Yakin Untuk Pergi

536 Kata
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Persiapan pertunangan Tina dan Sebastian semakin intensif. Pada hari pertunangan, rumah keluarga Hart dipenuhi dengan tamu undangan. Semua orang tampak bahagia dan bersuka cita. Nixie mengenakan gaun yang indah, tetapi hatinya tetap hampa. Ia berdiri di sudut ruangan, menyaksikan Sebastian dan Tina berbaur dengan tamu-tamu lainnya. Mereka tampak begitu bahagia, dan itu menghancurkan hatinya. Saat acara pertunangan berlangsung, Nixie merasa seolah-olah ia berada di tempat yang salah. Ia berdiri di sana, melihat Sebastian memasangkan cincin di jari Tina. Sorakan dan tepuk tangan bergema di seluruh ruangan, tetapi bagi Nixie, itu semua terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Setelah perayaan selesai, Nixie melangkah keluar ke taman belakang. Ia butuh udara segar untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Di bawah langit malam yang cerah, Nixie menangis dalam kesendirian. Ia merasa kehilangan arah, tidak tahu bagaimana melanjutkan hidupnya. Ketika Nixie menangis di taman yang sunyi, suara dering ponselnya memecah kesunyian. Ia tidak menghiraukannya, berusaha mengabaikan deringan itu. Namun, suara deringan itu tak kunjung berhenti. Hingga akhirnya Nixie pun mengangkat ponselnya. "Halo?" Nixie menyahut dengan suara pelan. "Nixie, ini Paman George, pengacara nenekmu," suara di ujung telepon terdengar serius. "Aku punya kabar buruk. Nenekmu, Brunella, telah meninggal tadi malam." Kata-kata itu menghantam Nixie seperti petir di siang bolong. Matanya yang belum kering akhirnya kembali basah karena air mata dan tenggorokannya terasa kering. "Nenek... meninggal?" Ia hampir tidak bisa mempercayainya. Meskipun tidak begitu dekat dan bertahun tahun tak bertemu, Nixie selalu memiliki kenangan manis tentang neneknya, ibu dari mendiang ayahnya. "Aku tahu ini kabar yang buruk bagimu," lanjut Paman George. "Nenekmu meninggalkan wasiat, dan ada sesuatu yang harus kau ketahui. Brunella meninggalkan rumah peternakan untukmu." Nixie terdiam sejenak, mencerna kata-kata itu. Warisan berupa rumah peternakan? Ia tidak pernah membayangkan hal semacam itu sebelumnya karena ibunya selalu mengatakan bahwa keluarga ayahnya tak mau menerima mereka kembali setelah ayahnya meninggal. "Rumah peternakan? Di mana?" "Di kota kecil di luar kota. Nenekmu ingin kau tinggal di sana selama setahun sebelum kau memutuskan apa yang ingin kau lakukan dengan properti itu. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu dan segeralah datang kemari." Setelah telepon berakhir, Nixie duduk termenung di kursi taman. Berita ini benar-benar mengejutkan. Ia selalu mengira hidupnya akan tetap seperti ini, terperangkap dalam dinamika keluarga yang rumit dan cinta yang tak terbalas. Tapi kini, ada kesempatan baru yang muncul, meskipun dalam kondisi yang menyedihkan. "Apa yang harus kulakukan?" Nixie menjadi bimbang dan bingung. Lalu dia beranjak pergi dari taman dan kembali masuk ke dalam rumah. Ketika melewati ruang tengah, Nixie melihat keluarga Sebastian berbincang akrab dengan ibunya, Tina, dan Alan. "Mengapa mereka belum pulang? Ck," bisik Nixie. Nixie melihat Sebastian memeluk mesra Tina dan wajahnya memancarkan kebahagiaan yang mendalam. Nixie merasa hatinya seperti ditusuk dan itu membuatnya semakin sedih karena dia seolah hanya sebagai pajangan saja di sana. Nixie kemudian berjalan menuju ke kamarnya meskipun harus melewati kerumunan orang-orang itu. "Maaf, Nixie memang seperti itu. Dia sedikit pemberontak, sangat berbeda dengan Tina," ucap Mariane dengan penjelasan tak masuk akalnya ketika melihat Nixie melewati mereka tanpa menyapanya. "Biasalah anak muda. Kami memahaminya," sahut ayah Sebastian dan mereka tertawa bersama. 'Oke, aku akan pergi dari sini,' batin Nixie dengan mantap ketika mendengar ucapan ibunya. * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN