tolong," kata Mariane sambil menunjuk ke arah apel di depan meja Nixie.
Nada suaranya tidak menunjukkan permintaan, melainkan perintah. Nixie mengambil apel itu tanpa suara dan menyerahkannya dengan wajah datarnya.
Lalu Mariane mengupas apel itu dan meletakkannya di piring kemudian memberikannya pada Tina.
"Tina, bagaimana hari sekolahmu?" tanya Mariane dengan senyum hangat yang jarang dilihat Nixie.
Tina tersenyum balik, matanya bersinar. "Bagus, Mom. Aku berhasil mendapat nilai tertinggi di ujian matematika."
"Oh, itu luar biasa! Mommy tahu kau bisa melakukannya," balas Mariane dengan penuh kebanggaan lalu menyuapkan apel pada Tina, anak tiri kesayangannya.
Mariane selalu berdalih bahwa Tina sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu karena sejak lahir ibu kandungnya telah meninggal.
Nixie hanya bisa menunduk, merasa tak pernah mendapatkan perhatian yang sama, meskipun ia juga memiliki prestasi yang membanggakan di sekolah.
Karena jika dia bicara, maka hanya rasa sakit hati yang diterimanya. Ibunya pasti hanya beekomentar singkat saja dan tak memberikan apresiasi yang diharapkan Nixie.
*
*
Ketegangan di rumahnya semakin hari semakin terasa. Nixie merasa terperangkap dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan selama bertahun-tahun dan kini dirinya sudah berada di semester akhir kuliahnya.
Dia begitu ingin cepat keluar dari rumah itu dan menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja.
Namun akhir-akhir ini dia seringkali mencari pelarian dengan berkeliaran di sekitar kota, bergaul dengan teman-teman yang sama-sama merasa tidak diterima di rumah mereka.
Mereka membentuk kelompok kecil, melakukan hal-hal yang dianggap berandalan oleh masyarakat sekitar.
Namun, bagi Nixie, itu adalah satu-satunya cara untuk merasa hidup dan diperhatikan, dan tak semua temannya yang berada di jalanan berkarakter buruk. Tapi meskipun begitu, Nixie tak pernah mengabaikan kuliahnya.
Suatu hari, ketika pulang larut malam, Nixie menemukan ibunya menunggu di ruang tamu. Mata ibunya memancarkan kekecewaan dan kelelahan.
"Nixie, kita perlu bicara," kata Mariane dengan suara yang tegas namun terdengar lelah.
Nixie berdiri di ambang pintu, merasakan dinginnya malam yang mulai merayap masuk. "Apa lagi, Mom? Aku sudah bosan mendengar ceramahmu."
Nixie mulai berani menentang sang ibu ketika mulai memasuki bangku kuliah.
Ibunya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kenapa kau terus seperti ini? Membuat masalah, pulang larut malam. Apa yang sebenarnya kau cari, Nixie? Mommy dan Alan sudah memenuhi semua fasilitasmu. Mengapa kau masih bergaul dengan berandalan itu? Kau akan terlibat dalam dunia gelap nantinya dan masa depanmu akan buruk."
Nixie merasa marah, tapi juga terluka. "Aku hanya ingin kau melihatku, Mom. Seperti kau melihat Tina. Aku ini juga anakmu! Aku hanya ingin dirimu!!"
Ibunya terdiam sejenak, lalu matanya berkilat. "Mommy selalu mencintaimu, Nixie. Tapi kau harus mengerti, Tina juga butuh perhatian. Dia juga putri mommy sekarang."
"Dan aku tidak? Kau selalu mengatakan itu sejak dulu!" Nixie balas menantang dan kemudian pergi dari hadapan ibunya.
Percakapan itu tidak pernah mencapai kesimpulan yang memuaskan. Nixie merasa lebih terisolasi dari sebelumnya.
Ia merasa dunia ini tidak adil, dan yang lebih menyakitkan, ia merasa tidak ada tempat di mana ia benar-benar diterima.
*
*