"Jawab saja! Aku kuat kok, Mas!" ucap Rima tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Ia masih menunggu apa yang akan dikatakan pria di hadapannya itu. Apakah ia akan berkata jujur atau kembali bersandiwara.
"Jawab, Mas!"
Alan hanya mengangguk, ia tak lagi bersandiwara.
"Bahkan setelah kita menikah?" Alan kembali mengangguk.
Dada seketika begitu sesak, mulut tak lagi dapat berkata. Rima membuang pandangannya, menyembunyikan mata yang mulai memerah. Alan pun terlihat bingung, ingin mendekat tapi seperti tertahan.
Hingga ... akhirnya Rima kembali menegakkan pandangannya seraya menyeka air mata. "Maaf ... aku pikir aku kuat, ternyata ini lebih sakit daripada yang aku bayangkan. Seharusnya tadi kamu bersandiwara saja, aku rasa itu jauh lebih baik."
"Maaf," ucap Alan pelan dengan segenap perasaan bersalah.
"Tak perlu minta maaf, bukan kamu yang menyakitiku, aku hanya terluka oleh pikiranku sendiri."
"Lalu setelah ini akan seperti apa kita?" tanya Alan.
"Harus bertanya padaku? Bukankah selama ini kamu yang membawaku? Aku hanya memberi perasaan, bila di awal tak dibalas, paling aku hanya terluka sejenak, setelah itu selesai. Tapi kamu yang membawaku sampai ke titik ini, masih harus bertanya padaku."
Alan menggelengkan kepalanya pelan.
"Sebetulnya aku pun bisa dicintai dengan sederhana, hanya karena aku lahir dari orang kaya bukan berarti hidupku kemewahan. Tapi sejak awal pertemuan kita kamu hanya memandang dari sisi buruk saja, hingga akhirnya aku yang sadar, bila aku tidak pernah dicintai."
"Tapi kamu wanita yang paling aku pentingkan dan aku utamakan," jawab Alan.
Rima menghela napas panjang, dadanya begitu sesak. Ini adalah patah hati terburuk dalam hidupnya. "Terimakasih. Jawabanmu barusan, semakin meyakinkan."
Rima beranjak dari ranjang, sekuat tenaga ia berusaha agar pertahanan air matanya tidak runtuh. Ia berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan sakit yang tak dapat disembunyikan lewat wajah.
Alan mengacak rambutnya dan terlihat frustasi dengan situasi ini. Ia juga merutukki diri yang tidak bisa menyembunyikan itu dan harus berkata jujur tentang perasaan yang sudah mati-matian ia sembunyikan.
Ia mengejar istrinya, tapi langkah Rima lebih cepat. Ia masuk ke sebuah kamar lain dan menguncinya.
"Mari kita bicara, Rima. Semua tidak akan selesai dengan cara seperti ini," ucap Alan dari balik pintu. Rima sama sekali tidak menjawab dan menikmati waktunya yang sendirian di dalam kamar.
***
.
.
Dua hari mereka ada di atap yang sama tanpa pertemuan. Hingga pagi ini Rima keluar dengan pakaian yang rapi.
"Mau kemana kamu?" tanya Alan masih dengan nada dinginnya.
"Ke kantor," jawab Rima sambil duduk dan mengambil roti bakar yang dibuatkan ART.
"Ada apa? Tumben? Biasanya selalu ogah-ogahan."
"Mulai hari ini aku akan bekerja, mandiri dan independen."
Alan menatap istrinya heran dan tidak melanjutkan ucapannya. Sikap manja, ceria, dan sangat agresif seolah seketika hilang dari seorang Rima.
Mereka pun pergi dalam satu mobil yang sama, Rima masih diam dan membuang muka menatap ke arah jendela. Hingga keduanya tiba di kantor.
"Rima? Kamu kembali ke kantor?" ucap Gayatri menyambut dengan riang.
Rima mengangguk dan melihat ke sekitar, tidak ada yang berubah, Gayatri dan Alan berada dalam satu ruangan. Dulu ia menganggap biasa, tapi sekarang rasanya lain.
"Lihat aku, Rima. Aku kemarin beli anting, dua pasang denganmu, cantik tidak?" ucap Gayatri menunjuk anting yang dipakainya.
"Biasa saja! Tapi lumayan, sih," jawab Rima.
Gayatri mengerucutkan bibirnya. "Cantik begini, iya kan, Mas?" tanyanya pada Alan.
Alan diam tak merespon, kemudian duduk di kursinya. Sementara meja Rima berdampingan dengan Gayatri. Mereka pergi ke meja masing-masing, kemudian Gayatri memberikan berkas pada Alan. Terlihat Alan sedikit berbisik, membuat Gayatri tersenyum kecil.
Rima memperhatikan dari jauh, ketika Gayatri meninggalkan ruangan ia beranjak dan mendekat pada suaminya.
"Kamu bilang apa pada Gayatri sampai ia tersenyum, Mas?"
"Kenapa, Rima? Simpan cemburumu, ini di kantor."
"Jawab jujur, aku tahu kamu bukan seorang laki-laki pengecut."
Alan membawa dirinya bersandar pada kursi, lalu menatap Rima pasrah.
"Katakan, Mas!"
"Tidak penting, Rima. Sudahlah."
"Iya apa?"
"Aku mengatakan ...." Pria itu nampak ragu. Rima nyaris menyerah, yakin itu adalah penambah kesakitan, namun ia benar-benar ingin tahu.