"Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Latar belakang pada jaman tersebut sengaja dibuat sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan sejarah aslinya."
==
Aku keluar dari toko dan hendak masuk ke dalam mobil. Tapi entah kenapa, aku lebih tertarik untuk berkeliling menikmati kesempatan langka ini.
Maka tanpa sepengetahuan supir, aku mengendap dengan cara berbelok di ujung toko lalu berjalan cepat menuju pasar rakyat. Aku melihat semua yang tak kudapatkan di mansion.
Keramahan, kesibukan, tawa dan juga anak-anak yang berlarian adalah suatu pemandangan yang amat indah bagiku.
Aku melirik seorang pedagang yang menjajakan manisan di sana. Aku pilih jajanan permen jahe yang dulu juga sering aku makan bersama ibu.
Dulu..jika kami tak mendapatkan uang dari pekerjaan ibu ( yang berpacaran dengan para koloni ), ibu akan membelikanku banyak permen jahe sebagai penahan lapar.
Padahal cara membuatnya cukup mudah. Aku pernah membuatnya saat masih di rumah bibi.
Kelapa yang sudah diparut campurkan dengan jahe yang juga diparut pula. Masak di atas api tanpa minyak maupun air. Jika sudah kecokelatan, campurkan dengan gula yang di masak berbeda, tanpa air bersama wijen putih hingga mencair. Tiriskan jika sudah lengket. Siapkan batang pisang sebagai penggiling lalu oleskan minyak kelapa. Giling permen di atas daun pisang dan lakukan dengan cepat sebelum permen mengeras. Potong-potong lalu sajikan.
Rasanya gurih dan pedas. Sangat nikmat bila dimakan dibarengi dengan teh bunga.
Karena tak sempat untuk membuatnya, aku membeli beberapa rupiah untuk kuberikan pada tuan Hiro. Aku harap, dia juga suka permen ini.
Aku terlalu asik berbaur dengan pedagang hingga seorang anak kecil menabrakku karena berlari ketakutan. Aku membantunya yang terjatuh lalu melihat sesuatu apakah dia terluka atau tidak.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Lari mbak! Lari!"
Ucapannya membuatku teringat dengan kata-kata tuan Hiro saat aku pertama kali bertemu dengannya. Aku melihat sekitar dan menyadari realitanya bahwa ini kesempatanku untuk melarikan diri
Tapi..gemerisik angin ini menggangguku. Ada banyak yang terlintas dipikiranku sampai aku tak bisa berpikir dengan jernih.
Benarkah rumah itu berbahaya untukku?
Benarkah apa yang dikatakan oleh tuan Hiro yang bahkan mentalnya masih tak stabil itu.
Misteri itu belum dapat kupecahkan. Bagaimana bisa aku melarikan diri?
"Sartika!"
Aku mengerjap mendengar namaku disebutkan lantang oleh seseorang. Kulihat sekitar dan kudapati sosok yang kukenal baik dulu di rumah bordil. Dia Turijah yang juga bekerja sebagai asisten di rumah tersebut.
Kulihat Turijah tampak lusuh dan kurus. Dia memelukku erat sebab kami memang sudah lama tak bertemu bahkan sebelum aku bekerja di keluarga Tojo. Turijah lebih dulu keluar dari rumah bordil. Dia tinggal dengan keluarga tentara Koloni yang mengambilnya langsung dari Sohien.
Terakhir kali aku ingat, Turijah - biasa kupanggil Ijah - itu sangat bersih dan rapi. Tapi kenapa, sekarang dia tampak kurus dan kumuh?
"Kamu udah keluar dari rumah bordil?"
Aku mengangguk sambil mengawasi sekitar. Aku juga was-was kalau sampai dicari oleh Sunyang.
"Iya. Kamu apa kabar? Kenapa bisa ada di Bogor? Bukannya kamu kerja di Tasik?" tanyaku penasaran yang membuat Ijah menunduk lalu meneteskan airmata.
Aku bingung harus berbuat apa. Sehingga yang kulakukan hanya menepuk pundaknya agar ia meluahkan semua perasaan dan lukanya.
"Majikanku dibunuh sama bangsa Nippon. Aku kabur dan lari ke mari. Mereka itu jahat Sartika!"
Deg!
Mendengar itu perasaanku jadi tak enak. Aku sudah tahu seluk beluk tentang bangsa ini, namun aku tetap berpikir bahwa keluarga Tojo berbeda. Mereka sama sekali jauh dari pemerintahan. Bahkan kerabat yang datang berkunjung malah datangnya dari pemuda Indonesia dan para politikus.
Mereka bukan bagian dari kemiliteran. Tapi..apa semua itu benar?
"Mereka sekarang mengincar perempuan-perempuan muda untuk menjadi p*****r tentara mereka. Perang di mana-mana dan kemungkinan juga akan pecah sampai ke Jakarta, Tika!"
Aku menelan dengan susah payah hingga suara bariton lelaki berteriak ke arah kami. Aku melihat supir keluarga Tojo tergopoh-gopoh ke arahku. Dibelakangnya menyusul Sunyang yang ikut mencariku.
"Itu dia!"
"Itu siapa Tika?"
Aku khawatir Ijah akan salah paham. Tapi karena dia mendesakku, maka aku tak punya pilihan selain menjelaskan padanya.
"Itu kepala pelayan rumah majikanku. Sekarang aku bekerja di rumah -"
"Orang Nippon?" ucap Ijah sambil terbelalak.
"I...ya. Tapi mereka -"
Belum sempat aku menjelaskan, Ijah sudah mengemas barang-barangnya sambil menasehatiku. Dia pergi sambil memberi pesan padaku untuk pergi dari keluarga itu.
"Pergi Sartika! Kamu jangan kerja dengan keluarga Nippon! Mereka jahat! Kamu harus pergi Sartika! Pergi!"
"Sartika!"
Sunyang sudah tepat di belakangku saat Ijah sudah menghilang di kerumunan orang di pasar. Aku ditarik kuat oleh Sunyang yang sudah memasang wajah jeleknya yang sangar dan kejam itu.
Setelah ini..aku pasti dihukum habis-habisan olehnya. Dan benar saja, sesampainya di depan mobil, kakiku langsung ditendang dengan sepatu hak tingginya itu dab sukses mengenai tulang keringku. Aku mengerang kesakitan. Sunyang tampak sama sekali tidak peduli.
Tentu saja. Karena dia marah melihatku tak mendengar pesannya tadi.
"Maaf bi. Aku tadi -"
"Kau tahu di sini berbahaya! Kau bisa saja ditangkap oleh tentara militer dan dijadikan wanitanya! Kau mau jadi bagian Jungu Ianfu?"
"Jadi itu benar terjadi?" tanyaku balik.
NOTE : Jugun Ianfu atau wanita penghibur ada di masa pendudukan tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia Kedua. Tujuan tentara militer kekaisaran Jepang mengumpulkan wanita penghibur yang ditempatkan di sebuah rumah adalah untuk mempermudah dan mencegah tindak perkosaan yang dilakukan oleh personel tentara Jepang di daerah yang sedang diduduki.
Sunyang tak langsung menanggapi ucapanku. Suara sirine mobil tentara Jepang, membuatku ditarik paksa oleh Sunyang untuk masuk ke dalam mobil. Dari ujung jalan itu, aku masih melihat pasar yang ramai. Di sana..aku lihat Turijah melambaikan tangan padaku sambil berkata lantang. Meski tak bisa kudengar namun aku tahu apa yang ia katakan itu.
Sambil menahan sakit di tulang kering, aku kembali memutar pesan yang Ijah berikan padaku.
Lari..
Lari..
Dan lari!
#
Sampai di rumah, Sunyang sama sekali tak mengatakan apapun padaku. Namun, dia masih mempertahankan wajah galaknya sambil bergegas ke kamarnya untuk mengganti pakaian maidnya.
Aku pun melakukan hal yang sama dengan kembali ke kamar lalu berganti pakaian. Namun belum sempat aku masuk ke kamar, mulutku dibekap oleh seseorang dari belakang dan kemudian aku ditariknya menuju sebuah kamar.
Yang aku tahu..ini adalah kamar tuan Hiro. Dan benar saja. Ketika aku berbalik setelah ia melonggarkan bekapannya, aku terkejut karena yang melakukannya adalah tuan Hiro.
Hampir saja aku melayangkan pukulan padanya dengan payung kalau saja dia tak melepaskanku.
"Tuan Hiro! Ke..napa.."
"KENAPA KAU PULANG! HARUSNYA KAU KABUR DARI SINI!"
Dia berbisik. Tapi masih terdengar seperti berteriak dalam suara rendah. Aku mengerti maksudnya namun aku tak bisa lakukan apapun. Bukankah..dia meminta pertolonganku juga?
"Bukankah..tuan minta pertolongan padaku?"
Hiro terdiam dan tercenung. Aku kembali melanjutkan ucapanku yang menggantung padanya.
"Aku tak bisa lari karena kau meminta tolong padaku. Bagaimana aku bisa lari dari rumah ini dengan meninggalkanmu sendirian lagi?"
.
.
bersambung