"Tidak akan ada perceraian!" jawab Alan tenang seraya berhasil membuka gesper.
"Egois!" jawab Rima.
"Kamu pikir berpisah semudah itu?"
"Kamu pikir semuanya akan lebih mudah ketika hidup bersama dengan orang yang tidak mencintai kita. Bayangkan, tiga tahun kamu bergumul dengan kebohongan, Mas! Apa kamu pikir aku tidak sakit?"
Alan diam, jauh di lubuk hatinya ada sebuah perasaan bersalah, tapi ia tidak bisa mengungkapkan segala apa yang ia rasakan saat ini.
Setelah tidak ada jawaban dari Alan, dengan kecewa Rima pergi meninggalkan suaminya itu. Tapi ia tidak masuk ke dalam kamarnya, melainkan kamar lain yang selama ini untuk tamu.
"Kamarmu di sini Rima!" ujar Alan seraya memegang tangan istrinya dan menunjuk kamar mereka.
"Mulai malam ini aku tidak ingin satu kamar denganmu, rasanya aneh berada satu ranjang dengan pria asing."
"Aku suamimu."
"Secara status iya. Tapi hatimu bukan."
Rima melepaskan pegangan tangannya kemudian masuk ke dalam kamar dan langsung mengunci pintu. Sementara Alan mematung menatap istrinya berlalu.
Di tempat lain, Gayatri sedang duduk sendiri menyandarkan tubuhnya pada dipan. Ia tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kantor, hidup mandiri dan nyaris tidak memiliki pergaulan selain Rima.
Sejak dulu, sejak ia ditarik oleh keluarga Rima, ia tidak diizinkan dekat dengan siapapun, bahkan ketika mereka sekolah, Rima pun selalu marah ketika ia mendapat teman baru, jadi kemanapun Rima harus ditemani dirinya.
Sempat ada perasaan lelah di hati Gayatri, tapi ia menyayangi Rima seperti saudaranya sendiri.
Sebelum akhirnya Alan menikah dengan Rima, Gayatri dipanggil oleh kedua orang tua angkatnya itu, ia disidang semalaman dengan kata-kata yang cukup sakit.
"Saya tidak mau tahu, kamu harus ngalah untuk Rima. Saya tidak ingin anak saya patah hati. Kurang apa kami padamu, bahkan kami tidak pernah membedakan apa pun yang diberikan pada Rima," ucap Ibu Rima.
"Saya mencintainya, Bu," jawab Gayatri.
"Halah ... kamu bisa cari yang lain. Rima itu sakit-sakitan sejak kecil, saya tidak mau lihat dia sakit karena patah hati, jadi tolong mengalah!"
Sebagai manusia biasa ada sakit di hati Gayatri ketika apa yang sudah diberikan menjadi bahan ungkitan, tapi ucapan ibu Rima benar, semua yang sudah diberikan tidak bisa terbalas, mungkin hanya dengan mengorbankan perasaan kecilnya untuk membalas.
[Aku oke!]
Gayatri melihat ponselnya, sebuah jawaban singkat dari Rima datang. Ia tak bisa begitu saja tidak peduli. Bahkan hingga saat ini ia masih berusaha terlihat baik-baik saja, ceria dan merasakan sakit sendiri ketika Alan yang masih dicintainya begitu mementingkan Rima.
Ada sejumput rasa tidak nyaman ketika Alan mengungkapkan perasaannya, ingin sekali saja egois dan membalas cinta itu, tapi rasanya Gayatri tidak sanggup. Ia pun beranjak, pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Keluar dari kamar mandi, ponsel Gayatri berdering, sebuah panggilan dari Alan.
"Hallo," jawab Gayatri.
"Ay, maaf aku ganggu malam-malam begini. Laporan tadi sudah kamu kirim ke email belum."
"Sudah, Mas."
"Gak ada. Bisa kamu kirim ulang? Mau ku kerjakan malam ini."
"Baik."
"Kamu baik-baik saja?"
"Aku oke."
"Kamu terdengar lemas."
"Mungkin karena baru pulang saja," jawab Gayatri.
"Jaga kesehatan, jangan terlalu lelah! Kamu masih sering mimisan."
"Iya, Mas!"
Rima yang hendak masuk ke dalam kamar tak sengaja mendengar percakapan terakhir suaminya itu. Ia yakin bila yang ditelepon adalah Gayatri. Sebuah rasa sakit sudah tak bisa diungkapkan, tapi ia memilih untuk diam sekarang. Membalas dengan elegan baik untuk Alan atau pun Gayatri.
Sementara Alan termangu ketika panggilan telepon ditutup dan ia melihat Rima sedang mematung di ambang pintu. Raut wajah Alan seketika memucat.