Rima menunggu. Ia hanya ingin tahu saja, Alan masih menatapnya, kini ia berdiri, mereka saling berhadapan terhalang meja.
"Aku mengatakan, kamu cantik dengan anting kecil itu."
Rima termangu. "Kamu memujinya?"
Alan menganggguk ragu dengan wajah bingung dan mungkin juga sebuah perasaan bersalah.
"Di hadapanku?"
Alan terdiam.
"Bahkan kamu tidak pernah melakukan itu padaku."
Alan masih mematung, menatap Rima dengan perasaan bersalah.
"Senang juga sepertinya dipuji laki-laki dengan kebohongan manis, sudah lama tidak ada yang seperti itu padaku, sepertinya aku haru mulai membuka diri," lanjut Rima yang kemudian segera berlalu ke mejanya tanpa mendengar balasan apa pun dari Alan.
Sepanjang hari ia memasang wajah tak bersahabat, ia pun lebih banyak menyibukkan diri di depan komputer, mempelajari apa yang sudah lama ia tinggalkan. Sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul satu siang.
"Makan dulu yuk!" ajak Gayatri pada Rima.
"Duluan saja, tolong pesankan makanan untuk dikirim ke ruangan."
"Turun dan makanlah bersama," ajak Alan.
Rima tidak menjawab sama sekali, sempat menunggu beberapa saat, Alan dan Gayatri pun keluar, Rima hanya menatap kepergian mereka dengan pedih. Suaminya itu benar-benar tega. Ia kembali mengerjakan pekerjaannya sambil merasakan sakit perut yang selalu melanda setiap datang bulan.
Sejenak, ia hentikan aktivitasnya, ia usap-usap perut yang sakit sampai tak sadar menangis, kemudian menyembunyikan wajahnya di balik lengan yang bersandar di meja. Ia tak pernah sampai menangis sebelumnya, tapi kali ini Rima merasa sangat sakit, entah perut atau hatinya.
Tak berapa lama pintu terdengar dibuka, Alan datang. Dia membawa dua paket nasi untuk dirinya dan Rima, tapi ia menegang ketika melihat Rima meringis.
"Kamu kenapa?"
"Perutku sakit," jawabnya dengan wajah merah. Raut manjanya yang lama terlihat perlahan muncul.
'bukan perutku yang sakit, tapi hatiku.'
Alan kembali berjalan ke arah pintu dan menguncinya. Kemudian menarik kursi mendekat pada Rima, setelah itu ia mencoba menarik pakaian bagian belakang istrinya.
"Mau apa?" Respon Rima seketika.
"Mau ku berikan kayu putih punggung belakangmu, kan biasa seperti itu."
Rima diam, lalu kembali membungkukkan badannya dan sentuhan Alan terasa membuatnya membaik, ia selalu sabar mengusap dan memberikan minyak sampai rengekan istrinya mereda, meski berjam-jam. Hampir setiap bulan Alan lah yang didatangi ketika tamu bulanan melanda.
"Kamu istirahat saja di rumah," ucap Alan.
"Tidak! Aku mau di sini," jawabnya sambil menyeka air mata.
"Setelah membaik datang lagi ke kantor."
Rima hanya menggelengkan kepalanya.
"Dasar si keras kepala," umpat Alan.
Rima tidak menggubrisnya, ia memejamkan mata, merasakan nyaman yang mulai menjalar.
"Makan dulu, aku bawakan untukmu."
"Gak nafsu makan!" jawabnya ketus.
Setengah jam kemudian, ia mulai membaik, Gayatri masuk dan mereka kembali sibuk.
"Loh ini makanannya gak dimakan? Kalian berdua belum makan, dong?" tanya Gayatri.
Rima melihat ke arah bungkusan itu dan baru menyadari bila ternyata suaminya pun belum mengisi perut. Seketika ia merasa bersalah, tapi baik Rima atau Alan tak ada yang menjawab pertanyaan Gayatri.
***
.
.
Mereka berdua tiba di rumah sekitar pukul delapan malam, masih dengan diam dan dingin.
"Mas ...," panggil Rima.
"Hmmm ...," balas Alan tanpa melihatnya dan sibuk membuka gesper.
"Ternyata aku tidak sanggup mendengar kejujuran kamu, saat melihat kamu menatap Gayatri, memujinya, mencintainya. apa sebaiknya kita berpisah saja?"
Alan yang sejak tadi sibuk sendiri seketika menghentikan aktivitasnya dan melihat ke arah Rima yang terlihat tegar dan tegas memancar di raut wajahnya.